Samarinda, intuisi.co – Tahun berganti 2021. Namun satu persoalan masih belum terselesaikan hingga kini. Di Kaltim, lubang tambang yang tersebar telah menelan puluhan nyawa yang mayoritas anak-anak. Sampai 2020 berakhir, belum ada langkah konkret otoritas terkait menindaklanjuti persoalan tersebut.
Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, rentetan kematian di lubang bekas galian baru bara bermula pada 2011. Sejak itu, sudah 39 jiwa melayang di seluruh Kaltim. “Belum ada langkah tegas dari pemerintah kepada para pelanggar hingga saat ini,” ujar Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang, dikonfirmasi intuisi.co, Jumat, 1Januari 2021.
Dari 39 kematian tersebut, paling banyak berasal dari Samarinda yakni 22 orang. Sementara, di Kutai Kartanegara (Kukar) 13 jiwa. Sisanya, masing-masing satu nyawa direnggut dari Kutai Barat dan Penajam Paser Utara. Dari semua kejadian itu, korban laki-laki berjumlah 26 orang. Sementara perempuan sembilan orang, dan satu lainnya tak teridentifikasi.
Pada 22 Agustus 2019, kejadian serupa terjadi di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun lokasi petaka diklaim Dinas ESDM Kaltim bukan lubang bekas tambang. Teranyar, pada 6 September 2020 di Paser, giliran dua remaja laki-laki jadi korban. Juga diduga lubang bekas tambang. “Dari tren yang ada, selama tiga tahun terakhir kasus meningkat. Bahkan dua tahun kepemimpinan Isran Noor sebagai gubernur Kaltim belum ada langkah nyata. Cenderung membiarkan,” sebutnya.
Menurut Rupang, nyaris semua kasus terjadi dan berulang lantaran pemerintah lalai dalam pengawasan. Utamanya mengenai protokol keselamatan di setiap lubang bekas tambang. Padahal sebelumnya pemerintah dan ratusan perusahaan tambang telah sepakat menjaga lubang bekas tambang jauh dari jangkauan warga. Terlebih anak dan remaja.
Kesepakatan itu bahkan tertuang dalam pernyataan yang ditandatangani 115 perusahaan tambang batu bara di Balikpapan pada 2016 lalu. Menyepakati lima dari memasang tanda peringatan, memagari sekeliling lubang bekas tambang, menjadwalkan patroli di sekitar lubang tambang, memperkuat tanggul lubang bekas tambang, hingga membangun fasilitas pemipaan untuk distribusi air bersih ke masyarakat. Namun faktanya, sebut Rupang, hingga sekarang laporan komitmen tersebut juga tak ada.
“Justru pembiaran makin nyata. Setidaknya kita berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, agar kasus sama tak terjadi lagi,” imbuhnya.
Jatam Kaltim pun mewanti-wanti agar kematian di lubang bekas galian tambang tak terjadi lagi pada 2021. Jika kembali terjadi, bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah maupun aparat penegak hukum. Hal tersebut masih jadi ancaman nyata mengingat di Kaltim terdapat 1.735 lubang bekas tambang yang menanti direklamasi. Tersebar di berbagai kabupaten/kota di provinsi ini.
Catatan Jatam Kaltim, Kukar merupakan daerah dengan lubang bekas galian tambang terbanyak di Kaltim, mencapai 842 lubang. Diikuti Samarinda dengan 349 lubang dan Kutai Timur 223 lubang. Padahal, reklamasi merupakan kewajiban bagi perusahaan tambang yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Mengatur soal persetujuan, pelaksanaan, dan pelaporan hingga penyerahan lahan reklamasi dan pascatambang. Lalu ada UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Menyusul, Perda Kaltim No. 8/2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang.
“Ini bukan persoalan masyarakat yang tiba-tiba tewas di sana. Tapi ini mengenai sebuah kawasan, yang seharusnya mendapatkan perlakuan reklamasi, atau penutupan lubang, pasca aktivitasnya berakhir dan itu sudah ada SOP. Jadi yang salah siapa sebenarnya, perusahaan atau masyarakat?” pungkasnya. (*)