Harga Minyak Global Turun, Asia Untung, Indonesia Waswas

Harga minyak dunia perlahan-lahan melemah. Bagaimana dampaknya ke Asia juga Indonesia?

intuisi

22 Jul 2025 18:56 WITA

harga minyak
Ilustrasi pengeboran minyak di laut lepas. (pixabay.com/istimewa)

Samarinda, intuisi.co — Harga minyak mentah dunia melemah tipis di tengah meningkatnya kekhawatiran akan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Ketegangan ini diperkirakan menekan permintaan energi global akibat perlambatan aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya membebani sentimen investor.

Mengutip Reuters, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) turun sebesar 21 sen atau 0,31 persen menjadi USD66,99 per barel, atau setara Rp1,10 juta per barel (dengan kurs Rp16.500 per USD). Sementara minyak Brent, sebagai acuan harga global, turun 24 sen menjadi US$68,97 per barel, atau sekitar Rp1,14 juta per barel.

Kontrak WTI untuk pengiriman Agustus dijadwalkan kedaluwarsa pada Selasa. Sementara kontrak September—yang lebih aktif diperdagangkan—juga turun 23 sen atau 0,35 persen ke level USD65,72 per barel (sekitar Rp1,08 juta).

Harga minyak mulai kehilangan arah sejak kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel pada 24 Juni lalu. Konflik yang sebelumnya dikhawatirkan dapat mengganggu pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah kini mereda, menenangkan pasar dalam jangka pendek.

Sejak saat itu, rentang pergerakan harga Brent menyempit di kisaran USD5,19 atau sekitar Rp85.600 dan WTI sekitar USD5,65 atau Rp93.200, mencerminkan pasar yang mulai stabil. Namun, ancaman perang tarif justru menjadi tekanan baru.

“Karena kekhawatiran perang dagang mengimbangi dukungan terhadap pelemahan dolar AS,” kata Tony Sycamore, analis pasar dari IG, seperti dikutip Reuters, Selasa (22/7/2025)

Ketegangan memuncak setelah AS mengancam akan mengenakan tarif hingga 30 persen terhadap produk Uni Eropa mulai 1 Agustus jika kesepakatan dagang gagal dicapai. Uni Eropa pun bersiap melancarkan balasan tarif. Isu ini menciptakan ketidakpastian baru di pasar komoditas.

Sementara itu, dari sisi suplai, laporan Reuters menunjukkan tanda-tanda peningkatan produksi global setelah OPEC menghentikan pemangkasan produksi. Data dari Joint Organizations Data Initiative (JODI) menyebutkan ekspor minyak Arab Saudi pada Mei 2025 naik ke level tertinggi dalam tiga bulan terakhir.

Kendati nilai tukar dolar AS melemah—yang biasanya mendukung kenaikan harga minyak—tekanan geopolitik dan potensi perlambatan ekonomi global tampaknya lebih dominan dalam membentuk arah harga.

Para analis memperkirakan harga minyak masih akan berfluktuasi dalam waktu dekat, bergantung pada perkembangan negosiasi dagang antara AS dan Uni Eropa serta arah kebijakan produksi dari OPEC.

Tekanan terhadap harga juga datang dari sisi pasokan. Reuters mencatat, OPEC mulai menghentikan kebijakan pemangkasan produksi yang selama ini menjaga harga tetap tinggi. Data dari Joint Organizations Data Initiative (JODI) menunjukkan bahwa ekspor minyak Arab Saudi pada Mei 2025 meningkat ke level tertinggi dalam tiga bulan.

Jika produksi terus ditambah sementara permintaan global lesu karena perlambatan ekonomi dan perang dagang, maka harga minyak kemungkinan akan tetap rendah hingga kuartal berikutnya. Lantas bagaimana dengan situasi di Asia dan Indonesia secara umum?

Harga Minyak Global dan Situasi di Indonesia

Dalam konteks ini, negara-negara Asia didorong untuk memperkuat ketahanan energi nasional—baik lewat peningkatan cadangan strategis, efisiensi energi, maupun percepatan transisi ke energi terbarukan seperti panel surya dan bioenergi, agar tidak terlalu bergantung pada dinamika pasar migas global.

Asia sebagai kawasan konsumen terbesar energi dunia, tak luput dari imbas gejolak harga ini. Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan—empat importir minyak utama dunia—bisa menghadapi kenaikan biaya logistik dan volatilitas pasokan jika ketegangan meluas ke pasar Asia.

Indonesia sendiri—yang mengimpor sekitar 600–700 ribu barel minyak mentah per hari—ikut terpapar. Harga minyak yang tak stabil menyulitkan perencanaan subsidi energi dan APBN, terlebih jika harga tiba-tiba melonjak akibat reaksi pasar. Pelemahan harga saat ini memang menguntungkan sisi fiskal, tetapi risiko fluktuasi tetap tinggi.

Selain itu, menurut data Refinitiv, lebih dari 70 persen ekspor minyak mentah dari kawasan Teluk dan Afrika Barat masih menuju pasar Asia. Setiap gangguan rantai pasok akibat sengketa dagang global atau pembalasan tarif akan berdampak pada volume ekspor dan harga beli untuk negara-negara di Asia Tenggara.

Negara-negara di Asia seperti Cina, India, dan Jepang justru bisa mengambil manfaat dari harga minyak yang lebih rendah karena merupakan importir besar energi. Biaya energi yang lebih murah bisa mendorong pemulihan industri, menekan inflasi, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi mereka.

Namun bagi Indonesia, yang posisinya unik sebagai net importir BBM tetapi juga eksportir minyak dan gas (migas), tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara ketahanan energi nasional dan stabilitas fiskal. Apalagi di tengah transisi energi dan peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), harga minyak yang volatil dapat mengubah prioritas investasi energi.

Sejauh ini, pemerintah belum memberikan sinyal penyesuaian harga BBM atau revisi asumsi APBN 2025. Namun, jika tekanan harga terus berlanjut dan ketegangan dagang global tak kunjung mereda, pemerintah harus waspada terhadap risiko fiskal dan stabilitas sektor migas nasional.

Penurunan harga minyak mentah dunia membawa dampak ganda bagi Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berpeluang mengurangi beban subsidi energi—khususnya BBM dan LPG—karena harga minyak acuan menjadi lebih murah. Hal ini bisa memberi ruang fiskal bagi APBN, terutama dalam belanja kompensasi energi.

Namun di sisi lain, potensi pendapatan negara dari sektor hulu migas bisa tergerus. Sebagai negara dengan produksi minyak terbatas, namun masih menjual sebagian minyak mentah ke luar negeri, Indonesia dapat mengalami penurunan nilai ekspor energi. Selain itu, perusahaan migas asing yang berinvestasi di sektor eksplorasi juga bisa lebih berhati-hati akibat tekanan harga, yang bisa memengaruhi target lifting nasional.

Sektor hilir juga tidak sepenuhnya diuntungkan. Meski harga BBM global turun, Indonesia menetapkan harga eceran BBM dalam negeri melalui skema harga yang dikontrol pemerintah. Artinya, penurunan harga minyak dunia belum tentu otomatis menurunkan harga BBM di SPBU. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!