Panel Surya Dari Indonesia Digugat AS, Kok Bisa?

Produsen panel surya AS tak terima dengan perusahaan panel surya dari Asia, termasuk Indonesia.

intuisi

19 Jul 2025 20:49 WITA

panel surya
Ilustrasi pemasangan panel listrik tenaga surya (pixels.com/istimewa)

Jakarta, intuisi.coAsosiasi produsen panel surya Amerika Serikat mengajukan petisi kepada Departemen Perdagangan pada Kamis (17/7/2025), meminta pemberlakuan tarif impor terhadap produk panel surya dari Indonesia, India, dan Laos. Mereka menuduh perusahaan-perusahaan dari ketiga negara tersebut melakukan praktik dumping dan mendapat subsidi tidak adil dari pemerintah, sehingga produk mereka membanjiri pasar AS dengan harga murah dan melemahkan industri domestik.

Langkah ini merupakan upaya terbaru dari kelompok bernama Alliance for American Solar Manufacturing and Trade, yang beranggotakan perusahaan-perusahaan seperti First Solar, Talon PV, dan Mission Solar. Sebelumnya, aliansi ini sukses menekan pemerintah AS untuk memberlakukan tarif terhadap panel surya dari Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Tarif baru tersebut disahkan awal tahun ini dan mulai membatasi ekspansi perusahaan asal Tiongkok di wilayah-wilayah tersebut.

Kini, perhatian mereka beralih ke Indonesia dan Laos, yang dianggap menjadi lokasi alternatif bagi perusahaan Tiongkok untuk menghindari tarif AS. Petisi juga menyoroti produsen India yang dinilai menjual produk dengan harga di bawah biaya produksi.  “Kami selalu mengatakan, penegakan hukum perdagangan yang tegas sangat penting bagi keberhasilan industri ini,” ujar Tim Brightbill, pengacara utama asosiasi, dalam sebuah pernyataan.

Sejak pengesahan Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022, AS memang mendorong pembangunan industri energi terbarukan di dalam negeri. Kapasitas produksi panel surya AS meningkat pesat dari 7 gigawatt (GW) pada 2020 menjadi 50 GW tahun ini, menurut data Asosiasi Industri Energi Surya (SEIA). 

Namun, kapasitas tersebut masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional yang diperkirakan mencapai 43 GW per tahun hingga 2030. Impor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos tahun lalu mencapai USD1,6 miliar atau setara Rp26 triliun lebih, naik tajam dari USD289 juta senilai Rp4,7 triliun pada 2022. 

Petisi ini, jika diterima, akan memicu proses investigasi oleh Departemen Perdagangan yang dapat memakan waktu sekitar satu tahun sebelum tarif final diberlakukan. Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan resmi.

Jika penyelidikan jadi dilakukan, Indonesia berpotensi menghadapi konsekuensi serius terhadap ekspor manufaktur energinya, khususnya di tengah komitmen untuk mendukung bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) nasional yang ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025. Sengketa tarif ini dapat menjadi ujian diplomasi ekonomi RI dalam menjaga keseimbangan antara ekspansi ekspor hijau dan kepentingan dagang global.

Impor Panel Surya dari Indonesia Meningkat

Menurut data Asosiasi Industri Energi Surya (SEIA), impor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos melonjak dari USD 289 juta pada 2022 menjadi USD1,6 miliar pada 2024. Di saat bersamaan, kapasitas produksi panel AS naik drastis dari 7 gigawatt (GW) menjadi 50 GW sejak diberlakukannya Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022 yang memberi insentif besar bagi produsen dalam negeri.

Namun peningkatan tersebut belum mampu mengimbangi permintaan energi bersih yang kian meningkat. SEIA mencatat, kebutuhan panel surya AS mencapai hampir 43 GW per tahun hingga 2030. Dengan kata lain, AS tetap bergantung pada pasokan luar negeri, termasuk dari negara-negara yang kini tengah disorot.

Indonesia sendiri sedang berusaha mempercepat transisi energinya. Pemerintah menargetkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025 dan 34 persen pada 2030. Untuk itu, pengembangan industri manufaktur panel surya dalam negeri dipandang strategis, baik untuk memenuhi permintaan dalam negeri maupun ekspor. Sejumlah perusahaan, termasuk anak usaha BUMN dan mitra swasta asing, telah membangun fasilitas produksi di Jawa dan Kalimantan.

Sementara itu, Tiongkok masih menjadi pemain dominan pasar global, dengan lebih dari 70 persen produksi panel surya dunia berasal dari negeri Tirai Bambu. Namun karena tekanan tarif dari AS dan Uni Eropa, banyak perusahaan Tiongkok memindahkan lini produksi mereka ke Asia Tenggara—termasuk Indonesia dan Laos.

India pun menjalankan kebijakan serupa. Sejak 2022, pemerintah India mendorong skema Production Linked Incentive (PLI) untuk meningkatkan kapasitas manufaktur panel surya lokal dan menekan impor dari Tiongkok. Namun ironisnya, produsen India juga dituding menjual dengan harga dumping di pasar AS.

Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memberikan pernyataan resmi atas petisi tarif dari AS tersebut. Jika penyelidikan formal dilanjutkan dan tuduhan terbukti, Indonesia berisiko dikenakan tarif baru yang dapat memukul sektor ekspor energi hijaunya.

Di tengah tuntutan global atas transisi energi bersih, sengketa tarif seperti ini menunjukkan betapa peliknya persaingan geopolitik dan ekonomi hijau. Indonesia perlu memainkan diplomasi dagangnya dengan cermat, agar misi ambisiusnya dalam energi bersih tak justru terganjal oleh hambatan perdagangan internasional. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!