ARMAN JAIZ berjalan perlahan di antara tanah menganga bekas jejak ekskavator. Seketika ia membuang pandangannya ke arah Sungai Sepaku, tempat batu badok, situs budaya Suku Balik yang lenyap ditelan pembangunan Proyek Intake Sepaku–penyuplai air baku Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Dulu, di situ ada batu tempat kami meletakkan sesaji untuk ritual adat,” kata Arman Jaiz Sambil menunjuk ke arah batu badok di Sungai Sepaku pada akhir Februari 2025.
Dengan semangat terbalut pilu, Arman membuka cerita yang tersisa kepada jurnalis intuisi.co dan prolog.co.id. Kisah temaram yang mereka alami dalam mempertahankan memori kolektif, didapatkan turun-temurun dari leluhur Suku Balik. Mulai dari adat, situs budaya hingga bahasa.

Dari catatan Mini Ensiklopedia Masyarakat Adat Suku Balik hasil riset AMAN Kaltim, batu badok dulunya berdampingan batu bawi–situs budaya yang lebih dahulu lenyap– merupakan situs sakral Suku Balik. Menjadi tempat bertuah untuk melakukan ritual adat, seperti irow, Sepetong Jatus, Jakit dan Cera’–memotong hewan kurban. Ritual ini dipercaya sebagai alat berkomunikasi dengan leluhur.
Bukan hanya ritual, ada pula folklor atau cerita rakyat di balik keberadaan batu badok dan batu bawi. Suku Balik percaya batu badok jelmaan dari badak, sedangkan batu bawi jelmaan dari babi. Keduanya melanggar hukum alam dan dikejar petir hingga melompat ke sungai yang sekarang disebut Sungai Sepaku.
Kata Arman, semenjak IKN datang, salah satu dampak yang sangat dirasakan oleh warga Suku Balik adalah kehilangan situs budaya. Padahal entitas tersebut sangat erat kaitannya dengan ritual adat. Ketika tempat tersebut lenyap maka ritus-ritus adat akan sukar dilakukan. Dan hal tersebut bakal mengganggu difusi kebudayaan bagi generasi selanjutnya.
“Gimana mau cerita? Tempatnya (situs budaya) sudah tak ada,” ucap Arman lirih.
Kendati demikian, Arman mengisahkan mula legenda batu badok tersebut. Zaman dulu, tatkala sebagian besar kepercayaan suku balik masih karib dengan animisme dan dinamisme, batu badok dianggap sebagai dewa yang dikutuk menjadi badak karena melanggar aturan alam.
Rupanya saat dikutuk melalui sambaran petir itu, sambung dia, di bawah batu tersebut ada beberapa babi. Jadilah bentuknya seperti badak dan babi. Ada tiga batu di situ bila diperhatikan seksama. Cerita ini didapatkan dari orangtua dan mereka memperolehnya dari generasi sebelumnya.
“Di situ (batu badok) menjadi wadah untuk ritual adat oleh mulung (pemimpin ritual/dukun) sering dilakukan,” jelasnya.
Kata Arman, dalam tradisi Suku Balik ritus kebudayaan biasanya dipimpin oleh seorang mulung. Mulai dari ritual penyembuhan, berburu, ucapan syukur atau hal-hal lain yang berkaitan dengan adat. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam dan sosial dalam masyarakat Balik.
“Dengan kata lain, mulung adalah pemimpin ritual sekaligus mediator dengan leluhur penjaga masyarakat Suku Balik,” imbuhnya.
Arman menuturkan, ritual adat Suku Balik itu beragam. Ada yang disebut besoyong yakni lantunan mantra atau doa panjang dengan tujuan memohon keberkahan, menghindarkan dari roh jahat, dan meminta cuaca baik. Lalu ada bedewah (belian bawo) yaitu ritual menyampaikan hajat atau permohonan kepada roh leluhur, meminta keselamatan, keberuntungan hingga perlindungan.
