Ilustrasi anak nelayan bermain di tepi pantai. (pixabay.com/istimewa)

TELISIK

Menarik Benang Merah Krisis Iklim dan Pernikahan Anak di Pesisir

Krisis iklim tak hanya memicu bencana ekologis, tapi juga pernikahan anak di kawasan pesisir

Almerio Pratama

30 Mei 2025 12:44 WITA

Pagi baru saja merekah di langit utara Jakarta ketika sekelompok perempuan menggelar tikar di tepi dermaga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Mata mereka menatap laut, menanti garis perahu-perahu nelayan yang kembali dari pelayaran malam. Kapal-kapal itu membawa ikan, kerang, dan harapan yang dibungkus jaring basah—rezeki yang menggantungkan nasib para perempuan di pesisir Cilincing.

Janah dan Jaroh, dua perempuan muda bersaudara, ikut menyambut kapal-kapal itu. Mereka segera turun tangan membantu menurunkan hasil tangkapan: karung-karung berisi kerang. Setelah itu, rutinitas pun dimulai. Mereka mengupas kerang sejak matahari naik hingga menjelang gelap. Tangan mereka cekatan, meski sering berdarah karena tertusuk cangkang tajam. Luka itu diobati ala kadarnya: air garam dan kain bekas.

“Kalau luka ya tetap kerja. Mau gimana lagi?” kata Janah, suaranya datar, nyaris tanpa nada seperti dikutip dari Mongabay.co.id

Dua kakak-beradik ini belum genap 25 tahun, tetapi sudah menyandang gelar istri dan ibu sejak usia 16 tahun. Mereka membawa anak-anak kecil ke dermaga, seperti dulu ibu mereka membawa mereka. Rantai nasib yang tak pernah putus, seperti jaring kusut di haluan kapal. Upah harian mereka berkisar antara Rp15.000 hingga Rp36.000, tergantung seberapa banyak kerang yang bisa dikupas, dan seberapa murah hati nelayan membagi rezeki.

Ketika laut sedang muram, cuaca tak menentu dan tangkapan sedikit, pekerjaan mereka mengering. Mereka lalu mencari penghasilan tambahan: membantu di pasar, mencuci ikan, atau pekerjaan rumah tangga lain. Semua ini dilakukan sambil mengasuh anak. Tak ada tempat penitipan. Tak ada waktu luang. Janah dan Jaroh menikah setelah tamat SMP. Bukan karena cinta remaja yang menggebu, tapi karena keterbatasan. Karena beban ekonomi orang tua. Karena tidak ada pilihan lain.

“Kalau terus sekolah, orang tua harus biayain. Kami pikir lebih baik menikah saja, bantu ekonomi,” kata Janah.

Pernikahan anak bukan akhir cerita. Ia adalah awal dari rantai keterbatasan baru: keterbatasan pendidikan, kesehatan, akses informasi, dan kemerdekaan tubuh. Di Kalibaru, perempuan seperti Janah dan Jaroh harus menjalankan tiga peran sekaligus: pencari nafkah, ibu rumah tangga, dan pendidik anak. Tanpa dukungan. Tanpa sistem.

“Kalau ngandelin suami aja, mana cukup,” kata Jaroh. Suaminya melaut sejak malam, pulang saat matahari tenggelam. Semua urusan domestik dia tanggung. 

Janah masih menyimpan mimpi, meski samar-samar. “Sebenarnya saya ingin sekolah lagi. Kerja di PT. Atau keluar dari sini. Tapi saya nggak tahu harus mulai dari mana. Nggak punya tabungan. Sekarang saya sudah berkeluarga,” katanya pelan. Suaranya seperti gumaman, tenggelam di deru ombak kecil dan suara nelayan yang memanggil nama.

Di tempat lain, Siti, tetangga mereka juga senada. Dia menikah di usia 15 tahun, punya cerita serupa. “Ibu nggak kuat cari nafkah sendiri setelah ayah meninggal. Jadi saya nikah.”

Baca juga: Mendulang Dampak Baik dari Transisi Energi

Krisis Iklim dan Ketidakadilan Struktural

Sementara itu, Yayasan Rumah KitaB (Kita Bersama), lembaga yang fokus pada isu hak perempuan dan anak, mencatat angka yang mencengangkan. Dalam satu RW di Kalibaru, terdapat setidaknya 108 kasus pernikahan anak. Banyak dari mereka dinikahkan karena sudah hamil—hasil dari relasi tak setara, sebagian akibat kekerasan seksual. 

