Potret pembangunan Ibu Kota Nusantara yang dekat dengan lokasi istana negara. (Sopoyono Dadang/prolog.co)

TELISIK

Senjakala Bahasa Suku Balik di Nusantara

Eksistensi bahasa Suku Balik kian mendekati tepi jurang. Penutur aslinya tak lebih dari sepuluh orang. Jika hilang, lenyap pula kisah ritual dan kearifan lokal yang terjaga berabad-abad.

intuisi

23 Apr 2025 20:09 WITA

Duduk di beranda rumah panggungnya yang mulai dimakan waktu, Sekion, lelaki berusia 67 tahun itu tengah menatap hening ke arah tepian rimba Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dari mulutnya, mengalir lantunan kata yang kini hanya dipahami oleh lima orang di dunia: bahasa Suku Balik. Alat komunikasi verbal itu kini berada di tepi jurang. Sukar menemukan generasi penerus.

“Sampai sekarang saya masih menjaga tradisi bahasa Suku Balik,” ujar Sekion tatkala membuka komunikasi dengan jurnalis intuisi.co dan prolog.co.id pada akhir Februari 2025 di kediamannya di RT 03 Kelurahan Sepaku.

Sekion merupakan saksi hidup atas perjuangan bahasa dan budaya komunitasnya. Baginya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jejak identitas dan warisan leluhur yang mengakar. Menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas serta menjadi sarana menjaga koneksi spiritual dengan alam yang memberi kehidupan Suku Balik.

Ia ingat betul ketika masih kecil, sekitar enam dekade lalu, seluruh warga Suku Balik masih karib menggunakan bahasa etnis leluhurnya untuk berkomunikasi sehari-hari. Termasuk menyampaikan niat untuk mencari makanan di hutan ke leluhur hingga ritual adat.

Suku Balik
Sekion (kanan) satu dari lima penutur bahasa Suku Balik yang fasih. (Sopoyono Dadang/Prolog.co.id)

“Tradisi pakai bahasa balik untuk izin ke leluhur sebelum cari makan di hutan. Ini masih saya terapkan dan itu saya anjurkan ke anak cucu saya,” kata Sekion.

Sayang, tatkala tahun bersalin warsa, bahasa yang sehari-hari digunakan dulu perlahan memudar. Generasi kini, sudah mulai kaku berkomunikasi menggunakan bahasa Suku Balik. Sedangkan angkatan tua Suku Balik, seperti Sekion semakin berumur.

“Selain saya masih ada kakak saya dan adik saya yang lancar (bahasa Balik). Tapi Kalau yang seusia saya yang bisa pakai bahasa balik (ada juga), tapi kemungkinan sudah banyak meninggal,” ucapnya.

Meski bahasa Suku Balik perlahan mulai ditinggalkan, pria kelahiran 1957 ini tak hilang akal. Dia ingin warisan budayanya itu tetap terjaga. Ia kemudian mencoba menurunkan bahasa nenek moyangnya tersebut ke anak serta cucunya. 

Di rumah, seluruh anggota keluarga harus menggunakan bahasa Suku Balik. Dengan begitu anak dan cucunya bisa mengenal bahasa ini sejak usia dini. Sehingga, penerusnya tidak lupa identitas diri yang selama ini ia pegang teguh.  

“Kalau di dalam rumah ya memang sehari-hari pakai bahasa Balik. Ketemu keluarga ya bahasa Balik, jadi biar anak-cucu paham juga,” ucapnya.

Cara lain yang digunakan Sekion agar bahasa Suku Balik tetap terpelihara baik, ialah menikah dengan sesama suku. Pada 1984 silam, ia kemudian mempersunting perempuan dari Suku Balik. Pernikahan serumpun ini juga merupakan pesan mendiang ibunya semasa hidup.

Pernikahan dalam suku Balik ini dipandang penting oleh Sekion untuk menjaga kesinambungan budaya dan bahasa. Menurut dia, pernikahan sesuku menjadi langkah paling sederhana untuk merawat bahasa dan budaya leluhurnya. Lantaran hal tersebut paling mendasar.

“Istri ini dipilihkan ibu saya, diminta dari suku sendiri. Sebab, takut hilang bahasa dan budaya Balik kalau (nikah) sama suku lain,” kata Sekion mengenang pesan mendiang ibunya.