Adapula sabi seba’ sengiang, lanjut dia, ialah ritus sebelum membuka ladang. Ritual ini merupakan bentuk permohonan kepada Tuhan dan roh leluhur untuk keberkahan dan kelancaran proses berladang. Selanjutnya adalah besoyong, merupakan permohonan agar acara berjalan lancar dan diberi keberkahan.
“Jadi masing-masing ritual punya maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Tapi saling berkaitan antara satu dengan yang lain,” tambahnya.
Dia menjelaskan, sebelum ada proyek intake sepaku, batu badok sering digunakan untuk ritual adat. Satu dekade lalu, generasi Arman pun masih bisa melihat situs budaya tersebut. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi lantaran digerus pembangunan Intake Sepaku. Dari informasi yang diterima, ritual besar besoyong pernah dilakukan di kawasan batu badok.
“Itu tahun 84-90-an. Ritual tersebut dilakukan untuk meminta izin kepada penguasa hutan sebelum membuka lahan. Persisnya kebun warga,” katanya.
Dirinya pun bertanya-tanya, mengapa tempat sepenting itu tak dijaga saat hendak pembangunan intake. Komunikasi dengan warga pun tak ada. Karena yang mereka tahu, bangunan tersebut tiba-tiba saja masuk proses konstruksi. Penolakan dari warga memang ada, tapi tak bertahan lama.
“Kami bingung karena dianggap (Suku Balik) tak ada. Itu situs budaya penting bagi kami,” tuturnya.
Dari semua ritual, sambung Arman, paling mendapat perhatiannya adalah belah kepala dalam bedewah. Ini bukan kiasan. Kepala pasien memang benar-benar dibelah untuk menyembuhkan penyakit atau kutuk. Biasanya tiga hari. Prosesnya memang diklaim metafisika alias supranatural.
“Bila memainkan logika, kepala dibelah pasti mati ‘kan. Ini tidak. Setelah penyakitnya dianggap keluar, ditutup lagi kepalanya dan kembali sembuh. Tak ada bekasnya sama sekali. Tidak masuk akal,” sebutnya.
Kata Arman, ritual bedewah memang sangat bebahaya dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang mulung. Pun demikian, gendang serta mantra yang mengikuti. Tak boleh salah. Jika keliru, pasien dan mulung bisa kehilangan nyawa. Namun sekarang ritual ini sangat jarang ditemui. Salah satu kendalanya adalah regenerasi. Biasanya generasi terakhir tak sempat mengangkat murid, karena memang tak bisa sembarangan.
“Ini pula yang membuat penerusnya terputus. Tak ada yang mewarisi,” ujarnya.
Apakah masih ada situs budaya Suku Balik yang lain?
Arman menguraikan situs budaya yang masih dilihat hingga kini. Misalkan bakau biang atau bakau kuning yang ada di kawasan Teluk Balikpapan. Kemudian mengarah ke kawasan Muara Jawa, Kutai Kartanegara itu masing-masing ada tukar tondoi, batu sekiur, batu bawi. Situs ini berada di kawasan tersebut karena sebelumnya Suku Balik juga pernah bermukim di tempat tersebut.

“Lokasinya ini memang jauh. Paling dekat (Sungai Sepaku) dengan kami sekarang itu yang sudah hilang,” ungkapnya.
Dia dan pemuda lainnya tentu berusaha untuk melindungi situs budaya Suku Balik yang masih tersisa sampai sekarang. Caranya dengan campaign sederhana di media sosial. Sebab situs budaya ini begitu penting bagi Suku Balik untuk urusan ritual adat. Jangan sampai dihilangkan lagi. Salah satu yang masih dijaga hingga sekarang ialah batu sekiur dan bakau kuning.
Kami memang sempat menanyakan itu, soal situs budaya. Tapi pihak otorita memberi jawaban bila itu merupakan (kehilangan) bagian dari proses. Seakan-akan itu adalah hal wajar. Walaupun ada proses, jangan kami yang jadi korban,” katanya.