Pada 2017, Yayasan Rumah KitaB melakukan asesmen yang menyebutkan perkawinan anak jamak terjadi di Kelurahan Kalibaru. Selain desakan ekonomi, anak-anak terpaksa menikah karena terjadinya kekerasan seksual. Setidaknya ada sekitar 108 kasus terjadi di Kelurahan Kalibaru.

“Dari 10 anak yang menikah karena hamil, delapan mengalami trauma,” kata Achmat Hilmi, Direktur Kajian Yayasan Rumah KitaB.

Data ini berbanding terbalik dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut angka pernikahan anak di Jakarta Utara hanya 0,2 persen—terendah kedua di Indonesia. Realitas di lapangan jauh berbeda. Banyak pernikahan anak dilakukan tanpa pencatatan resmi, usia anak dimanipulasi agar sesuai hukum, dan prosesnya seringkali berlangsung diam-diam.

“Lingkungan rusak memperburuk ekonomi. Pendapatan nelayan turun. Ikan makin sedikit dan kualitasnya buruk. Anak-anak tak punya ruang bermain. Pendidikan kesehatan reproduksi juga tak masuk,” ujar Achmat.

Penurunan pendapatan mendorong keluarga mengambil jalan pintas: menikahkan anak. Tak jarang, anak perempuan justru dikorbankan—dijadikan alat tukar untuk menyeimbangkan neraca dapur. Mereka dianggap beban, bukan aset.

Bukan hanya di Kalibaru, Jakarta Utara, gejala pernikahan anak menjalar seperti pasang yang datang tanpa jeda ke pesisir-pesisir lain di Pulau Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur 2019 mencatat lonjakan mengkhawatirkan: di Sampang, Madura, sebanyak 59 persen anak perempuan menikah di usia dini. Di Situbondo, angkanya mencapai 50 persen, sementara Probolinggo tak jauh berbeda—53 persen.

Fenomena ini bukan terjadi begitu saja. Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), ada kaitan erat antara pernikahan anak dan kerusakan lingkungan yang semakin menggila. Krisis iklim yang kian menggerus hasil laut, menipiskan isi dompet nelayan, dan menyempitkan ruang hidup warga pesisir, menjadi pemantik keputusan-keputusan sulit—termasuk menikahkan anak sebelum waktunya.

“Sepuluh tahun terakhir, kami menyaksikan bagaimana krisis iklim menyasar anak-anak,” kata Susan Herawati, sekretaris Jenderal Kiara. “Para orang tua, terutama nelayan yang hidup dari laut, akhirnya memilih jalan pintas: menikahkan anak perempuan mereka lebih cepat untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.”

Kenyataan ini menyakitkan, tapi jamak terjadi. Anak perempuan masih diposisikan dalam kerangka lama: sebagai beban yang kelak akan berpindah tangan ke suami, cukup dijaga agar tak melenceng dari tugas lama yang diwariskan: dapur, sumur, kasur. Ketika perut sulit diisi, masa depan pun dijual.

Pernikahan anak di kawasan pesisir tak hanya mencerminkan kemiskinan kronis, tapi juga memperlihatkan betapa krisis iklim tak cuma berdampak pada gelombang pasang, melainkan juga pada kehidupan sosial. Dampak dari kerusakan alam itu, seperti dikatakan Susan, sering kali luput dari perhatian publik.

“Kita bicara bukan hanya soal kehilangan hasil tangkapan atau abrasi. Kita bicara tentang anak-anak yang kehilangan masa depan, karena dijadikan alat bertahan hidup oleh keluarga yang terjepit,” tegas Susan.

Fenomena Krisis Iklim yang Memukul Hingga Lokal

Yayasan Humanis melalui Laporan yang berjudul Hak dan Ketahanan Perempuan Nelayan di Tengah Perubahan Regulasi dan Iklim yang dirilis pada Januari 2025, menyebutkan risiko kekerasan terhadap perempuan kian meningkat di wilayah pesisir Demak, Jawa Tengah. Desa yang terisolasi akibat banjir rob memicu beratnya tekanan psikologis serta keterbatasan akses bagi masyarakat, hingga akhirnya berujung pada kekerasan.

