HeadlineSorotan

Perpres 10/2021 Dicabut, Produsen Cap Tikus di Samarinda Gigit Jari

Produsen miras Cap Tikus di Samarinda ini sudah pengalaman usahanya digerebek. Perpres 10/2021 yang sempat bergulir, memberi kelegaan sesaat.

Samarinda, intuisi.co – Industri minuman keras atau miras lokal masih begitu tabu di sejumlah daerah. Termasuk penjualan miras Cap Tikus yang dilakukan kucing-kucingan di Samarinda. Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang sempat bergulir, memberikan pelaku usahanya angin segar. Sayang hanya sesaat.

Dalam salah satu poin di peraturan presiden tersebut, pintu investasi industri miras lokal menjadi memungkinkan. Kabar itupun dengan segera disambut hangat para pelaku usaha di bidang ini. “Kami enggak perlu sembunyi-sembunyi lagi jualan,” terang WR, salah satu penjual miras khas Sulawesi Utara, Cap Tikus, di Samarinda, kepada intuisi.co, Jumat sore, 5 Maret 2021.

Namun, ketika peraturan tersebut disambut baik produsen miras lokal, pada saat yang sama, gejolak penolakan dari pihak yang berseberangan sangat hebat bergulir. Hingga akhirnya Presiden Joko Widodo alias Jokowi, menarik lagi peraturan tersebut.

Di Indonesia, terdapat tiga daerah yang sangat dikenal sebagai penghasil miras lokal. Yakni Bali yang terkenal dengan arak Bali, kemudian Nusa Tenggara Timur (NTT) ada moke atau Sopi, dan di Sulawesi Utara, Cap Tikus.

Tentang Cap Tikus

WR yang asli Manado, Sulawesi Utara, menyebut bahwa Cap Tikus bukan barang terlarang di kota tersebut. Pemerintah juga sudah memberi izin peredarannya. Bahkan ada produsen yang memproduksinya dengan kemasan menarik hingga menjadi salah satu oleh-oleh populer di Manado.

Bagi penduduk setempat, Cap Tikus juga kerap dikonsumsi sebagai minuman obat. Ditenggak dengan takaran secukupnya kala pagi dan malam. Lain hal jika diminum dalam jumlah banyak. Bukannya obat, malah jadi penyakit. “Jadi secukupnya saja,” kata dia.

WR semula begitu senang mengetahui presiden membuka diri dengan investasi industri miras lokal. Dengan aturan tersebut, tak ada lagi rasa waswas menjual CT di Samarinda yang masih ketat membatasi peredaran miras.

Sebagai produsen miras lokal, WR merasakan sendiri ketatnya peraturan di Samarinda. Ia pernah beberapa kali digerebek. Syukurnya hanya masuk pidana ringan.

Adapun CT merupakan miras yang dihasilkan dari sulingan tuak, minuman tradisional dari pohon aren. Setelah tuak dipanaskan, uap yang dihasilkan kemudian disuling ke tempat lain. Butuh waktu berjam-jam menghasilkan miras tradisional tersebut. Karena dari uap yang dihasilkan, hanya memunculkan tetesan kecil. Kesabaran pun menjadi sangat diuji.

“Saya waktu masih di kampung (Sulut) biasa bikin ini. Jadi sudah tahu langkah-langkahnya,” sebutnya.

Dari tempat WR, CT satu botol kecil ukuran 600 mililiter (ml) dihargai Rp60 ribu. Ukurasn yang lebi besar, bisa dikenakan ratusan ribu rupiah. “Cap Tikus ini minuman tua, warisan nenek moyang,” pungkasnya. (*)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by intuisi.co (@intuisimedia)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.