Samarinda, intuisi.co–Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim atau KMSK meminta agar revisi UU ITE yang saat ini berlangsung di DPR RI dihentikan. Sebab prosesnya dinilai tetap bermasalah. Demikian dikatakan perwakilan YLBHI-LBH Samarinda, Abdul Rasid kepada sejumlah media pada Jumat sore, 14 Juli 2023.
“Selama ini proses revisi UU ITE ini tidak transparan,” ujarnya di kantor LBH Samarinda.
Lebih lanjut dia menerangkan, dari catatan Indonesia Parliamentary Center (IPC), hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat. Setidaknya Panja Komisi 1 telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR RI.
“Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, proses revisi kedua UU ITE tersebut tidak melibatkan masyarakat sipil secara maksimal. Terlihat dari keterlibatan elemen masyarakat yang minimal. Dari 12 rapat yang digelar, hanya dua kali saja DPR RI memanggil elemen masyarakat sipil. “Bahkan, KMSK tidak tahu seberapa banyak aspirasi mereka yang diakomodasi,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, alasan ketiga yang menjadi momok penting penolakan KMSK terhadap pengesahan revisi kedua UU ITE ialah pasal karet yang tidak direvisi sama sekali. Yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) tentang pencemaran nama dan hasutan kebencian. Serta pasal 45 dan pasal 45A tentang pemidanaan.
“Pasal-pasal itu yang kami nilai dalam prakteknya mengalami masalah. Tidak jarang pasal digunakan menjadi alat membungkam nalar kritis dari masyarakat yang menyampaikan aspirasi kebijakan melanggar demokrasi,” kritiknya.
UU ITE Menjadi Biang Masalah
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo menyebut proses revisi kedua UU ITE ini membuktikan bahwa DPR RI tidak mau mendengar aspirasi masyarakat. Menurut dia, undang-undang tersebut tetap akan dimanfaatkan pemerintah membungkam dan mengancam masyarakat dengan alasan pencemaran nama dan hasutan kebencian.
“Percuma ada keterwakilan masyarakat di Senayan tapi tidak pernah melibatkan masyarakat untuk mengambil keputusan kepada negara,” tegas Buyung.
Kekhawatiran serupa juga dilontarkan Yudha Pratama dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda. AJI Samarinda menilai pasal-pasal karet tersebut mencendarai kerja-kerja jurnalis.
“Nulis berita sedikit, dibilang hoaks. Padahal kami sudah bekerja secara kode etik padahal,” kata Yudha.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk menegaskan hal senada. Pasal karet yang ada di UU ITE tersebut bisa berpotensi kriminalisasi masyarakat adat.
“Potensi di UU ini, ketika masyarakat adat memprotes penggusuran secara paksa akan dikriminalisasi. Tentu kaum rentan berdampak secara langsung dengan revisi UU ITE,” sebut pria yang kerap disapa Duan.
Sebagai informasi, data dari SAFEnet, pada 2020 tercatat ada 84 kasus pemidanaan terhadap warga net, dan 64 di antaranya menggunakan UU ITE. Lembaga terpisah seperti Amnesty International Indonesia juga memberikan catatan sejak 2019-2022, setidaknya ada 332 orang dituduh melanggar pasal-pasal bermasalah yang multitafsir dalam UU ITE.
Korban tidak hanya berasal dari kalangan aktivis dan pejabat publik, tetapi juga warga biasa. Bahkan, dari total 332 korban itu, mayoritas adalah warga biasa.
Ironisnya lagi, dari data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet 70 persen dari pelapor adalah pejabat publik. Sisanya berasal dari kalangan pengusaha, sesama warga dan latar belakang tak jelas. Sementara korbannya paling sering ialah aktivis, jurnalis dan akademisi. (*)