Namun, langkah Sekion tak sesederhana pikirannya. Walau sudah mempersunting istri serumpun hingga menggunakan bahasa Balik saat di rumah, peninggalan budaya leluhurnya itu belum tersebar maksimal. Anak dan cucunya, kurang fasih menggunakan bahasa sukunya sendiri.

Lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, bahkan beberapa peranakan dan kerabatnya justru lebih fasih berbahasa suku lain, misalnya saja Suku Jawa, Bugis, Batak hingga Toraja. “Mereka (peranakan Sekion) sebenarnya mengerti (bahasa Suku Balik), tapi kalau ngomong enggak lancar. ‘kan dulu di sekolah terbiasa pakai bahasa nasional (bahasa Indonesia),” keluh Sekion. 

“Tapi, saya sudah pesan ke mereka harus belajar, kalau saya ini kan sudah tua, besok atau lusa saya meninggal siapa lagi yang ngasih tahu (bahasa balik),” sambungnya.                          

Gambaran turunannya kurang mahir bahasa Suku Balik ini terjadi kepada Mirwansyah, pemuda Suku Balik sekaligus cucu dari Sekion. Dari ribuan kosa kata bahasa Balik, hanya segelintir yang dia pahami. Wajar demikian, selama 23 tahun hidup, Mirwan lebih terbiasa berbahasa Indonesia, termasuk saat berada di rumah. 

Begitu pula saat berada di lingkungan sekolah, tak ada bahasa Suku Balik. Hanya bahasa Indonesia. Serupa saat bersama teman-teman, bahasa ibu mereka sangat jarang digunakan. Alhasil, ia kikuk dengan bahasa leluhurnya tersebut.

“Kami memang mendapatkan pengetahuan bahasa Balik dari orang tua, namun kata-kata tersebut tak sempurna (menyeluruh). Misal, ketika sore tak tahu pulang ke rumah. Diomelin mansuk kalian tu’. Artinya, jalan ke kuburan kalian nanti,” kata Mirwan mencontohkan.

Walaupun pengetahuan bahasa Suku Balik Mirwan masih minim, ia masih terus mencoba menggunakan alat komunikasi leluhurnya itu. Terlebih saat berbincang dengan kakeknya, ia memilih berbahasa Balik. Walau pun tak seluruh kosa kata dia kuasai.

“Sama orang rumah (keluarga) jarang menggunakan bahasa Balik, lebih banyak bahasa Indonesia. Kecuali saat berbicara dengan kakek (pakai bahasa Balik), tak ada campuran bahasa lain,” terang pria berkulit sawo matang ini.

Mirwan pun sadar benar penggunaan bahasa Suku Balik dalam kehidupan sehari-hari harus terus digaungkan. Terlebih saat pembangunan mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kurang memperhatikan sebagian budaya masyarakat asli. Namun, ia tak ingin hanya berpangku tangan, melihat peninggalan leluhurnya hilang begitu saja.

Kini, Mirwan dan teman sebayanya mulai menggunakan bahasa Balik. Di mulai dari hal sederhana seperti saat sedang bergurau. Jika ada yang tidak mengerti atau salah melafalkan, maka mereka pun akan saling mengoreksi. 

“Kami saling mengajarkan dan mengoreksi antara satu dengan yang lain,” sebutnya.

Menyusun “Puzzle” Budaya Suku Balik

Pucuk dicinta ulam pun tiba, niat Mirwansyah melestarikan budaya peninggalan leluhurnya ini mendapatkan jalan. Ia diajak Arman Jais, teman sekaligus familinya untuk ikut serta dalam menyusun Mini Ensiklopedia Masyarakat Suku Balik.

Proyek untuk mendokumentasikan kehidupan Suku Balik ini dijalankan bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim–organisasi non-pemerintah yang tidak berorientasi keuntungan. Proyek tersebut sudah berjalan selama tiga tahun terakhir.

Bak menyusun “puzzle” satu per satu kosakata dicatat Mirwan bersama teman-temannya. Bukan hanya kosakata, situs budaya hingga sejarah kehidupan Suku Balik turut didokumentasikan. 

