Dari Maradona hingga Lautaro Martinez, Tradisi Predator Argentina Terjaga di Serie A Italia
Jika Anda pesepak bola dan berposisi striker, Serie A Italia bisa jadi tempat yang tepat untuk meniti karier.
Intuisi.co – Hubungan harmonis antara Serie A Italia dengan striker Argentina, sudah berlangsung sejak begitu lama. Dari Antonio Valentino Angelillo hingga Paolo Manfredini yang melesat setelah era pasca-perang. Keduanya berhasil meraih gelar top skor alias Capocannoniere.
Pada 1984, romansa itu semakin menjadi setelah kedatangan Diego Maradona ke Napoli dari Barcelona. Saat itu, Serie A merupakan liga yang didominias tim-tim dari utara dalam 15 tahun sebelumnya. Mulai Milan, Juventus, dan Inter Milan yang memenangkan Scudetto 12 kali. Sedangkan Roma dan Lazio masing-masing sekali.
Ketika Maradona tiba, Napoli yang semula tim papan tengah, menjadi tim pemburu trofi. Maradona berhasil membawa Napoli meraih dua gelar liga, berikut satu trofi Coppa italia. Catatan manis Maradona dan Napoli, bisa jadi menginspirasi klub-klub Italia lainnya untuk berburu striker Argentina.
Salah satunya Udinese. Ketika Serie A kembali didominasi Milan maupun Juventus, Undinese merupakan tim papan bawah. Memboyong striker Argentina bernama Abel Balbo, Udinese berharap keluar dari jeratan degradasi. Tapi Balbo belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
Ia baru menunjukkan taji setelah membawa Udinese kembali ke Serie A semusim kemudian. Musim 1992/93, Balbo menahbiskan diri sebagai salah satu striker top di Italia. Mencetak 21 gol dan finis urutan kedua di daftar Capocanniere. Dari situ ia bergabung ke AS Roma dan semakin beringas di depan gawang lawan.
Ia mencetak rekor 117 gol Serie A dalam 12 musim. Untuk Udinese, Roma, Fiorentina, dan Parma.
Jejak striker Argentina kemudian diteruskan Gabriel Batistuta. Ia tiba ke Italia sebagai pemain muda yang kesulitan mencetak gol di Argentina. Bakatnya tercium klub Eropa setelah tampil impresif untuk Argentina dalam Copa America 1991.
Fiorentina menjadi pelabuhan baru Batistuta di Italia. Celakanya, Fiorentina terdegradasi pada musim kedua Batistua, meskipun ia berhasil menunjukkan performa impresif.
Era Keemasan
Klub sempat khawatir strikernya itu memilih hengkang ketimbang bermain di Serie B. Untungnya, Fiorentina berhasil meyakinkan Batistuta. Dengan 16 golnya, La Viola berhasil diantar kembali ke kasta tertinggi sepak bola Italia.
Tahun-tahun berikutnya, Batistuta semakin membuat publik Fiorentina jatuh hati. Bersanding dengan playmaker Rui Costa, Batistuta membawa Fiorentina meraih gelar Coppa Italia dan Supercoppa. Termasuk menuntun klub di kancah Eropa dengan gol-gol cantiknya ke gawang raksasa Inggris macam Manchester United dan Arsenal.
Dalam sembilan musim, Batigol mencetak 207 gol. Pada 2014, patungnya didirikan di depan Artemio Franchi.
Sementara Batistuta menaklukkan Serie A, nama pemain dari Argentina kembali uji peruntungan di Italia. Adalah Hernan Crespo yang didatangkan oleh Parma. Setelah bersinar di Olimpiade 1996, mencetak enam gol dan merai medali silver, Crespo meyakinkan Parma untuk mengontraknya pada musim panas tersebut.
Agustus 1996, Crespo resmi berseragam Parma. Memulai era emas Serie A. Tangan dingin Carlo Ancelotti membentuk lini depan menakutkan dengan duet Enrico Chiesa dan Crespo.
