EkonomiHeadline

Menggiurkannya Potensi Pariwisata Kaltim, Manfaat Berkelanjutan, Rambatan Ekonomi Luas

Aktivitas pariwisata sungguh tak dapat dianggap remeh. Dengan strategi dan investasi tepat, sektor ini mampu jadi penopang utama ekonomi bangsa.

Maratua, intuisi.co—Berpuluh tahun sudah perekonomian Kaltim bergantung sumber daya alam (SDA). Batu bara pun primadona sampai kini. Pertumbuhan positif ekonomi Kaltim pada 2021 di triwulan tiga ini sebagian besar ditopang pertambangan. Untuk sesaat, emas hitam jadi penyelamat. Tapi, sulit diharap untuk waktu yang lebih lama. Pariwisata pun dikemukakan sebagai suksesor.

Triwulan tiga 2021, ekonomi Kaltim tumbuh positif 4,51—meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya (5,76). Sektor pertambangan lagi-lagi memegang peranan penting dengan share 46,82 persen. Industri pengolahan dengan share terbanyak kedua bahkan terpaut cukup jauh—17,06 persen.

Dominannya sektor pertambangan tak lepas dari produksi dan ekspor belakangan yang relatif kuat. Salah satunya dipicu peningkatan permintaan Tiongkok yang mencapai 75 juta ton pada semester dua 2021. Tren kenaikan harga batu bara selama periode tersebut juga membantu proses pemulihan ekonomi Kaltim.

Sayang, kebaikan batu bara terhadap ekonomi tak terus-terusan bisa diharap. Tanda-tandanya telah terlihat sejak jauh hari. Selama bergantung batu bara, ekonomi Kaltim tumbuh relatif rendah. Tidak stabil dan tak berkesinambungan. Bergantung dinamika harga internasional. Belum lagi persoalan cadangan batu bara.

Kini, Kaltim dihadapkan masalah yang lebih serius. Permintaan batu bara dunia makin berkurang. Negara-negara makin menekan emisi karbon. Dipicu upaya menahan laju global warming.

Dalam analisisnya, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Kalimantan Timur menyebut jika permintaan batu bara dari Amerika Utara dan Eropa bakal makin berkurang hingga 2040. Permintaan di Asia Pasifik juga diperkirakan stagnan mulai 2035. Pada periode ini, dunia mulai beralih ke pengembangan energi baru terbarukan atau EBT yang ramah lingkungan.

“Keberhasilan dunia mengurangi konsumsi batu bara, tergantung seberapa cepat negara-negara menguasai teknologi EBT,” terang Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur, Tutuk SH Cahyono, Sabtu, 6 November 2021, di Maratua, Berau.

Batu Bara Makin Ditinggalkan

Menggeser batu bara dengan sumber energi ramah lingkungan pun bukan kampanye semu. Negara-negara makin menunjukkan komitmen mengurangi pola yang merusak iklim, termasuk batu bara. Dilansir dari Reuters, permintaan batu bara global pada 2020 mencapai 7.243 juta ton, turun 5 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan antara 2018 dan 2020, tingkat permintaan batu bara global dilaporkan turun 7 persen atau sekitar 500 juta ton. Bagi Kaltim, sinyalemen ini jelas jadi warning.

“Otomatis kita bisa perkirakan. Kebutuhan (batu bara) makin lama makin dikit. Akhirnya harus mikir sektor lain untuk dimajukan. Kalau enggak, bagaimana masa depan Kaltim?”

Meneropong masa depan perekonomian Kaltim, terutama setelah era batu bara, pariwisata menjadi sektor yang dikemukakan sebagai suksesor. Bukan tanpa alasan. Sejak dulu, pariwisata telah memegang peran penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi negara. Berperan krusial pula mendukung perbaikan transaksi berjalan di Tanah Air. “Sebelum pandemi, sumber devisa kita nomor dua itu pariwisata. Batu bara nomor satu,” ungkap Tutuk.

Selama 2017–2019, batu bara memang mencatatkan devisa tertinggi dibanding komoditas lainnya. Dari USD20,5 miliar pada 2017, naik jadi USD24 miliar setahun kemudian. Dan pada 2019 turun jadi USD21,7 miliar—meskipun tetap tertinggi dibanding komoditas lain. Sedangkan pariwisata mencatatkan devisa USD14,7 miliar pada 2017; naik jadi USD17,9 miliar setahun kemudian; meningkat lagi jadi USD18,4 miliar pada 2019. Sejak 2018, pariwisata menjadi sumber devisa tertinggi kedua di Indonesia, menyalip minyak kelapa sawit. Dan meski masih terpaut cukup jauh dari batu bara, pariwisata setidaknya mampu konsisten meningkat sebelum pandemi covid-19 merebak.

Maka, tak mengejutkan jika kemudian pariwisata dikemukakan jadi andalan. Potensinya pun tak main-main. Dengan strategi tepat, pariwisata sungguh mampu menjadi sektor utama dan menggeser peran utama batu bara pada masa mendatang.

Manfaat Hebat Pariwisata

Harapan ini diperkuat hasil analisis dampak dari Computable General Equilibrium Interregional Input-Output (CGE IRIO) 2010 yang dilakukan BI Kaltim. Adapun CGE adalah suatu kelas model ekonomi menggunakan data ekonomi aktual untuk memperkirakan reaksi sektor ekonomi terhadap perubahan terhadap faktor-faktor eksternal seperti kebijakan, teknologi, dan lainnya. Dan hasilnya, penambahan investasi dan produktivitas di pariwisata memiliki dampak lebih signifikan dibanding pertambangan.

Dari skenario 1 simulasi model CGE, didapatkan bahwa penambahan investasi Rp1 triliun di sektor pariwisata lebih memiliki dampak tinggi dan berkelanjutan. Sedangkan pertambangan pada jangka panjang memunculkan dampak yang terus menurun.

Investasi Rp1 triliun di pariwisata juga mampu meningkatkan PDRB Kaltim hingga 0,3 persen dari baseline-nya. Yang menurut BI, hal tersebut disebabkan rambatan keekonomian pariwisata yang luas.

Sementara dalam skenario dua, simulasi model CGE mendapati jika pemerintah menjadikan pariwisata fokus utama terhadap arah pembangunan wilayah, efek penyerapan tenaga kerja akan jauh lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan sebagai fokus utama. Refocusing arah pembangunan terhadap pariwisata meningkatkan penyerapan tenaga kerja di Kaltim mencapai 1,84 persen lebih tinggi dibanding baseline-nya.

“Di pariwisata, sekali investasi, dampaknya terus-menerus. Kesempatan kerja juga luas dan menciptakan banyak sekali sektor bergerak. Mulai travel, ekonomi kreatif, dan lainnya,” urai Tutuk. “Kalau batu bara hanya tongkang yang bergerak. Kalau pariwisata semua. Transportasi, kuliner, UMKM, hotel, restoran,” lanjutnya.

Rambatan ekonomi luas menjadi alasan sektor pariwisata begitu menguntungkan. Ujung-ujungnya, kreativitas anak muda ikut meningkat. Mindset masyarakat ikut berubah. Tutuk pun mencontohkan Bali yang kini kian akrab dengan mindset melayani. Masyarakatnya makin dikenal dengan keramahannya.

“Membangun budaya melayani orang itu penting. Membuat tamu merasa nyaman akhirnya menambah durasi menginap dan makin banyak menghabiskan uangnya. Kuncinya adalah hospitality dan inovasi,” pungkas Tutuk. (*)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by intuisi.co (@intuisimedia)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.