“Harapannya tentu bisa menambah pengetahuan bahasa balik,” sebut Mirwan.

Arman sendiri merupakan salah satu tokoh pemuda yang lebih dulu bergerak dan mengkampanyekan penggunaan bahasa Suku Balik dalam kehidupan sehari-hari enam tahun terakhir. Sebelumnya, jarang ada pemuda punya niat demikian.

Sebagian besar terlena dengan kehidupan modern. Karenanya, Arman punya misi untuk mengajak pemuda Suku Balik kembali mengenal bahasa asli mereka. Dari catatan Arman, pemuda Suku Balik yang ikut serta menyusun Mini Ensiklopedia Masyarakat Suku Balik, komunitas adatnya memang kini tingga sedikit.

Hanya berkisar 1.500 orang. Itu pun tak semuanya mampu sepenuhnya menggunakan bahasa leluhur. Sebab, masyarakat Balik kini lebih condong menggunakan bahasa Indonesia, meskipun di dalam rumah tangganya sendiri. 

3
Arman, pemuda Suku Balik yang aktif dalam pelestarian budaya leluhurnya. (Almerio/intuisi.co)

“Antara orang tua dengan anak aja sudah jarang pakai bahasa Balik terkecuali yang tua sama yang yang tua. Pemudanya juga demikian,” sebut Arman. Jika pun ada yang menggunakan bahasa Balik, tak sepenuhnya menggunakan kosakata yang tepat. Beberapa kosakata sudah terakulturasi bahasa Indonesia atau budaya lainnya yang berada di kawasan IKN

Dari pengamatan Arman, beberapa masyarakat terutama generasi muda mengkategorikan jika bahasa Balik serupa bahasa dari Suku Pasar. Padahal, kedua komunikasi verbal ini sangat berbeda walaupun berada dalam satu kawasan, Kabupaten Penajam Paser Utara.

“Mereka mempertanyakan bahasa balik itu yang mana ya? Apa bedanya dengan bahasa Suku Paser? Apakah sama? Jadi mereka ini tahunya bahasa itu tercampur. Jadi menganggapnya satu (bahasa) padahal berbeda,” kata Arman menjelaskan.

Lebih lanjut, dia kemudian memisalkan nama ikan lele dari bahasa Suku Balik yang disebut, pontor sementara kawan-kawan dari Paser menyebutnya petak. Dari kata saja sudah jauh berbeda. Sangat terlihat disparitasnya yang signifikan. Adapula buah pepaya yang disebut dengan prenggi sementara kalau dari bahasa Paser itu ialah kedang

“Ini yang bikin susah, tapi sebenarnya ada juga kata yang sama. Untuk air kami menyebutnya danum,” tegasnya kemudian menambahkan, “Jadi ketika kami berkomunikasi dengan suku lain, Paser misalnya, lazimnya kami masih bisa mengikuti lawan komunikasi namun sebaliknya lawan bicara belum tentu bisa mengerti.”

Arman dan kawan-kawannya sadar benar, penutur asli bahasa Suku Balik kian menyusut. Situasi pelik tersebut kian bertambah dengan populasi etnisnya yang juga menurun. Tak sampai 2000 jiwa. Kondisi inilah yang membuat para pemuda Balik harus memutar otak, lantas mencari penutur yang mampu membedakan kosakata asli dengan yang berakulturasi budaya lain.

Dari pencarian Arman, saat ini hanya ada lima penutur bahasa Suku Balik, yakni Sibukdin, Sekion, Rimba, Atim dan Bunga. “Mereka inilah yang bisa mengetahui dan membedakan versi bahasa Balik awal, versi kedua dan versi ketiga. Untuk kedua dan ketiga sudah tercampur bahasa lain, mulai dari suku Dayak atau Paser,” terang Arman. 

Selama lima bulan, 2000 kosakata berhasil dicatat oleh Arman dan kawan-kawan. Seluruhnya sudah melewati tahap verifikasi kelima penutur bahasa Suku Balik. Bukan hanya kosakata, peribahasa juga turut dicatat. “Misalnya, ada yang disebut dengan banjir dari luar atau cat suang. Bukan banjir dalam pengertian sebenarnya, tapi lebih kepada metafora. Dan saat ini sedang terjadi kala IKN datang,” imbuhnya.

