Tenggarong, intuisi.co– Desa ini terkenal dengan kekayaan budaya dan adat istiadatnya, kini berambisi untuk membawa warisan leluhurnya ke panggung dunia. Setelah berhasil mendapatkan pengakuan nasional atas dua prosesi adat yang monumental, Nutuk Beham dan Muang, Kedang Ipil kini mengusulkan sesuatu yang lebih luar biasa—”Bahasa Langit”—kepada UNESCO, sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.
Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah, dengan penuh semangat dan rasa tanggung jawab menjelaskan bahwa masyarakatnya adalah penerus langsung dari Kutai pra-Islam yang memegang teguh ajaran Kutai Adat Lawas.
“Masyarakat kami bukan hanya mewarisi tradisi, tetapi juga menjaga keaslian ajaran yang telah ada sejak zaman dahulu kala. Di Kedang Ipil, kami masih mempertahankan sistem kepercayaan ini dengan sangat utuh,” ujar Kuspawansyah dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Namun, di balik semangat tersebut, desa ini kini menghadapi tantangan besar. Di tengah pesatnya perkembangan sektor pertambangan dan perkebunan sawit yang semakin mendekat, Kuspawansyah khawatir bahwa ritual-ritual adat yang memerlukan banyak perlengkapan alami akan terancam hilang.
“Bayangkan, ketika tambang dan perkebunan sawit semakin masuk, apakah ritual yang mengandalkan alam ini masih bisa berlangsung? Ini adalah ancaman nyata bagi tradisi kami,” tambahnya, mencerminkan kekhawatiran.
Namun, bukan orang Kedang Ipil namanya jika mereka menyerah begitu saja. Pada tahun 2021, bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim, Kuspawansyah berhasil mengajukan dua prosesi adat—Nutuk Beham dan Muang—untuk diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh pemerintah pusat.
Berkat perjuangan tak kenal lelah, pada 2022, keduanya resmi terdaftar sebagai warisan budaya tak benda tingkat nasional. Namun, perjalanan Desa Kedang Ipil tak berhenti di sana. Kini, mereka mengajukan “bahasa langit” atau bahasa dewa kepada UNESCO untuk diakui sebagai warisan budaya dunia.
Bahasa langit adalah bahasa ritual yang digunakan dalam prosesi adat, yang dianggap sebagai salah satu bahasa paling kuno dan langka di dunia. Kuspawansyah menjelaskan bahwa meskipun bahasa ini telah punah di banyak belahan dunia, termasuk Eropa dan Amerika, di Kedang Ipil, bahasa langit masih hidup, berkembang, dan dipertahankan.
“Bahasa langit ini adalah bahasa yang sudah punah di banyak bagian dunia, tapi masih ada di Indonesia, terutama di Kedang Ipil. Ini adalah pengetahuan yang sangat berharga, dan kami bangga bahwa ekosistem bahasa ini masih terjaga di sini,” ungkap Kuspawansyah.
Keberadaan bahasa langit di Kedang Ipil bukan hanya soal warisan, melainkan juga masa depan. Kuspawansyah menegaskan bahwa ekosistem bahasa ini tetap kuat berkat peran generasi muda yang berkomitmen untuk melestarikannya.
“Meskipun ada bahasa serupa di daerah lain, seperti di Maluku dan Nusa Tenggara Timur, keberlanjutan dan jumlah penuturnya semakin berkurang. Di Kedang Ipil, kami masih memiliki generasi muda yang siap menjaga bahasa ini tetap hidup,” jelasnya.
Upaya untuk mengusulkan bahasa langit kepada UNESCO adalah langkah besar yang patut diapresiasi, karena ini tidak hanya bertujuan untuk mengakui keberadaan bahasa ini, tetapi juga untuk melindunginya agar tidak punah.
“Kami sangat berharap bahasa langit ini diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Bukan hanya masyarakat Kedang Ipil, tetapi seluruh dunia dapat belajar dan melestarikan kebudayaan yang sangat berharga ini,” kata Kuspawansyah.
Dengan harapan besar agar dunia mengenali dan menghargai warisan mereka, Desa Kedang Ipil kini menjadi simbol dari tekad yang kuat untuk melestarikan budaya di tengah derasnya arus modernisasi.
Dengan segala usaha dan semangat yang terus dijaga, Kedang Ipil tak hanya menjaga bahasa langit mereka—mereka juga menjaga identitas, sejarah, dan jati diri mereka untuk generasi mendatang. (adv)