Penajam, intuisi.co – Di bawah terik matahari Penajam Paser Utara (PPU), petani rumput laut menjemur hasil panen mereka di atas tanah berdebu. Bau khas rumput laut yang mengering menyatu dengan rasa frustrasi yang tak terucapkan. Harga jual yang hanya Rp3.000 per kilogram telah menghancurkan harapan mereka untuk hidup lebih baik.
“Saat ini, kami hanya bisa menjual rumput laut seharga itu karena metode pengeringannya sangat sederhana. Hanya dijemur di tanah begitu saja,” ungkap Sujiati, anggota DPRD PPU, yang dengan mata berkaca-kaca menyaksikan tantangan yang dihadapi petani.
Metode tradisional ini tak hanya membuat kualitas rumput laut menurun, tetapi juga menjatuhkan daya tawar petani. Pengepul yang membeli hasil panen dengan harga murah kembali menjualnya dengan keuntungan berlipat. Ironisnya, para petani yang bekerja keras memanen, mencuci, dan menjemur hanya mendapat sedikit bagian dari rantai ekonomi ini.
Sujiati menyoroti bahwa kondisi ini telah berlangsung lama tanpa solusi konkret. “Petani kita kehilangan potensi pendapatan yang besar. Mereka seharusnya bisa mendapatkan harga lebih layak jika kualitas produk bisa ditingkatkan,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah daerah untuk turun tangan. Menurutnya, pelatihan dan pendampingan teknis mengenai teknik pasca panen yang lebih modern dan higienis adalah kunci agar petani dapat meningkatkan kualitas rumput laut dan daya tawar mereka di pasar.
Namun, waktu terus berjalan. Di tengah janji-janji perbaikan, para petani tetap harus bergulat dengan kenyataan pahit setiap harinya. Jika tak ada langkah nyata, jerih payah mereka akan terus terhimpit oleh rendahnya harga dan minimnya dukungan.
Ketika matahari perlahan tenggelam, hamparan rumput laut yang dijemur masih menjadi saksi bisu kegigihan mereka. Petani berharap suatu saat, kerja keras mereka tak hanya dihargai dengan angka kecil, tetapi juga dengan masa depan yang lebih cerah. (adv)
