Samarinda, intuisi.co — Setelah lebih dari tiga dekade, komunitas pencinta alam Wanadri kembali menyusuri jantung hutan Kalimantan melalui ekspedisi Sungai Kayan. Sepanjang 282 kilometer dari Desa Data Dian, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, hingga Long Peleban, tim ekspedisi menghadapi jeram-jeram ekstrem dalam pengarungan selama 28 hari. Namun, misi ini tak sekadar uji nyali.
Ekspedisi bertajuk “The Last Descent” ini dilakukan untuk mendokumentasikan potensi Sungai Kayan sebelum aliran dan ekosistemnya berubah secara permanen akibat rencana pembangunan lima bendungan besar untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan.
“Kami menyebutnya The Last Descent. Ini bisa jadi pengarungan terakhir sebelum jeram-jeram besar di Sungai Kayan lenyap karena dibendung,” kata Tommy Hasnubara, staf operasi ekspedisi Wanadri, saat ditemui di basecamp Tim belum lama ini.
Ekspedisi ini dipersiapkan selama sembilan bulan. Para anggota menjalani latihan fisik dan teknis pengarungan di sembilan sungai berbeda di Pulau Jawa—mulai dari Citarum, Cimandiri, hingga Progo. Sungai Kayan dipilih karena memiliki segmen ekstrem yang tidak bisa dilalui perahu mesin maupun longboat, termasuk titik kritis di Giram Embun. Di lokasi ini, tim bahkan mendirikan camp observasi khusus untuk menilai kelayakan jalur.

Sungai Kayan Bukan Sekadar Aliran Air
Tim ekspedisi beranggotakan 18 orang, dengan 12 di antaranya merupakan pengarung aktif. Mereka menggunakan kayak, perahu ORS, dan river boat. Sejumlah warga lokal dari Data Dian turut dilibatkan, menjadi narasumber lapangan terkait kondisi sungai.
Menurut Tommy, Sungai Kayan akan dibendung di lima titik berbeda, yang berisiko menghilangkan bentang jeram alami. Karena itu, ekspedisi ini diharapkan menjadi dokumentasi terakhir sungai dalam bentuknya yang masih utuh. Kegiatan ini juga akan difilmkan dalam bentuk dokumenter bekerja sama dengan Depanas Dalam, sineas di balik film “Dilan”.
“Kami ini bukan sekadar pencinta alam. Kami bergerak dengan misi lingkungan. Kalau dulu ekspedisi Wanadri dikenal sebagai pembuka jalur pertama (first descent), sekarang kami merasa seperti penjaga terakhir,” ujar Tommy.
Selama ekspedisi, tim juga mencatat potensi wisata sungai yang selama ini belum tergarap. Menurut mereka, alternatif pembangunan yang berkelanjutan bisa diwujudkan dengan mendorong wisata ekspedisi dan ekowisata berbasis konservasi.
Meskipun berada di tengah rimba, konektivitas tetap dijaga melalui radio komunikasi dan jaringan satelit Starlink. Tim di lapangan berkoordinasi dengan basecamp di Data Dian dan Long Peleban serta markas utama di Bandung. Tiga personel rescue dari desa siaga di hilir untuk kondisi darurat.
Bekal makanan untuk 28 hari disiapkan, ditambah lima hari cadangan. Jadwal pengarungan dibuat ketat agar tidak kehabisan logistik di tengah jalur.
Lebih dari sekadar mencatat jeram, ekspedisi ini adalah pernyataan diam terhadap perubahan masif lanskap Kalimantan. “Kami ingin menunjukkan bahwa Sungai Kayan punya nilai lebih dari sekadar aliran air untuk PLTA. Ini soal sejarah, ekosistem, dan identitas wilayah,” tutup Tommy. (*)