Lenyap Situs, Lenyap Pula Kisah dan Pengetahuan Suku Balik
Bagi Ketua Adat Suku Balik, Sibukdin, situs budaya bukan hanya sekadar objek untuk mengamalkan tradisi leluhur, melainkan tempat untuk menunjukkan identitas komunitasnya. Penerusnya pun akan semakin buram dengan tradisi dan budaya leluhur. Dahulu ada dua situs budaya dekat dengan permukiman Suku Balik yakni batu badok dan batu bawi di Sungai Sepaku.
“Sekarang batu badok dan batu bawi sudah hilang,” sebutnya.
Sibukdin melanjutkan, hilangnya situs budaya Suku Balik sudah terjadi sekitar lima dekade lalu, sejak era kayu merajalela. Dimulai dari batu bawi yang hilang pada masa itu. Tahun berbilang warsa, keberadaan situs budaya Suku Balik kian terancam mulai dari masuknya perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga program transmigrasi yang mengikis budaya Suku Balik.
“Kami punya tempat sakral tapi sudah hampir punah semua, pertama dari perusahaan, trans, baru munculnya IKN. Situs itu ‘kan mengandung sejarah, tapi dihilangkan. Makam saja kan hilang, didorong semua,” keluhnya.

Sebagai tokoh masyarakat adat, Sibukdin paham betul jika situs budaya bukan hanya sekadar objek untuk menjalankan ritual, melainkan sebagai tempat pembelajaran. Jika situs budaya lenyap, maka hilang pula kisah rakyat hingga pengetahuan dari para leluhurnya.
Bisa saja penerus suku balik nantinya lupa dengan pengetahuan alam yang dirawat dan turunkan sejak kala. Terlebih kini hutan yang sebelumnya menjadi tempat Suku Balik mencari penghidupan kian menyusut.
“Habis semua, kena balak liar, perusahaan juga. Padahal dulu dalam satu hektare hutan itu ada 4-5 pohon bangris, tempat ruang hidup kami, tempat madu kami. Mungkin anak muda sekarang ulin saja tidak tahu bagaimana pohonnya, padahal itu ciri khasnya Kalimantan dan berhubungan erat dengan budaya kami,” tutup Sibukdin.
Sebelas duabelas dengan Sibukdin, bagi Sekion yang juga tokoh Suku Balik, situs budaya menjadi objek untuk merawat budaya. Namun, sejak situs budaya yang paling dekat pemukiman lenyap, berbagai tradisi dan ritual pun tak lagi dijalankan.
“Sekarang sudah jarang dilakukan (tradisi). Berbeda dengan dahulu yang setiap tahun, seperti mau merintis untuk berladang kan ada ritual-ritualnya,” kata Sekion.
Pria yang usianya hampir menginjak 70 tahun ini ingat betul ketika masyarakat Balik masih sering menjalankan berbagai tradisi, seperti jakit. Ritus ini kerap digunakan untuk menyampaikan hajat kepada sang pencipta dan leluhur.
Berbagai olahan makanan hasil dari hutan dibungkus dalam ancak–anyaman daun nipah dan setiap pojoknya diikat daun diru, daun kombat (kratom), dan juga daun serembolum. Ancak yang berisi berbagai olahan makanan ini kemudian dilarungkan di Sungai Sepaku.
“Semenjak ada IKN tambah jarang tradisi itu dijalankan. Hutan kan sudah habis juga,” kenang Sekion.
IKN: Pukulan Telak atau Peluang Menjaga Situs Budaya?
Bagi Antropolog Martinus Nanang, situs budaya bukan hanya sekadar tempat spiritual, melainkan sebagai medium untuk melihat kultur masyarakat adat. Menjadi bukti otentik kehadiran masyarakat adat dan identitas kebudayaan peninggalan leluhur.
“Batas tanah mereka (Suku Baik) secara historis juga bisa dilihat dari situs budaya, kalau itu sudah dihilangkan ya mereka sudah tidak punya bukti lagi,” terangnya.