Lebih lanjut, perempuan pesisir juga menanggung beban yang berlipat ganda, jelas pakar dalam laporan tersebut. Karena pendapatan nelayan tak menentu, perempuan pesisir harus memastikan keluarganya tetap bisa makan. Mereka harus memutar otak untuk mencari uang, mulai dari bekerja serabutan, menjadi pedagang kecil, hingga mencari utang. Ketika mereka terlilit utang, bukan tidak mungkin orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. 

Persoalan pernikahan anak di kawasan pesisir bukan hanya milik Kalibaru atau Pesisir Jawa. Studi dari The Ohio State University pada 2023 menyebutkan bahwa bencana ekologis akibat krisis iklim seperti kekeringan, banjir, dan badai meningkatkan risiko pernikahan anak. Petaka ini tidak secara langsung memaksa pernikahan, tapi memperparah ketimpangan yang sudah ada: kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakmampuan negara hadir.

“Bencana ini memperburuk masalah struktural yang sudah ada,” ujar Fiona Doherty, peneliti utama studi itu.

Secara global, diperkirakan satu dari lima anak perempuan menikah sebelum 18 tahun. Bahkan di negara berpenghasilan rendah dan menengah, angkanya mencapai 40 persen.

Kehidupan Janah dan Jaroh menjadi dua dari banyak cerita lainnya yang menunjukkan hubungan kausalitas penelitian tersebut yang terjadi di Indonesia.

Laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2020 bahkan menyebutkan, kerusakan alam berkontribusi terhadap peningkatan kekerasan berbasis gender. “Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia memicu kekerasan terhadap perempuan. Dan ini sering diabaikan,” ujar Grethel Aguilar, Direktur Jenderal IUCN dalam keterangan persnya.

Kalibaru, Jakarta atau Jawa bukan satu-satunya tempat di Indonesia di mana anak di bawah umur menikah untuk membantu keluarga yang tertimpa krisis iklim. Bahkan studi IUCN menyebutkan saat musim panas ekstrem, anak-anak perempuan di Ethiopia dan Sudan Selatan juga dijual untuk dinikahkan dengan imbalan hewan ternak. 

UNICEF juga pun menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat kedelapan dunia dan kedua di Asia Tenggara pernikahan anak atau menikah sebelum 18 tahun. Bahkan, 22 dari 34 provinsi di Indonesia mencatat tingkat pernikahan anak melebihi rata-rata nasional di 2019, yaitu 10,82 persen. Studi ini menyebutkan ada beberapa faktor pendorong, yakni pendidikan, ekonomi, tempat tinggal dan tradisi. 

Solusi Agar Lepas dari Petaka Kriris Iklim

Pernikahan anak meningkat, dengan banyak anak perempuan yang menikah akibat tekanan ekonomi yang diperburuk oleh krisis iklim, yang membatasi pilihan mereka dalam pekerjaan dan kehidupan. Selain itu, perempuan di komunitas pesisir juga menanggung beban ganda dengan harus berperan dalam ekonomi keluarga sambil tetap menjalankan tugas domestik yang tidak terlihat. Lalu apakah fenomena tersebut punya jawaban?

Sekjen Kiara, Susan menekankan bahwa semua ini tidak bisa dibiarkan menjadi rutinitas yang dinormalisasi. “Harus ada kebijakan yang tegas. Hukum harus menindak manipulasi usia. Pendidikan kesehatan reproduksi harus masuk hingga ke kampung pesisir. Dan perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan.”

Budaya patriarki, kata Susan, tak hanya menyingkirkan perempuan dari panggung, tapi juga mencabut hak mereka atas mimpi. “Anak perempuan harus tahu bahwa mereka bisa punya pilihan. Pendidikan bisa jadi jalan keluar dari siklus ini.”

Tapi untuk itu, negara harus hadir. Bukan hanya lewat slogan dan kampanye, tapi lewat sistem yang nyata: sekolah yang gratis dan aman, layanan kesehatan yang ramah gender, dan program penguatan ekonomi yang berpihak pada perempuan.

Karena jika tidak, dermaga Kalibaru akan terus menjadi panggung kisah yang sama: anak perempuan yang menunggu kapal datang, mengupas kerang, lalu menikah di usia remaja—mengulang takdir yang diwariskan tanpa pernah ditanya apakah mereka menginginkannya. (*)


 

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!