Mikroplastik Ancaman bagi Krisis Iklim dan Pangan?

Penelitian terbaru menunjukkan mikroplastik mulai merusak jantung kehidupan di darat, yakni fotosintesis

intuisi

21 Agu 2025 22:40 WITA

mikroplastik
Sungai Mahakam tercemar mikroplastik. Warga diminta waspada (Hendrojkson/wikimedia.org)

Balikpapan, intuisi.co Mikroplastik, yang terbentuk dari pelapukan plastik berukuran lebih besar, kini ditemukan di hampir semua sudut planet, dari puncak gunung hingga dasar laut, bahkan menyusup ke organ manusia. Kekhawatiran kian besar bahwa partikel ini, ketika masuk ke sel tanaman, dapat mengacaukan proses fotosintesis. Dampaknya tidak sepele: pertumbuhan tanaman melambat, panen terganggu, dan pada skala global bisa mengurangi ketersediaan pangan.

Sebuah studi yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences awal tahun ini menyebut pencemaran mikroplastik mampu menurunkan efisiensi fotosintesis hingga 12 persen pada tanaman darat maupun alga. Imbasnya, hasil panen pangan laut diperkirakan berkurang 7 persen, sementara tanaman pokok bisa kehilangan produksi hingga 13,5 persen. 

Para peneliti memperingatkan, gangguan itu berpotensi membuat ratusan juta orang kehilangan akses terhadap pangan aman. Meski begitu, mereka menambahkan, penurunan kadar mikroplastik global sebesar 13 persen saja bisa mencegah hampir sepertiga kerugian fotosintesis.

Namun, keterbatasan data masih menjadi kendala. Peter Fiener, profesor tanah dan air dari Universitas Augsburg, Jerman, mengatakan belum ada peta global yang jelas tentang kontaminasi mikroplastik di tanah. 

“Untuk memahami dampaknya pada produksi pangan global, kita butuh data menyeluruh, dan itu belum tersedia,” ujarnya seperti dikutip dari DW Indonesia.

Hal senada disampaikan Victoria Fulfer, ilmuwan mikroplastik dari lembaga nirlaba 5 Gyres di Amerika Serikat. Menurutnya, variabilitas polimer plastik dan zat aditif membuat dampak ekologisnya sulit diprediksi.

Sumber kontaminasi juga beragam. Mulai dari film mulsa pertanian yang diklaim biodegradable tetapi tetap menyisakan zat aditif, pupuk berbasis lumpur limbah, hingga serpihan ban kendaraan dan serat pakaian yang terbawa udara maupun air. 

Setelah berubah menjadi mikroplastik atau nanoplastik, partikel itu hampir mustahil dihindari. Di dalam tanah, mereka bisa mengganggu pergerakan air, merusak pemecahan nutrien, dan pada gilirannya menghambat pertumbuhan tanaman.

Ancaman lain muncul dari kaitannya dengan perubahan iklim. Plastik menghasilkan gas rumah kaca sejak diproduksi hingga dibuang. Jika mikroplastik menghambat fotosintesis secara luas, kapasitas ekosistem seperti mangrove, padang lamun, dan rawa pesisir untuk menyerap karbon ikut tergerus. 

Penelitian Winnie Courtene-Jones dari Universitas Bangor, Wales, menunjukkan kombinasi banjir dan mikroplastik di lahan pesisir bisa menurunkan efisiensi fotosintesis sekaligus mempercepat erosi akibat curah hujan ekstrem. “Mikroplastik memperburuk sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim,” ujarnya.

Sementara itu, produksi plastik terus melesat. Dalam dua dekade terakhir, jumlahnya melonjak tajam dan diproyeksikan dua hingga tiga kali lipat pada 2050. Sekitar 99 persen plastik masih berbasis bahan bakar fosil, dengan tingkat daur ulang hanya 9 persen. Pekan ini, lebih dari 170 negara kembali berunding di Jenewa, Swiss, membahas perjanjian global yang mengikat untuk menekan polusi plastik. 

“Cara terbaik mencegah kerusakan adalah menutup keran produksi,” kata Fulfer. Namun, agenda pengurangan produksi plastik disebut sebagai titik paling alot dalam negosiasi, setelah perundingan serupa buntu di Busan, Korea Selatan, tahun lalu.

Baik, saya akan tambahkan narasi tentang penyebaran mikroplastik di Sungai Mahakam, Samarinda, lalu mengaitkannya dengan konteks riset global dan dampaknya pada lingkungan serta pangan. Berikut hasil revisinya dengan tambahan tersebut.

Sungai Mahakam Sudah Tercemar Mikroplastik

Di Samarinda, jejak mikroplastik sudah terdeteksi di Sungai Mahakam. Sebuah riset Universitas Mulawarman menemukan kandungan mikroplastik dalam ikan konsumsi yang ditangkap di Mahakam, termasuk ikan nila dan gabus yang sehari-hari dikonsumsi warga. 

Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama mahasiswa Universitas Mulawarman menemukan ribuan partikel plastik berukuran mikro di sepanjang aliran Mahakam dan anak sungainya.

Riset pada 24 September 2022 ini dilakukan di enam titik, mulai dari muara Sungai Karang Mumus (SKM) hingga Kutai Lama, Kabupaten Kutai Kartanegara. Hasilnya mencengangkan. Di kawasan Jalan Gajah Mada, Samarinda, tercatat ada 324 partikel mikroplastik dalam setiap 100 liter air sungai. “Selain arusnya kuat dan sungainya lebar, di sini juga banyak sampah plastik dari pasar, pelabuhan, dan anak Sungai Mahakam,” kata Prigi Arisandi, peneliti ESN.

Jenis mikroplastik yang mendominasi adalah fiber (71,8 persen) dan filamen benang plastik (23,2 persen). Sisanya berasal dari serpihan tas kresek, botol minuman, sedotan, hingga popok sekali pakai. Menurut Prigi, sampah-sampah ini pecah menjadi partikel kecil akibat paparan matahari dan pasang surut sungai.

Dampaknya merembes ke rantai pangan. Riset mahasiswa Unmul pada 2019 membuktikan puluhan ikan gabus dan baung di Mahakam serta SKM sudah tercemar mikroplastik, rata-rata sembilan partikel dalam satu ekor ikan. Artinya, mikroplastik sudah masuk ke perut ikan konsumsi masyarakat Samarinda. “Setidaknya ada sembilan partikel dalam satu ikan,” ujar Prigi yang juga penerima Goldman Environmental Prize.

Menurut Dosen Teknik Lingkungan Unmul, Juli Nurdiana, pencemaran ini bukan hal mengejutkan. Samarinda hingga kini tidak memiliki TPA berkonsep sanitary landfill. TPA Bukit Pinang sudah overload, sementara TPA Sambutan sulit dijangkau. “Pengangkutan sampah tidak menjangkau semua penduduk, fasilitas pengelolaan minim, sehingga masyarakat masih membuang sampah langsung ke Mahakam,” ujarnya.

Bahaya mikroplastik tidak hanya pada kesehatan manusia, tetapi juga ekosistem. Kajian internasional menunjukkan partikel ini bisa menghambat fotosintesis tumbuhan hingga 12 persen dan mengurangi produktivitas pangan dunia. Jika Mahakam terus tercemar, bukan hanya ikan yang terancam, melainkan juga kemampuan sungai menyerap karbon dan menyediakan oksigen.

Para peneliti sepakat, tanpa pengelolaan sampah yang serius, Sungai Mahakam bisa berubah menjadi sungai plastik. “Kami sarankan perbaikan tata kelola sampah harus dimulai sekarang juga,” pungkasnya. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!