Samarinda, intuisi.co-Di awal Juni 2025, sebuah laporan teknokratis dari Washington D.C. menampar wajah Indonesia dengan dingin. Di dalamnya, tertulis angka yang membikin dahi mengernyit. Sebanyak 194,6 juta warga Indonesia tergolong miskin menurut standar terbaru Bank Dunia. Hampir 7 dari 10 orang Indonesia, jika angka itu diterima begitu saja, kini disebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Laporan itu datang dari lembaga keuangan global yang biasa menentukan kiblat pembangunan negara-negara berkembang: Bank Dunia. Melalui dokumen berjudul June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP), Bank Dunia menyampaikan bahwa pihaknya mengubah metode penghitungan kemiskinan global.
Sumber kekacauannya. Bukan karena krisis pangan atau resesi global, melainkan penyesuaian teknis terhadap purchasing power parity (PPP)—metode membandingkan daya beli antarnegara.
Sejak laporan itu beredar, satu pertanyaan ramai dibahas: benarkah angka kemiskinan Indonesia setinggi itu? Lalu bagaimana bisa, dalam sekejap, jumlah penduduk miskin bertambah lebih dari 20 juta orang hanya karena penghitungan?
PPP bukan istilah populer di warung kopi, tapi punya kekuatan yang sanggup mengubah citra negara. Secara sederhana, PPP adalah cara Bank Dunia menghitung berapa besar uang yang dibutuhkan seseorang di suatu negara agar bisa hidup setara dengan standar hidup orang di negara lain. Dalam konteks ini, dibandingkan dengan standar Amerika Serikat.
Sebelumnya, PPP yang digunakan adalah versi 2017. Kini diperbarui dengan versi 2021 yang dirilis oleh International Comparison Program (ICP) pada Mei 2024. Meski tampak seperti pembaruan rutin, imbasnya terasa di banyak tempat, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Standar Garis Kemiskinan Internasional Berubah
Akibat pembaruan ini, standar garis kemiskinan internasional berubah. Ambang batas garis kemiskinan ekstrem, misalnya, naik dari USD2,15 menjadi USD3 per kapita per hari. Untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, naik dari USD3,65 menjadi USD4,20. Dan untuk negara berpendapatan menengah ke atas—kategori tempat Indonesia berada—ambangnya melonjak dari USD6,85 menjadi USD8,30 per kapita per hari.
Perubahan itu seakan menaikkan palang tiang gawang dalam permainan sepak bola. Yang kemarin dianggap mampu, hari ini bisa tergolong miskin hanya karena standar hidup yang dihitung dalam dollar kini lebih tinggi. Konsekuensinya, dalam laporan Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia melonjak drastis.
Dari 171,7 juta jiwa pada 2024, kini menjadi 194,6 juta jiwa. Persentasenya naik dari 60,3 persen ke 68,25 persen dari total populasi 285,1 juta orang. Sebuah lonjakan tajam dalam statistik, meski tidak secara langsung dirasakan di dapur rakyat.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, tak serta-merta menerima angka tersebut. Dalam pernyataan resmi awal Mei lalu, ia mengingatkan bahwa data kemiskinan versi Bank Dunia menggunakan pendekatan yang berbeda dari metode resmi pemerintah Indonesia.
“BPS menggunakan pendekatan cost of basic needs, bukan standar PPP global,” ujar Amalia dalam siaran belum lama ini.
BPS mengukur kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimal seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Data diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dilakukan dua kali dalam setahun, dengan ribuan rumah tangga sebagai sampel. Metode ini mencerminkan kondisi lokal, dari harga kebutuhan pokok hingga kebiasaan konsumsi rumah tangga di desa dan kota.
“Jadi hasilnya jelas berbeda,” tegasnya.
Hasilnya, per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,57 persen, atau sekitar 24 juta orang. Angka ini konsisten dalam beberapa tahun terakhir dan dijadikan rujukan resmi dalam menyusun kebijakan nasional.
Namun, bukan berarti data Bank Dunia tidak relevan. Dalam konteks global, laporan itu penting sebagai cermin posisi Indonesia dalam peta dunia. Terlebih, sejak 2023, Indonesia resmi masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas. Posisi itu membuat Indonesia harus bermain di “liga” baru, dengan aturan yang juga berbeda.
Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia saat ini berada di kisaran USD4.580, sedikit di atas batas bawah klasifikasi upper-middle income country (UMIC), yang berkisar antara USD4.516 hingga USD14.005. Dengan posisi yang masih rapuh itu, tidak heran jika standar baru Bank Dunia segera menempatkan sebagian besar rakyat Indonesia ke dalam kelompok miskin.
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menyebut angka kemiskinan versi Bank Dunia harus dilihat sebagai peringatan, bukan vonis. “Ini semacam wake-up call bahwa meskipun ekonomi tumbuh, disparitas kesejahteraan masih tinggi,” ujarnya.
Kemiskinan Versi Bank Dunia dan BPS
Ia menilai bahwa kesenjangan antara data Bank Dunia dan BPS muncul karena definisi “miskin” yang berbeda. “Yang satu bicara tentang ketercukupan hidup berdasarkan standar global. Yang satu lagi bicara soal kebutuhan dasar versi lokal. Keduanya sah, tapi tidak bisa disamakan begitu saja.”
Yang menarik, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir semua negara di Asia Timur dan Pasifik mengalami lonjakan angka kemiskinan jika memakai standar baru. Dengan ambang batas USD3 PPP 2021, jumlah orang miskin di kawasan ini melonjak dari 20 juta menjadi 54 juta orang. Dan dengan standar USD8,30 PPP 2021, jumlahnya membengkak menjadi 679 juta jiwa dari sebelumnya 584 juta jiwa.
Namun tidak semua negara akan merespons dengan nada waswas. Sebagian menganggap ini sebagai koreksi metodologis, bukan krisis. Tapi bagi negara seperti Indonesia—yang tengah bersiap menyongsong “bonus demografi” dan ingin naik kelas jadi negara maju pada 2045—angka ini punya makna strategis.
Di sisi lain, angka kemiskinan setinggi itu bisa menjadi bahan bakar politisasi. Di tahun politik, narasi “kita tambah miskin” bisa dimainkan oleh kelompok oposisi. Pemerintah pun bisa terpancing untuk sekadar “membantah” alih-alih mereformasi kebijakan jangka panjang.
Padahal, di balik statistik yang bertabrakan itu, ada hal yang lebih penting: pengakuan bahwa pertumbuhan ekonomi belum otomatis menurunkan kemiskinan struktural. Ketimpangan pendapatan masih lebar, pekerjaan layak masih langka, dan jaring pengaman sosial belum cukup kuat.
Bank Dunia mungkin hanya mengubah rumus, tapi angka yang keluar dari rumus itu tetap punya kuasa. Ia bisa memengaruhi cara dunia melihat Indonesia. Ia bisa menentukan arah bantuan, pinjaman, bahkan citra internasional. Dan yang lebih penting, ia bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk melihat ulang apakah capaian pembangunan yang dibanggakan benar-benar dirasakan oleh rakyat di lapangan.
Maka pertanyaannya bukan lagi sekadar: siapa yang benar, BPS atau Bank Dunia? Tapi lebih mendasar: apakah kebijakan publik kita sudah menyentuh orang-orang yang hidupnya terlampau dekat dengan kemiskinan? (*)