Mendekati akhir tahun lalu persisnya November 2024, buku berjudul Mini Ensiklopedi Masyarakat Adat Suku Balik terbit. Dengan jumlah halaman 198 lembar, buku tersebut menjadi saksi perjuangan Arman dan kawan-kawan untuk melestarikan bahasa ibu mereka dibantu oleh AMAN Kaltim.

Kendati buku ini sudah terpublikasi, Arman bersama pemuda Suku Balik lainnya tak langsung berpuas diri, mereka justru ingin kembali untuk mendokumentasikan bahasa asli mereka ke level selanjutnya. Dengan demikian, lebih banyak masyarakat yang mengetahui eksistensi Suku Balik bersama dengan kebudayaannya.

Perjuangan Tanpa Henti Pemuda Suku Balik

Teranyar, Arman dan Mirwan kembali memulai proyek kamus bahasa Suku Balik yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan Inggris. “Kami menargetkan lima tahun, karena menerjemahkan bahasa suku balik ke bahasa Indonesia kemudian bahasa asing tidak mudah. Kami kerja sama dengan dosen dari  Universitas Gadjah Mada (UGM),” ucap Arman.

Tidak ada kata terlambat, begitu lah prinsip Arman, Mirwan dan pemuda Suku Balik lainnya saat ini. Di tengah gencarnya pembangunan mega proyek IKN yang menggerus kawasan hutan, ditambah ancaman akulturasi budaya lain, mereka mencoba mencatat budaya para leluhurnya. Menjadi bekal bagi generasi penerus agar tidak melupakan identitas asli mereka.

“Kami sebenarnya sudah memikirkan untuk melestarikan budaya, termasuk spesifik ke bahasa. Cuma kami tak menjadikan itu prioritas, karena tak ada desakan. Adanya IKN ini juga menjadi pemicu kami untuk bergerak, sebab keberadaan kami tak dianggap,” kata pemuda Suku Balik yang bermukim di Sepaku ini.

Berbekal kosakata yang telah didokumentasikan dalam bentuk buku, para pemuda Suku Balik kini mencoba kembali menggunakan bahasa leluhurnya itu dalam kehidupan sehari-hari. Yang dulu ditinggalkan kini kembali dalam dekapan. 

Selain bahasa, mereka juga mencoba mengenal kembali budaya leluhur lainnya melalui sekolah adat yang didirikan AMAN Kaltim. Bentuknya komunal dan pengelolaannya bersama warga Suku Balik lainnya. Jika dirasa ada kekeliruan dalam penggunaan bahasa dan tradisi, maka mereka akan kembali melakukan verifikasi ke lima tetua adat. 

“Gurunya tentu lima orang yang masih fasih berbahasa Suku Balik, mereka memberikan materi berdasarkan buku yang diterbitkan atau pengetahuan orisinal yang dimiliki. Jadi prosesnya berkelanjutan,” terang Arman.

Arman berharap langkah sederhana ini dapat membuka jendela pemikiran masyarakat dan pemerintah terhadap keberlangsungan budaya Suku Balik. Dengan demikian, keberadaan Suku Balik yang kini berkisar 5 persen dari total jumlah penduduk di PPU bisa diakui. Sebab, bisa saja peninggalan leluhur Suku Balik lenyap di tengah gencarnya pembangunan.

“Kami sudah mencoba menggaungkan keberadaan kami ke dunia luar, dengan kampanye dan membuat buku untuk memperlihatkan eksistensi Suku Balik. Tinggal bagaimana cara pemerintah membantu ke depan,” tegasnya lagi.

Mempertahankan Peninggalan Leluhur atau Isi Perut

Setali tiga uang, Ketua Adat Suku Balik, Sibukdin menilai kondisi yang dihadapi komunitasnya kini berada di persimpangan. Ada dua pilihan sulit. Mencoba menjaga budaya dan bahasa leluhur atau menyelamatkan diri dari kelaparan.

Sebab, hubungan Suku Balik dengan hutan kini tidak seperti sedia kala. Hutan yang seharusnya menjadi tempat spiritual dan mencari makan kini kian menyusut. Pun demikian lahan untuk berladang. “Kami cari makan yang dulunya di hutan juga tidak bisa, hutannya sudah habis, bukan cuma hutan, gunung dan ladang juga habis,” kata Sibukdin yang juga sebagai ketua RT 03, Kelurahan Sepaku.