Ia beranggapan, jika situs budaya hilang, maka masyarakat adat seperti Suku Balik akan semakin lupa dengan identitasnya. Terlebih tradisi dan pengetahuan peninggalan leluhurnya yang berkaitan erat dengan hutannya. “Cuma saya lihat semenjak adanya IKN ini kan sudah jauh dari konteks tradisionalnya,” sebutnya.
Kendati demikian, Martinus menduga degradasi budaya pada Suku Balik sebenarnya sudah terjadi sekitar lima dekade yang lalu. Sejak era pembalakan kayu, transmigrasi hingga masuknya perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Seluruh peristiwa lampau yang bersinggungan dengan Suku Balik menjadi akumulasi kemerosotan identitas budaya Suku Balik.
“Semuanya itu menjadi akumulasi, tapi menurut saya IKN ini menjadi pukulan yang paling besar, pukulan terakhir terhadap identitas mereka,” kata Martinus menduga.
Cendekiawan yang mengajar di Universitas Mulawarman (Unmul) ini turut menduga, ke depan, pola interaksi sosial masyarakat Balik pun akan berubah. Dugaannya ini berdasarkan mulai lenyapnya situs budaya dan rencana jumlah penduduk IKN yang diproyeksikan mencapai 1,9 juta jiwa pada 2045 mendatang. Kondisi ini akan membuat Suku Balik, khususnya generasi muda secara tidak langsung terpaksa mengikuti pola hidup pendatang dan meninggalkan tradisi leluhurnya.
“Ini yang saya takutkan akan menghapus identitas mereka. Ini juga akan berpengaruh pada resistensi budaya Suku Balik, karena resistensi budaya berkaitan erat dengan jumlah komunitas masyarakat adat,” terangnya.

Di tengah mega proyek IKN hingga ancaman akulturasi budaya, Martinus berpendapat situs budaya berfungsi sebagai identitas Suku Balik seharusnya dilindungi. Ia paham benar upaya pelestarian situs bukan langkah yang mudah, namun juga bukan hal mustahil, terlebih jika pemerintah mau membuka diri untuk mengakomodir pengakuan masyarakat adat.
Dari pengalamannya sewaktu melakukan studi di Jepang, ia mendapati perlindungan situs budaya yang terbilang sederhana. Yakni, tambang batubara mieke, situs warisan dunia yang terdaftar di UNESCO sebagai salah satu Situs Revolusi Industri Jepang. Terbaru, tambang emas sado juga masuk situs warisan budaya di badan PBB khusus kebudayaan tersebut pada 27 Juli 2024.
“Kan dalam pikiran saya loh masa tambang batu bara jadi world heritage, ternyata mereka (orang jepang) bisa mengangkat jadi warisan dunia. Mungkin kita menganggap sederhana juga milik orang balik ini, tapi jika diperjuangkan bisa saja menjadi world heritage,” kata Martinus.
Martinus menyebut dampak dan solusi yang terjadi pada Suku Balik sebenarnya pernah disampaikannya di beberapa seminar, diskusi hingga dalam bentuk tulisannya. Ia menyarankan agar warga Balik tetap dapat hidup berkomunitas, seperti tulisan yang dimuat pada blog pribadinya, maru-maru.asia.
Dalam tulisannya yang berjudul Argumen Antropologis Pentingnya Warga Balik dan Paser di IKN Tetap Hidup Berkomunitas, ia menerangkan pentingnya masyarakat diberikan ruang hidup berkomunitas dengan perlindungan hukum. Kehidupan berkomunitas akan menjadi peran penting dalam melestarikan identitas budaya. Alhasil, Suku Balik nantinya tetap mampu mewariskan tradisi, bahasa dan praktik mereka.
“Menerapkan budayanya ya di masing-masing kampungnya, bukan disentralisir di satu area, jangan dibuat culture center, kalau seperti di eropa itu seperti gedung besar ada tempat pertunjukannya, itu kan tidak ada gunanya. Seharusnya buat lah semacam kampung budaya berdasarkan tempatnya, di kampungnya. Itu ide awal yang sudah lama saya sampaikan,” terangnya.
