Seruan Damai Jokowi Tak Direspons Putin, Pengamat: Itu Bentuk Strategi!
Presiden Jokowi atau Joko Widodo dalam sorotan dunia. Mengajak pemimpin Rusia dan Ukraina berdamai, lantas turut serta Forum G20 pada November mendatang.
Jakarta, intuisi.co-Aksi Presiden Jokowi membawa pesan damai bagi dua negara berkonflik, Rusia dan Ukraina disorot warga dunia. Pasalnya hingga kini belum ada negara di Asia yang berani mengambil langkah tersebut.
Dan Indonesia menjadi negara satu-satunya yang bernyali besar untuk melangkah masuk dalam pusaran ketegangan itu. Salah satu misi dari Presiden Jokowi selain pesan damai, ialah mengajak kedua negara turut serta dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November mendatang.
Kendati demikian, dilansir dari CNNIndonesia.com, pengamat berkata beda. Presiden Vladimir Putin disebut tak menggubris secara gamblang dorongan Jokowi untuk berdamai dengan Ukraina ketika keduanya bertemu di Moskow, Rusia pada Kamis, 30 Juni 2022.
Padahal, Presiden Jokowi sudah menyampaikan pesan dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang telah dikunjungi sehari sebelumnya. Ya, dalam pidatonya, Putin tak membahas sama sekali dorongan damai tersebut. Putin lebih banyak bicara mengenai hubungan bilateral Indonesia-Rusia dan pasokan pangan global.
“Sikap Putin ini merupakan bentuk dari strategi,” ujar Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman.
Menurutnya, saat ini Rusia sedang dalam kondisi terjepit. Negara itu semakin dikepung oleh negara-negara Barat, terutama setelah Swedia dan Finlandia berencana bergabung dengan NATO. Sementara itu, penutupan Selat Bosphorus oleh Turki juga menghambat operasional kapal perang Rusia di tengah invasi mereka ke Ukraina.
“Jelas dia punya kepentingan strategis untuk tidak menjawab. Kepentingan strategis karena dia terjepit di Laut Baltik dan terjepit di Bosphorus dan Dardanella,” kata Suzie.
Langkah Presiden Jokowi Bertemu dengan Putin
Suzie mengatakan dengan kondisi tersebut, sudah jelas bahwa Putin akan semakin defensif. Putin jelas tak ingin “kalah” dari ancaman negara-negara Barat.
“Sehingga dia tidak akan menguraikan apakah dia akan mundur dari peperangan ini atau tidak. Karena itu tergantung apakah dalam keterjepitan negara kontinental tersebut dia akan menyerang NATO atau tidak. Dan sebaliknya NATO akan membalas atau tidak,” tutur Suzie.
Suzie juga memandang langkah Rusia menarik pasukannya dari Pulau Ular merupakan cara untuk membenarkan langkah negaranya merebut kawasan tersebut.
Saat mengumumkan penarikan pasukan itu, Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan bahwa keputusan itu diambil sebagai simbol iktikad baik agar Ukraina bisa mengekspor produk agrikultur.
Mereka menegaskan bahwa penarikan tersebut membuktikan bahwa Rusia tidak menghalangi upaya PBB membangun koridor kemanusiaan. Keputusan itu diambil Rusia tepat setelah Ukraina menggempur pasukan Moskow di pulau yang terletak di Laut Hitam itu.
Selama ini, Pulau Ular menjadi sorotan karena menjadi salah satu jalur lalu lintas pangan. Ukraina menuding pasukan Rusia kerap mencuri pasokan gandum di Pulau Ular, yang memicu krisis pangan.
“Dia melakukan pengunduran diri dari Snake Island itu karena dia pikir, kalau dia menyatakan tidak lagi memblokade pangan, dia tidak usah mundur dari wilayah yang direbutnya itu,” ujar Suzie.
“Yang harus dilakukan sekarang oleh kekuatan Barat dan swasta adalah membersihkan ranjau-ranjau di lautan itu dan meyakinkan kapal-kapal bahwa mereka aman untuk tidak ditembak oleh kapal Rusia.” (*)