Sibukdin berpandangan jika ingin melestarikan budaya, hubungan Suku Balik dengan hutan harus turut dijaga. Tetapi, realita berbicara lain, sejak setengah abad lalu–sebelum datangnya IKN, hutan lebih dahulu dibabat perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Tanaman yang sebelumnya beragam diganti perkebunan kayu monokultur–menanam satu jenis tanaman, sebagai bahan bubur kertas. “Binatang itu ‘kan hidup di hutan, sama kami dulunya  juga hidup di hutan, buah-buahan, sayur mayur dan lauk tinggal cari di hutan. Kalau sekarang ya mana ada,” keluh Sibukdin.

Walaupun ada yang berburu, sambungnya, maka hasilnya berbeda jauh ketika hutan masih asri lima dekade lalu. Hasil buruan akan didapat hanya dalam waktu 2-3 hari. Berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, jerat yang dipasang sebulan sebelumnya belum tentu menangkap hasil buruan.

1 1
Ketua Adat Suku Balik, Sibukdin.(Sopoyono Dadang/Prolog.co.id)

“Itu ‘kan budaya kami hilang, asetnya sudah digerogoti. Memang tidak dihilangkankan langsung tapi secara halus, ruang hidup kami dirampas,” ucapnya.

Hilangnya hubungan hutan ini, menurut Sibukdin membuat warganya berpikir lebih pragmatis dengan situasi terkini. Alhasil, Suku Balik sudah mulai meninggalkan beberapa tradisinya. “Kami sudah jarang melakukan tradisi, karena ya itu repot, sekarang ya berpikir bagaimana kami bisa makan,” katanya.

Ia sangat menyadari jika erosi budaya Suku Balik mulai terjadi. Generasi penerusnya bahkan mulai kehilangan kemampuan berbahasa leluhur. Parahnya, kini banyak yang berpikir jika bahasa Suku Balik merupakan Suku Paser. Bahasanya pun disebut serupa. Padahal, keduanya merupakan bahasa dari dua suku yang berbeda.

“Bahasa Balik berbeda dengan Paser, tidak seperti yang orang bilang. Contohnya, bahasa Paser  rumah kan lowu’ tapi kalau di Bahasa Balik disebut belay. Bahasa Paser-nya akar itu bako kalau kami wakay,” terang salah satu penutur Bahasa Balik ini.

Selaku tokoh adat, Sibukdin berharap pemerintah bisa membuka ruang diskusi. Memberikan jalan agar budaya leluhurnya tidak punah. Jika bisa diberikan hutan adat sebagai ruang hidup dan menjalankan tradisi sedia kala. Bukan hanya memanfaatkan tanah yang telah dihuni Suku Balik sejak lama.

“Kami tidak benci dengan proyek pembangunan (IKN) tapi perhatikan ruang hidup kami. Kami juga manusia, yang datang ke tanah ini juga manusia. Investor dikasih 190 tahun hak berinvestasi, sedangkan kami dikasih sertifikat hak pakai 10 tahun, mana yang katanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?” katanya menjelaskan dengan lirih.

Degradasi Budaya akibat Ruang Hidup Menyempit Sejak Lampau

Di tempat lain, Sosiolog Sri Murlianti memberikan pandangan mengenai penyebab degradasi budaya, hingga hilangnya kemampuan pemuda Suku Balik berbahasa asli. Semua itu bisa dilihat dari garis historis waktu. Sebab, sejarah masa lampau turut mempengaruhi kondisi masyarakat adat saat ini. Menjadi akumulasi krisis identitas dari suku. 

“Kita tidak bisa membahasnya itu melihatnya sekarang. Harus memang mundur jauh ke (waktu) belakang,” sebutnya.

Dari penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim yang terdokumentasi dalam buku berjudul NYAPU, bentang hutan dan ruang hidup Suku Balik sudah mulai tergerus sejak setengah abad lalu. Jauh sebelum kehadiran IKN di Sepaku.

