Alasan Man United Bisa Kalah 1-0 dari Tottenham Hotspur

Tottenham Hotspur vs Manchester United menjadi laga panas di final Liga Europa 2025. Spurs keluar sebagai jawara dengan kemenangan tipis

intuisi

22 Mei 2025 19:43 WITA

Tottenham Hotspur
Tottenham Hotspur keluar sebagai juara Liga Europa setelah pecundangi Man United. (istimewa)

Bilbao, intuisi.co – Di bawah sorot lampu Stadion San Mamés, Bilbao, duel Tottenham Hotspur vs Manchester United berlangsung pada Kamis (22/5/2025) dini hari. Dalam laga tersebut Tottenham Hotspur akhirnya mengakhiri kutukan panjang yang membelenggu mereka selama hampir dua dekade. 

Gol semata wayang Brennan Johnson membawa Tottenham Hotspur menundukkan Manchester United 1-0 dalam final Liga Europa tersebut. Kemenangan itu tak hanya menjadi garis finis kompetisi tapi juga pelunasan utang sejarah. Ya, sejak menjuarai Piala Liga Inggris pada 2008, Tottenham Hotspur terus berlari namun tak pernah merengkuh medali kemenangan.

Mulai dari Final Liga Champions 2019, semifinal Piala FA berulang kali, hingga finis di papan atas Premier League tak pernah berujung trofi. Kini, di bawah arahan Ange Postecoglou, Tottenham Hotspur mengubah narasi itu—dengan cara yang efisien dan elegan. Sejak awal, Manchester United tampil dominan di atas kertas: 74 persen penguasaan bola, 16 tembakan (6 tepat sasaran), dan lebih dari 600 umpan. 

Namun semua itu mentah di hadapan pertahanan disiplin Tottenham Hotspur yang dikomandoi Cristian Romero. Spurs hanya mencatat 3 tembakan dan satu yang mengarah ke gawang—namun cukup untuk menjadi juara. Gol penentu lahir tepat di pengujung babak pertama (45’).

Umpan panjang Maddison ditahan dengan apik oleh Kulusevski, yang kemudian mengirim umpan terobosan ke Johnson. Penyerang muda Wales itu lolos dari pengawalan Lindelöf dan menaklukkan Onana lewat sepakan mendatar ke tiang jauh.

Manchester United mencoba merespons lewat Garnacho, Rashford, dan Bruno Fernandes, namun serangan mereka kurang variasi. Crossing demi crossing dikirim, tapi selalu dimentahkan oleh barisan belakang The Lilywhites.

Tottenham Hotspur, Son dan Momen yang Ditunggu Dunia

Ketika peluit panjang dibunyikan, bukan hanya para pemain yang bersorak. Tapi juga Kapten tim, Son Heung-min yang berlutut di tengah lapangan dengan air mata tak terbendung. Sejak bergabung pada 2015, ia telah menjadi ikon klub, tapi trofi selalu luput dari genggaman.

Kini, di usianya yang ke-32, ia mengangkat trofi pertamanya bersama Spurs. Momen itu menjadi simbol ketekunan, loyalitas, dan cinta yang tak goyah kepada klub. “Ini bukan hanya soal menang. Ini tentang bertahan. Tentang percaya bahwa hari itu akan datang,” kata Son seusai laga seperti dikutip dari Sun.

Sementara Tottenham Hotspur berpesta, Setan Merah kembali harus menelan pil pahit. Sejak era Sir Alex Ferguson berakhir pada 2013, Manchester United telah berganti tujuh manajer dan hanya meraih dua trofi besar: Liga Europa 2017 dan Piala FA 2016. Bandingkan dengan era 1990-an hingga 2000-an awal, di mana dominasi domestik dan kejayaan Eropa menjadi standar, bukan ambisi.

Pertandingan ini menelanjangi semua kelemahan struktural United: ketergantungan pada individu, minim kreativitas kolektif, dan mentalitas yang rapuh saat tertinggal. Bahkan masuknya pemain seperti Amad Diallo dan Mason Mount di babak kedua tidak mengubah jalannya laga.

Saat Tottenham Hotspur Membangun, Tapi Man United Tersesat

Kemenangan Tottenham Hotspur adalah pelajaran tentang konsistensi taktik, efisiensi, dan kepercayaan pada proyek jangka panjang. Mereka bukan tim yang gemerlap nama, tapi mereka tahu cara menang. Dengan struktur yang stabil dan pemain-pemain yang bermain sesuai peran, mereka membungkam salah satu tim terkaya di dunia sepak bola.

Sebaliknya, kekalahan United merupakan hasil akumulasi dari: Minimnya kreativitas di lini tengah. Setelah Bruno dikawal ketat, tak ada alternatif lain yang bisa membuka ruang, transisi bertahan yang lambat. Gol Johnson lahir dari miskomunikasi antara dua bek tengah. Adapula, kegagalan eksekusi peluang. Meski menciptakan 6 shot on target, semuanya bisa dibaca dan ditangani dengan baik.

Di sisi lain, kurangnya pelatih dengan cetak biru taktik jangka panjang. Ruben Amorim dianggap membawa filosofi baru, namun terlihat belum mampu menjinakkan tekanan laga besar.

Faktor psikologis. Beberapa pemain terlihat frustrasi sejak tertinggal, yang berdampak pada keputusan-keputusan buruk di lapangan. Spurs, kini bukan lagi tim ‘hampir juara’. Mereka telah membuka lembaran baru—dan trofi ini mungkin hanyalah yang pertama dari banyak lainnya. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!