Samarinda, intuisi.co – Herman Runturambi bersikeras dengan niatannya keluar markas persembunyian untuk membeli rokok. Sementara tak satupun rekan seperjuangannya berkenan dengan keinginan itu. Mencegah tempat mereka bersembunyi tercium para pasukan Belanda.
Februari 1947, petang baru saja meninggalkan Samarinda. Namun silang pendapat antara sesama pejuang Kota Tepian belum ikut terbenam. Herman Runturambi tetap dengan keinginannya keluar dan membeli tembakau.
Para pejuang Samarinda ini sudah beberapa hari menghabiskan waktu di markas persembunyian, daerah hutan Kampung Pinang Air Putih. Berisi pejuang perang Sangasanga dan pejuang Samarinda. Di luar sana, tentara Belanda yang tergabung dalam Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) alias tentara Kerajaan Hindia Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration), tersebar mengejar pejuang kota ini.
“Waktu itu Herman Runturambi, salah satu pejuang, ingin membeli rokok atau tembakau. Tapi ditentang rekan-rekannya yang lain karena bisa membongkar rahasia posisi markas,” ucap ahli sejarah Samarinda, Muhammad Sarip, Kamis pagi, 6 Agustus 2020.
Berkali-kali dicegah, Herman tetap ngotot. Mantan polisi Belanda itu tetap meminta Kepala Kampung Pinang Air Putih, Hamid, yang juga dari kalangan pejuang, keluar mencari tembakau. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Tak lama setelah Hamid keluar, letak lokasi persembunyian pasukan ketahuan. “Entah (Hamid) tertangkap lalu dipaksa membocorkan rahasia markas, dibuntuti dari belakang, atau terjadi pengkhianatan. Intinya, saat itu jalur menuju persembunyian pejuang diketahui Belanda,” terang Sarip.
Mendekati tengah malam, sekitar 200 meter dari markas, empat sekawan penjaga pos pengawas markas, Soekiman, Sastromiharjo, Kusbi, dan Tjorong, dibunuh pasukan Belanda. Nyaris tanpa suara. Bahkan pejuang di dalam markas, tak tahu penjajah menyergap.
Sebagian sedang santai. Ada pula yang tertidur. Dalam kondisi itu Belanda melancarkan tembakan. Membabi buta. Beberapa pejuang terbunuh. Sebagian lagi ditangkap.
“Syukurnya saat itu ada yang bisa menyelamatkan diri. Berenang menyeberangi sungai. Bertahan di dataran tinggi berbukit,” sebut Sarip. “Herman Runturambi ikut tertangkap. Tangannya diikat namun tidak diikat ke pohon seperti pejuang lainnya.”
Sejumlah pejuang yang memegang senjata, mencoba mempertahankan diri. Namun pasukan Belanda masih terlalu sulit untuk ditaklukkan. Adegan baku tembak baru berakhir saat mentari perlahan menanjak.
Pasukan KNIL mengumpulkan jenazah para pejuang. Kemudian membakar markas persembunyian tersebut. Namun ternyata, sebagian pejuang dengan persenjataan telah berada dalam posisi menyerang. Tentara Belanda pun balik diserang. Dibuat tergopoh-gopoh mengatur posisi bertahan.
“Kondisi itu coba dimanfaatkan Herman dan rekan-rekan pejuang lainnya melarikan diri,” lanjut Sarip.
Para pejuang pun kembali bersembunyi. Dari melewati sawah yang padinya sudah menguning, hingga menyeberangi sungai dan bergabung bersama pejuang lainnya. Menyebar ke Temindung, Mangkupalas, Handil, Ambalut, Separi, hingga pedalaman Kutai. Lalu ke Kalimantan bagian tengah. “Mereka berkonsolidasi dengan kekuatan yang sudah terpisah-pisah,” ujar Sarip.
Dari sejumlah pejuang yang gugur, ada enam jenazah teridentifikasi dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, Jalan Kusuma Bangsa, Samarinda. Di antaranya Tjorong bin Abu Bakar, Sastrowardjojo, Aman bin Ijuh, Asan, Masdar bin Mansur, dan Gondo.
Serangan di Kampung Pinang Air Putih tersebut, menjadi salah satu pertempuran penting di Samarinda, selama masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (*)