Saat itu, Suku Balik mau tak mau harus berdampingan dengan kehadiran perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada era 1970-an hingga 1990-an. Luas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kala itu mencapai 601.750 hektare (ha). Namun pada warsa selanjutnya, 1990-2010 luasan HPH itu kembali mendapay penambahan hingga 470.200 ha.

Kebijakan tersebut mendapat lampu hijau dari pemerintah. Persisnya bisa dilihat dalam warkat Kepmen Pertanian RI Nomor: 01/ Kpts/UM/I/70 tertanggal 3 Januari 1970 setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari presiden RI nomor: 13-19/PRES/3/1969 pada 17 Maret 1969.

Masih dari NYAPU, persinggungan kehidupan dengan suku-suku atau masyarakat lainnya, juga hadir melalui program transmigrasi. Program yang berjalan sejak 1975-1988 ini, secara tak langsung menyebabkan penetrasi dari budaya luar. 

“Hilangnya hutan sebagai tempat berburu hingga berladang, menjadi fase awal degradasi budaya, termasuk penggunaan bahasa ibu Suku Balik,” tegas Sri Murlianti. “Artinya bahasa-bahasa yang terkait dengan praktik perladangan juga semakin tidak digunakan.”

Dia juga menilai, hadirnya agama menjadi faktor lain degradasi budaya. Etnis ini mulanya memiliki tradisi ritual kini mulai ditinggalkan. “Ritual terutama penyembuhan-penyembuhan yang apa melibatkan roh-roh halus, mantra-mantra dianggap sirik. Akhirnya, praktiknya ditinggalkan otomatis bahasanya dalam praktik itu punah,” kata akademisi Universitas Mulawarman ini.

Ia menambahkan kemerosotan budaya dan penggunaan bahasa etnis ini semakin tergambar jelas setelah adanya transmigrasi. Program pemindahan penduduk pada masa orde baru ini secara tidak langsung menyebabkan cultural invasion–tekanan kebudayaan asing terhadap kebudayaan lokal, khususnya bahasa daerah.

Terlebih jumlah pendatang jauh banyak dibanding penduduk lokal. Pendatang yang jumlahnya lebih banyak cenderung akan menggunakan bahasa dari sukunya atau berbahasa Indonesia. Hal ini membuat masyarakat Balik mau tak mau mulai mengikuti budaya dan bahasa dari pendatang.

Jumlah pendatang yang lebih banyak ini turut membuat Suku Balik cenderung bersifat inferior–rendah diri, bahkan xenosentrisme–sikap atau pandangan yang menganggap kebudayaan atau golongan lain lebih unggul daripada kebudayaan atau golongan sendiri.

“Mereka (Suku Balik) tambah minder lagi, kenapa? Saat transmigran masuk didampingi oleh pemerintah dan enggak main-main fasilitasnya. Sedangkan untuk berinteraksi, mereka yang harus belajar lain. Jadi mereka sekarang pintar bahasa Jawa, bahasa Bugis, bahasa Indonesia,” beber Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul ini.

Pandangan Sri Murlianti ini juga sejalan dengan penelitian Gema Budiarto, Dampak Cultural Invasion terhadap Kebudayaan Lokal: Studi Kasus Terhadap Bahasa Daerah. Riset ini menunjukkan jika cultural invasion bisa menyebabkan degradasi bahasa daerah atau lokal. Sebagian orang mungkin tidak menyadari akan adanya cultural invasion. Dianggap sebagai hal yang biasa saja.

Proses penetrasinya berjalan sedikit demi sedikit dan akan melemahkan kebudayaan lokal. Hilangnya kebudayaan suatu daerah berarti hilangnya juga identitas dan jati diri suatu peradaban manusia. Kendati begitu, situasi tersebut sebut Sri bisa dihindari.

Metodenya sederhana, ketika pemerintah berhadapan dengan masyarakat adat tatkala memulai pembangunan di suatu daerah, mereka harus melihat kondisi masyarakat adat atau lokal. Dengan kata lain, pemerintah harus membuka ruang diskusi dengan masyarakat sekitar. Hal ini sejalan dengan konvensi ILO 169 tahun 1989Indigenous and Tribal Peoples

Dalam musyawarah masyarakat adat dunia ini disebutkan mengenai proteksi masyarakat adat ketika bersinggungan dengan pembangunan. Pemerintah harus memperdulikan hak-hak mereka atas tanah, lapangan kerja, pelatihan, jaminan sosial, pendidikan hingga kerjasama lintas batas.