Ia juga menyinggung penggunaan istilah living museum dalam pelestarian budaya yang disampaikan Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat, Alimuddin dalam laporan berjudul Senjakala Bahasa Suku Balik di Nusantara di prolog.co.id dan intuisi.co yang terbit pada 23 April lalu. Menurutnya istilah itu kurang etis, jika ingin lebih baik ia menyarankan menggunakan istilah kampung budaya.
“Saya tidak suka pakai bahasa itu, seolah-olah mereka itu, masyarakat itu dari jaman purba yang dijadikan tontonan, menurut saya itu kurang menghargai orang balik itu,” ucapnya ketus.
Martinus melanjutkan jika pun jalan untuk melestarikan budaya melalui pariwisata, maka kampung budaya masih sangat bisa diterapkan. Bahkan menurutnya dengan adanya kampung budaya di sekitar IKN dapat menjadi daya tarik wisatawan. Objek wisata budaya pun bisa lebih beragam.
“Kan juga bisa menjadi daya tarik untuk IKN, ya tidak harus di dalam IKN-nya bisa di luar juga, asal bisa dijangkau. Tapi saya masih tetap optimis sekaligus berharap lah, Otorita IKN akan merawat suku balik, saya masih mencoba percaya dan menunggu apa yang akan dilakukan ke depan,” ucapnya menutup.

Di tempat lain, Antropolog Sri Murni yang sempat melakukan pengabdian masyarakat di Desa Wonosari, Kelurahan Sepaku pada 2024 dan 2023 lalu, berpendapat jika degradasi budaya Suku Balik sudah terjadi sebelum pembangunan IKN. Terjadi sejak era transmigrasi.
“Sewaktu saya mengobrol saat itu, memang menjadi menarik karena budaya mereka mulai luntur bukan spontan karena adanya IKN datang, tapi sebelumnya juga mulai pudar,” kata Sri. “Jadi melihatnya secara utuh mulai dari adanya perusahaan HTI, transmigrasi dan IKN, jadi melihatnya tidak secara parsial”.
Kendati demikian, ia tak menampik sejak hadirnya IKN degradasi budaya Suku Balik semakin masif. Suku Balik minoritas menyebabkan adanya penetrasi budaya dari pendatang.
“Budaya-budaya lain yang masuk akan menyebabkan adanya percampuran budaya. Artinya banyak orang luar yang masuk dan terjadi interaksi hingga perkawinan yang mungkin saja menyebabkan lupa dengan beberapa tradisinya dan mungkin tidak terjadi pewarisan (budaya)”, kata Sri menduga.
Dugaan Sri sejalan dengan Jurnal Kebijakan Publik berjudul Transformasi Sosial Budaya Penduduk IKN Nusantara. Dalam jurnal tersebut, menyebutkan pembangunan IKN akan berdampak pada perubahan sosial budaya. Penetrasi budaya pendatang yang masih bernuansa rural tidak hanya menimbulkan gegar budaya, tetapi dapat mematikan budaya lokal dan berubah menjadi budaya baru.
Untuk menghindari punahnya budaya Suku Balik, Sri menyarankan agar ruang diskusi antara pemerintah daerah, Otorita IKN dan masyarakat adat dapat dibuka selebar-lebarnya. Tujuannya, agar kebutuhan masyarakat adat diketahui secara menyeluruh.
Tak hanya kebutuhan masyarakat Balik di tengah pembangunan IKN, ruang diskusi bisa dimanfaatkan untuk menggali situs budaya apa saja yang dimiliki Suku Balik. Pun demikian dengan cerita rakyat dan tradisinya.
“Seharusnya ada komunikasi untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat. Tapi saya sih yakin Otorita IKN sudah membuka diskusi, tapi apakah sampai ke akarnya? Maksud akarnya ini sampai ke masyarakatnya, atau cuma selevel pimpinan, ini yang harus dibenahi,” sebutnya.
