Afif: Angka PDRB Kaltim Naik, Tapi Masih Banyak PR Sosial

intuisi

28 Jun 2025 13:22 WITA

kaltim
Anggota DPRD Kaltim, Andi Muhammaf Afif Rayhan Harun. (Kontributor intuisi.co)

Samarinda, intuisi.co – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) Andi Muhammad Afif Raihan Harun, menyampaikan pandangan kritis terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim Tahun Anggaran 2024.

Afif menyoroti kontrasnya antara dominasi ekonomi Kaltim yang menyumbang 48,4 persen terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kalimantan dengan kenyataan sosial yang masih timpang. Politisi dari Fraksi Gerindra itu mempertanyakan efektivitas arah pembangunan daerah.

“Kontribusi ekonomi kita paling besar, namun pengangguran dan ketimpangan tetap tinggi. Ini jadi refleksi penting soal keberpihakan pembangunan,” tegas Afif saat diwawancarai pada Sabtu (28/6/2025).

Meski tingkat kemiskinan di Kaltim turun dari 6,11 persen (2023) menjadi 5,78 persen (2024). Afif menekankan bahwa jumlah penduduk miskin secara absolut masih tinggi, yakni lebih dari 221 ribu jiwa. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi belum berhasil menciptakan pemerataan kesejahteraan.

Ia juga menyoroti angka pengangguran terbuka Kaltim yang mencapai 5,14 persen, melebihi rata-rata nasional 4,91 persen. Hal ini menurutnya menjadi ironi bagi daerah dengan kontribusi ekonomi terbesar. Lebih lanjut, pihaknya juga menyoroti rendahnya realisasi pendapatan dari pos “lain-lain pendapatan daerah yang sah” yang hanya tercapai 72,2 persen dari target Rp202,4 miliar.

Afif meminta adanya evaluasi terhadap kinerja BUMD, termasuk kemungkinan restrukturisasi kepemimpinan jika dianggap perlu. Dalam bidang belanja daerah, program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) dan peningkatan kualitas guru dinilai belum mencapai hasil maksimal.

Terlebih, legislator tersebut juga meminta transparansi data jumlah rumah yang telah direnovasi, baik melalui APBD maupun dana CSR perusahaan. Sementara itu, Afif juga menyoroti besarnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) yang mencapai Rp2,597 triliun. Ia menilai hal ini sebagai bukti belum optimalnya pelaksanaan belanja daerah.

“Belanja yang tidak terserap menunjukkan kurangnya efektivitas dalam menggerakkan ekonomi lokal. Ini harus menjadi perhatian dalam pertanggungjawaban anggaran,” ujarnya.

Sebagai penutup, Afif mendorong agar pemerintah daerah menjalin kerja sama yang lebih kuat dengan perguruan tinggi dan lembaga riset lokal, agar hasil kajian ilmiah dapat diimplementasikan secara nyata dalam kebijakan publik. (adv/rfh/ara)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!