Semula Crespo tak nyetel dengan cepat di Parma. Torehan golnya masih minim pad 12 pertandingan pertama. Meski demikian, Ancelotti tetap memberinya kepercayaan. Dibalas dengan torehan 12 gol dalam 27 pertandingan. Tahun-tahun berikutnya, Crespo semakin percaya diri meskipun belum mampu menyetarakan diri dengan Batistuta.
Meski begitu, Crespo berhasil menjelma sebagai salah satu striker terbaik dalam sejarah Parma. Mencetak 30 gol di semua kompetisi saat membawa Parma meraih double winner di Piala Eropa dan domestik pada 1998/99.
Setelah 80 gol dalam empat musim, Crespo pindah ke Lazio pada 2000. Nilai transfernya yang mencapai £35 juta adalah yang termahal untuk pesepak bola pada saat itu. Ia membalasnya dengan 26 gol yang sayangnya tak cukup untuk membawa Lazio mempertahankan gelar Serie A. Musim itu, Roma yang diperkuat Batistuta, berhasil menyegel gelar Scudetto ketiga.
Crespo bergabung ke Inter Milan beberapa tahun kemudian. Sebelum Chelsea membawanya pindah ke Inggris.
Diteruskan Diego Milito
Setelah era Batistuta dan Crespo, Italia menunggu waktu yang cukup lama untuk kedatangan striker Argentina yang tajam. Adalah Diego Milito yang membawa Inter Milan ke kejayaan domestik maupun Eropa pada 2009/10.
Di bawah kepelatihan Jose Mourinho, Milito yang sebelumnya membela Genoa dan Real Zaragoza di Spanyol, menjadi striker utama saat Inter meraih treble pada musim tersebut. Kedatangan Samuel Eto’o tak membuat posisinya terusik. Milito tetap bagian penting Inter Milan pada musim terbaik sepanjang sejarah klub.
Meski gagal meraih gelar Capocannoiere, torehan Milito sekali lagi membuat publik Italia jatuh cinta dengan striker Argentina. Yang jejaknya pada 2013 dilanjutkan oleh Carlos Tevez dan Gonzalo Higuain yang tiba di Serie A.
Dua musim sebelum Tevez bergabung, Juventus hanya unggul empat atau sembilan poin dari pesaing terdekatnya untuk menyegel gelar Serie A. Dan pada musim pertama Tevez, Juventus berhasil Scudetto dengan keunggulan 17 poin. Superioritas tersebut berlanjut pada musim berikutnya. Tevez pun mencetak 20 gol Serie A pada musim keduanya. Ia hengkang dari Turin setelah mencetak 50 gol dalam dua musim.
Sementara di bagian Italia lainnya, fans Napoli dibuat jatuh cinta oleh Gonzalo Higuain yang membantu tim finis tiga besar Serie A setelah ketiadaan striker tajam Edinson Cavani yang hengkang ke Paris Saint-Germain.
Hari terakhir 2015/16, Higuain menyamai rekor Serie A yang tercipta pada 1929. Yakni 36 gol dalam semusim.
Hari-hari kejayaan striker Argentina di Serie A masih terjaga hingga kini. Higuain kini berseragam Juventus dan masih jadi sumber gol meski berada di bawah bayang-bayang Cristiano Ronaldo.
Mauro Icardi sebelum hijrah ke PSG, merupakan kapten Inter Milan. Menyandang reputasi sebagai salah satu striker mematikan di Serie A pada masa-masanya berseragam Nerazzurri.
Potensi besar juga berada di pundak Givanni Simeone, Paulo Dybala, dan Lautaro Martinez. Reputasi harum penyerang Argentina, tampak masih terus terjaga di Serie A untuk waktu yang lama. (*)
Tulisan ini adalah hasil kolaborasi antara intuisi.co dan akun Papabola. Follow instagramnya di @papabola.id dan juga halamannya di Facebook.