Tenggarong, intuisi.co- Desa Embalut, yang terletak di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), kini dikenal sebagai pusat produksi ikan air tawar dengan hasil stabil mencapai 2 ton per hari. Sektor perikanan telah menjadi tulang punggung ekonomi warga, mengimbangi dominasi aktivitas pertambangan yang selama ini melekat pada desa tersebut.
Setiap malam, ikan segar dari kolam-kolam warga dikirim ke berbagai pasar di Kukar dan sekitarnya. Konsistensi produksi ini menjadikan Embalut sebagai salah satu desa perikanan terbesar di wilayah tersebut.
“Warga kami sudah terbiasa mengirim ikan ke pasar-pasar sekitar. Produksi kami stabil, bahkan saat desa lain terdampak penyakit ikan, di sini masih aman,” ujar Kepala Desa Embalut, Yahya, Selasa (11/3/2025).
Bagi warga Embalut, budidaya ikan bukanlah hal baru. Jauh sebelum isu penutupan tambang mencuat pada 2027, perikanan sudah menjadi mata pencaharian yang menjanjikan.
Banyak petani ikan yang mampu meraup keuntungan antara Rp15 juta hingga Rp20 juta per bulan, tergantung jumlah kolam dan kondisi pasar. Bahkan, bagi yang serius mengembangkan usaha, pendapatan mereka bisa jauh lebih besar.
“Kalau punya banyak keramba dan dikelola dengan baik, bisa untung bersih sampai Rp30 juta per bulan. Saya sendiri dulu bercita-cita punya 60 kotak keramba, karena saya yakin potensi ini sangat besar,” jelas Yahya.
Tak heran, semakin banyak warga Embalut yang beralih ke perikanan sebagai usaha utama, mengingat peluang pasar yang luas dan keuntungan yang lebih stabil dibanding sektor lainnya.
Namun, budidaya ikan air tawar di Embalut bukan tanpa tantangan. Salah satu ancaman terbesar adalah serangan penyakit seperti Bangar dan KHP, yang telah menyebabkan banyak petani ikan di daerah lain mengalami kerugian besar.
“Di Loa Kulu, misalnya, banyak petani ikan kolaps karena penyakit ini. Tapi di sini kami punya cara sendiri,” ujar Yahya.
Menurutnya, warga Embalut telah mengembangkan teknik pencegahan dan penanganan penyakit ikan melalui pengalaman bertahun-tahun di lapangan. Teknik ini bahkan, menurut Yahya, belum tentu diketahui oleh akademisi atau profesor perikanan.
Desa Embalut Berpotensi Jadi Pusat Perikanan Air Tawar di Kukar
Menariknya, perkembangan sektor perikanan di Embalut tidak bergantung pada industri tambang atau lahan pasca-tambang. Kolam-kolam ikan dikelola secara mandiri oleh warga dengan memanfaatkan sumber air alami yang tersedia di desa.
“Perikanan di sini berkembang bukan karena tambang tutup atau karena dampak lahan bekas tambang. Sejak dulu kami melihat bahwa air dan sumber daya yang kami miliki adalah potensi besar yang bisa dikelola,” tegas Yahya.
Kemandirian inilah yang membuat sektor perikanan di Embalut terus bertahan dan berkembang, bahkan ketika aktivitas pertambangan mulai berkurang. Banyak warga yang dulunya bekerja di tambang kini beralih menjadi peternak ikan karena hasilnya yang lebih stabil dan menguntungkan.
“Saya dari awal sudah bilang ke warga, jangan hanya mengandalkan tambang. Belajar usaha sendiri, salah satunya lewat perikanan ini. Dan terbukti sekarang hasilnya luar biasa,” tambah Yahya.
Melihat potensi besar yang dimiliki desa, Yahya berharap sektor perikanan di Embalut bisa berkembang lebih jauh, terutama dalam hilirisasi produk. Saat ini, ikan segar hanya dijual langsung ke pasar, namun ke depan, ia ingin warga mulai mengembangkan produk olahan seperti abon ikan, kerupuk ikan, atau produk berbasis perikanan lainnya.
“Kami punya potensi besar di sini. Kalau kita kelola dengan ilmu dan kompak, perikanan ini bisa menopang ekonomi desa jauh ke depan,” tutupnya.
Dengan produksi ikan yang stabil di angka 2 ton per hari dan semakin banyaknya warga yang terjun ke sektor perikanan, Embalut kini bukan lagi sekadar desa tambang, melainkan telah menjelma menjadi pusat perikanan air tawar yang menjanjikan di Kutai Kartanegara. (adv/ara)