“Pertama ‘kan di-enclave (melihat wilayah dengan karakteristik yang berbeda dengan wilayah disekitarnya), kemudian harus ada meaningful consultation (konsultasi bermakna). Bukan sekedar sosialisasi, masyarakat harus diberi hak untuk menyampaikan pendapat,” kata Sri menambahkan.

Berikutnya, lanjut Sri, seharusnya ada kebijakan atau produk hukum untuk melindungi menjaga keberlangsungan budaya masyarakat adat, seperti bahasa Suku Balik. Jika tidak, maka bahasa yang berfungsi sebagai wujud identitas masyarakat adat bisa saja punah.

“Bahasa itu kan adalah sarana identitas sebenarnya, juga menjadi representasi dari pola hidup sehari-hari. Jadi, seharusnya kan memang itu diberi ruang untuk hidup,” tutupnya.

bahasa suku balik
Senjakala Bahasa Suku Balik di Nusantara 9

Menjaga Warisan Leluhur Melalui Literasi

Ketua AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk memberikan penjelasan senada. Secara sosial kawan-kawan dari Suku Balik memang merasa inferior bila berhadapan dengan suku berbeda. Di sisi lain, mereka juga enggan berkomunikasi sehingga memilih untuk mengasingkan diri ke hutan.

Sayangnya, hutan tempat mereka tinggal perlahan-lahan tergerus pembangunan yang memaksa mereka kembali ke permukiman. Kondisi sosial ini yang mulai membuat Suku Balik mulai mencoba menggunakan bahasa lain agar dapat berkomunikasi dengan pendatang. Alhasil, sedikit demi sedikit mereka mulai tidak menggunakan bahasa aslinya.


“Secara sosial mereka merasa terasingkan dan minoritas, sehingga bahasa asli mereka mulai tidak digunakan dan dianggap kurang penting dalam percakapan sehari-hari. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya gap (sekat) antargenerasi,” kata Saiduani Nyuk.

AMAN KALTIM
Ketua AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk mempelihatkan Mini Ensiklopedia Suku Balik yang terbit pada akhir tahun lalu. (Almerio/intuisi.co)

Situasi tersebut, lanjut Saiduani, membuat peneliti yang datang ke kawasan IKN menganggap tidak ada komunitas Balik karena tidak ada bahasa yang spesifik merujuk ke Suku Balik. Dan, orang Balik ternyata cenderung membanggakan bahasa dari suku-suku besar, misalnya bahasa Paser. Ini pula yang memicu mereka dianggap sebagai sub dari Suku Paser. Padahal tidak demikian.

“Perlu digarisbawahi, Balik dan Paser itu dua suku yang berbeda,” tegasnya.

Dari pendataan AMAN Kaltim sebagian besar Suku Balik bermukim di Kecamatan Sepaku. Tersebar di tiga kawasan yakni Bumi Harapan, Sepaku, dan Pemaluan. Jumlahnya sekitar 1.500 jiwa atau 200 kepala keluarga (KK). Saiduani pun sepakat, dari populasi tersebut yang bisa menggunakan bahasa Suku Balik hanya generasi tua. 

“Ada Pak Atim, Pak Sekion dan Pak Sibukdin,” katanya.

Lebih lanjut, dia juga setuju bila pembangunan IKN turut menyumbang tekanan kepada Suku Balik. Ihwal tersebut bisa dilihat dari situs budaya yang hilang hingga hutan tempat mereka mencari penghidupan. Padahal, hutan begitu karib dengan tradisi serta pola kehidupan dengan suku itu. Kini, tak banyak ruang lagi yang mereka bisa tempati untuk berladang atau melaksanakan ritual adat.

“Saat ini akses mereka ke hutan sangat terbatas,” ujarnya.