Kendati sebagian situs budaya Suku Balik telah hilang, Sri berpandangan jika pembangunan IKN juga menjadi celah untuk menjaga situs budaya yang masih tersisa. Ia mencontohkan seperti di Pulau Jawa, jika ada penemuan situs budaya maka akan segera diinventarisir. Bahkan jika telah didata dan dilindungi dengan produk hukum, dapat dijadikan tempat wisata.
“Harusnya bisa (pelestarian situs budaya), itu bagian dari tugas negara untuk menjaga situs-situs. Tapi bukan PR-nya pemerintah pusat saja, Pemda-nya harus lebih aware, masyarakatnya juga,” tutup Akademisi Universitas Indonesia ini.

Mencatat Peninggalan Leluhur untuk Generasi Penerus
Bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, tradisi Suku Balik dengan situs dan alamnya menjadi hubungan sakral yang patut dijaga. Namun kenyataannya, seiring pembangunan IKN, situs yang menjadi medium Suku Balik menjalankan tradisinya semakin lenyap.
“Ditetapkannya IKN lebih lagi memperparah tekanan mereka (Suku Balik) yang betul-betul memisahkan tradisi budaya dengan alamnya. Tidak banyak ruang lagi, sehingga mereka tercerabut (terasing) dari lingkungannya,” kata Ketua AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk.
Kendati demikian, AMAN Kaltim tengah berupaya menjaga budaya peninggalan leluhur Suku Balik. Sejak 2011 lalu, sebelum Suku Balik dikenal secara luas, AMAN Kaltim telah memulai mendata dan menyusun ulang tradisi yang mulai hilang.
Catatan kekayaan Suku Balik seperti tradisi, situs budaya hingga cerita rakyat didokumentasikan AMAN Kaltim dalam Mini Ensiklopedi Masyarakat Adat Suku Balik. Catatan terbitan pada November 2024 ini ditujukan agar menjadi bekal bagi generasi muda Suku Balik untuk kembali mengingat kekayaan identitas nenek moyangnya.
“Selain itu kami memiliki program sekolah adat. Kami percaya tradisi mereka bisa hidup dan berjalan melalui dokumentasi kecil yang ada saat ini,” harap Saiduani.
Perihal upaya pelestarian situs budaya Suku Balik, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin mengatakan kini tengah melakukan pendataan. Bukan hanya situs budaya Suku Balik, ia menyebut jika ada beberapa suku lainnya di pinggiran wilayah IKN seperti Suku Paser dan Dayak juga ikut didata. Hasil pendataan situs budaya kemudian akan disinkronisasikan dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kaltim.
“Untuk secara pasti (situs budaya) saya tidak pegang datanya, mungkin pada direktur saya. Yang jelas di situ (IKN) ada komunitas Paser, Balik, dan di pinggirannya ada Dayak walaupun kecil-kecil tapi kami berharap ini bisa lebih besar lagi, bisa berkembang,” sebutnya.
Pengembangan budaya yang dilakukan nantinya tidak hanya menyasar masyarakat adat yang masuk di wilayah IKN saja, tetapi budaya lainnya. Sebab, Alimuddin paham betul di tengah pertumbuhan penduduk IKN akan terjadi asimilasi budaya.
Alimuddin berpendapat, jika asimilasi budaya terjadi tanpa menghilangkan budaya lokal, maka akan menghasilkan peradaban sosial baru.
“Ini yang harus kita wanti-wanti budaya lokal agar bisa menerima budaya luar, begitu juga yang dari luar bisa bertransformasi dengan budaya lokal. Jika bisa terpelihara dengan baik, mudah-mudahan akan mengarah ke bentuk peradaban baru atau new civilization lah, sehingga muncul keberagaman kita dalam wahana Nusantara itu,” tutupnya. (day/rio)
Laporan ini merupakan liputan kolaborasi media daring intuisi.co dan prolog.co.id dengan dukungan dari AJI Indonesia.