Ketika Pejuang-Pejuang Samarinda Melawan Belanda Sebulan setelah Proklamasi
Sebulan selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketegangan masih terjadi di Samarinda dan sekitarnya. Belanda kembali datang untuk berkuasa.
Samarinda, intuisi.co – Perjuangan turut berlangsung di Samarinda ketika Indonesia mempertahankan kemerdekaan selepas diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Baik melalui gerakan bersenjata maupun diplomasi politik.
“Belanda kembali ke Samarinda, menumpang pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie/Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) kemudian mendirikan pemerintahan kembali di pusat Oost Borneo. Melanjutkan otoritasnya yang sempat terlepas ketika Jepang menduduki Samarinda pada 3 Februari 1942,” ujar Sejarawan Samarinda, Muhammad Sarip, kepada intuisi.co, Senin siang, 3 Agustus 2020.
Masyarakat Samarinda tak tinggal diam. Perlawanan dikumandangkan. Kolonialis Belanda balik ditekan. Baik dari gerakan bersenjata maupun diplomasi politik. Gerakan bersenjata oleh kelompok pemuda yang menghimpun diri dalam organisasi bernama Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) yang diketuai RP Joewono sebagaimana tercatat dalam Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1201-2015 (2017, hal 127). Organisasi ini terbentuk pada 25 September 1945 di Stamboel Straat atau sekarang Jalan Panglima Batur. Tepatnya rumah Tengku Montel. Misinya ada tiga, menyiarkan kabar proklamasi kemerdekaan, menjaga keamanan rakyat, dan menyadarkan mengenai hak dan kewajibannya.
PKR kemudian menjadi Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada 26 Desember 1946. Ketuanya tetap RP Joewono. “Laskar gerilyawan ini disokong pejuang pro-Republik Indonesia dari Banjarmasin dan berafiliasi ke BPRI Pusat di Surabaya yang dikomandoi Bung Tomo,” tuturnya.
Dalam gerakan tersebut, BPRI Samarinda melakukan aksi-aksi yang masih bersifat sporadis. Misalnya, sabotase pembakaran gudang barang ekspor Belanda di pelabuhan Samarinda 15 November 1946. Lalu, serangan ke perumahan penjabat kesyahbandaran Belanda di Teluk Lerong pada 15 Januari 1947. Adapun rencana besarnya adalah melakukan gerakan gabungan bersama BPRI Sangasanga pada awal 1947. Aksi ini untuk merebut Sangasanga dari penguasaan Belanda yang saat itu dijaga ketat KNIL.
“Namun, rahasia rencana aksi bocor sehingga koordinasi dengan BPRI Samarinda terkendala dan Belanda dapat mencegah pertempuran di Samarinda,” tuturnya.
Para tokoh BPRI Samarinda antara lain RP Joewono, Djunaid Sanusie, Bustani HN, Asnawi Arbain, Sayid Fachrul Baraqbah, dan Anwar Barack. Nama terakhir merupakan kakek dari public figure Reino Barack. Sementara itu, perjuangan dari jalur diplomasi politik dilakukan organisasi Ikatan Nasional Indonesia (INI) Cabang Samarinda yang diprakarsai Abdoel Moeis Hassan. Pusat gerakannya di Gedung Nasional, Jalan Panglima Batur Samarinda. INI Samarinda kemudian berkoalisi dengan lebih 20 organisasi kemasyarakatan di Kaltim, membentuk Front Nasional.
“Sebagaimana jalur perjuangan Sukarno-Hatta yang melalui diplomasi politik, Front Nasional juga melawan pendudukan Belanda di Kaltim dengan gerakan politik. Front Nasional pada 1947 hingga 1950 sering disebut sebagai pemerintahan tandingan Belanda di Kaltim,” pungkasnya. (*)