Syukurnya, pada 2011 lalu Suku Balik sudah bergabung dengan AMAN Kaltim. Hal tersebut mempermudah organisasi ini untuk membantu mengkampanyekan budaya dan tradisi yang kini mendekati punah. Salah satunya adalah bahasa. Pada 2023-2024, AMAN Kaltim bersama komunitas Balik berhasil mengkatalogkan ribuan kata dari Suku Balik ke dalam buku yang berjudul Mini Ensiklopedia Masyarakat Suku Balik.

“Puji syukur, buku ini sudah kami launching awal tahun lalu. Saat ini kami juga masih mendampingi teman-teman dari Suku Balik agar lebih aware dengan situasi mereka. Kami juga sedang menjalankan program sekolah adat. Kami percaya dengan pusat pendidikan tersebut tradisi dan budaya bisa beregenerasi,” jelasnya.

Saiduani menjelaskan, suku ini merupakan bagian dari 21 komunitas masyarakat di kawasan IKN yang telah diverifikasi AMAN Kaltim. Puluhan komunitas tersebut mendiami 30.000 ha lahan adat yang tumpang tindih dengan izin konsesi perkebunan dan pertambangan, bahkan sebelum ada proyek IKN.

“Tapi sampai saat ini kami belum menemukan niat pemerintah untuk melakukan dukungan kepada masyarakat Balik yang makin terkikis,” katanya menuntut.

Menurutnya, pemerintah harus mulai menyusun produk hukum untuk melindungi masyarakat dan budaya Suku Balik. Sebab, kebudayaan merupakan kearifan lokal yang harus dijaga lantaran menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.

“Otorita IKN pun tidak ada melakukan perlindungan dan pemberdayaan budaya masyarakat Suku Balik. Seharusnya ‘kan ada dukungan bagi masyarakat balik agar mereka tidak lupa identitasnya,” tegasnya lagi.

Respons Dari Otorita IKN

Perihal upaya pemerintah untuk melestarikan bahasa Suku Balik yang kian mendekati kepunahan, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin mengatakan hingga kini belum ada. 

“Kalau (kamus) bahasa (suku) Balik belum ya, karena itu ‘kan komunitas kecil. Yang ada kamusnya itu Bahasa Paser,” katanya.

Ia justru memberikan saran, sebaiknya Suku Balik masuk sebagai sub Suku Paser, sebab jumlah mereka yang cenderung sedikit. Dirinya pun berharap tidak ada segmentasi antara Suku Paser dan Balik. 

“Bahwa Balik itu sub etnis dari Paser itu silakan, tapi untuk lepas (dari Paser) kami sarankan jangan. Lebih baik menjadi satu komunitas yang besar, karena ‘kan Paser lumayan besar tuh,” kata mantan kepala Dinas Pendidikan PPU ini.

Saran Alimuddin ini berkaca dari adanya produk hukum perlindungan masyarakat adat di Kabupaten PPU, yakni Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pelestarian dan Perlindungan Adat Paser. Selain itu, ketika dirinya menjabat Kadisdik PPU pada 2020 lalu, pihaknya pernah memasukkan bahasa Suku Paser ke dalam mata pelajaran muatan lokal.

Bahkan ada lomba menggunakan bahasa Paser di sekolah. Lantas mengapa hal serupa tidak diberlakukan kepada bahasa Suku Balik? “Tentu IKN akan melanjutkan itu (pelestarian bahasa). Justru malah kami ingin mengembangkan budaya-budaya Nusantara,” jawabnya singkat.

Dia menambahkan, yang jadi masalah ialah penutur bahasa asli di rumah tangga itu juga sudah berkurang. Padahal keluarga punya peran besar dalam melestarikan bahasa asli. Sekolah hanya mengambil porsi kecil saja. Kendati begitu, otorita sedang menyiapkan anggaran untuk pelestarian budaya ini.

Meski secara spesifik Alimuddin tidak menyebutkan besaran duit atau sasaran budaya yang hendak dilestarikan. “(Rencana) sampai saat ini masih berjalan, kami malah ingin melestarikan budaya dengan membuat living museum. Dengan catatan masyarakat lokal pun harus dan mampu mengembangkan local wisdom (kearifan lokal). Tapi untuk lokasi masih dicari yang pas,” pungkasnya. (rio/day)

Laporan ini merupakan liputan kolaborasi media daring intusi.co dan prolog.co.id dengan dukungan dari AJI Indonesia dan Kurawal Foundation

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!