HeadlineSorotan

Dua Wajah Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Calon Geopark Global di Antara Industri Ekstraktif

Menyandang status geopark, membawa banyak dampak positif KBAK Sangkulirang-Mangkalihat. Namun akankah berjalan berdampingan aktivitas industri di sekitarnya?

Samarinda, intuisi.co – Semilir angin segar berembus di sejuknya Kawasan Bentang Alam Karst atau KBAK Sangkulirang-Mangkalihat. Di tengah wacana pembangunan pabrik semen yang masih begulir, rencana menjadikan kawasan tersebut taman bumi atau geopark gencar dikemukakan. Keberadaannya yang begitu kaya memberi harapan niat mulia itu terwujud.

Patrik J McKeever dan Nickolas Zouros dalam bukunya berjudul Geoparks: Celebrating earth heritage, sustaining local communities, merincikan makna penting dari taman bumi. Status tersebut membuat suatu kawasan menjadi wilayah terpadu yang sangat dilindungi. Kawasan yang kaya warisan geologi. Menjadikan masyarakat sekitar terdorong kesejahteraan ekonominya karena perhatian yang berkelanjutan.

Kepala Pusat Studi Karst Universitas Gadjah Mada (UGM) Eko Haryono mendapati KBAK Sangkulirang-Mangkalihat dalam kriteria tersebut. “Sangkulirang-Mangkalihat punya potensi. Dari geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity. Ketiganya merupakan dasar untuk pengusulan geopark,” sebutnya setelah Focus Group Discussion dan Ekspose KBAK Sangkulirang-Mangkalihat menuju pengembangan Taman Bumi (Geopark) di Samarinda, Selasa, 11 Februari 2020.

Unsur geodiversity merupakan keunggulan terbesar Karst Sangkulirang-Mangkalihat. Salah satu yang paling menonjol adalah lukisan tangan berusia 45-50 ribu tahun. Menjadi pertanda gua-gua yang terbentuk secara alami di kawasan tersebut, sudah dihuni sejak begitu lama. Dan hingga kini masih memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.

“Sedangkan dari unsur biodiversity, kawasan ini jadi transit para orangutan. Termasuk banyak vegetasi dan sekitar 98 spesies yang dilindungi. Juga beberapa masuk red list IUCN (International Union for Conservation of Nature ). Jadi banyak sekali potensi untuk menjadi geopark,” urainya.

Mengutip data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan (P3EK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2015, ekosistem karst di Kaltim memiliki luas 3.569.250 hektare. Dalam Peraturan Gubernur Kaltim 67/2012, disebutkan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat di Berau dan Kutai Timur mencapai 1,8 juta hektare. Yang termasuk KBAK adalah 362.706,11 hektare di antaranya. Terbagi antara 171.925,57 hektare di Kutim dan 190.780,54 hektare di Berau. “Sejauh ini yang sudah ditetapkan adalah di Kutim,” ungkap Eko.

Di Antara Industri Ekstraktif

Mengutip catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, terdapat 193 pengajuan izin di ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Meliputi 110 izin perkebunan, 40 konsesi kehutanan, 26 pertambangan batu bara, 16 izin tambang batu gamping, dan satu pabrik semen.

Menurut Eko, kehadiran industri di kawasan tersebut, tak akan bersinggungan areal yang diusulkan menjadi geopark. Asalkan dalam implementasinya sudah jelas ditentukan mana lokasi geopark, mana kawasan pertambangan. “Geosite sebagian besar nantinya berada di Merapu, Marang, Tondoyan. Kemudian Bidukbiduk di Labuan Cermin dan kemudian Karangan,” lanjutnya.

Sejauh ini, yang diusulkan dalam geosite meliputi kawasan dengan gua-gua batu cadas. Juga hamparan formasi limestone, hingga Danau Nyaden dan Danau Labuan Cermin. Dari kawasan-kawasan tersebut, dipastikan bebas aktivitas izin usaha. Sebagaimana juga tertuang dalam master plan geopark di KBAK Sangkulirang-Mangkalihat, kawasan Sekerat lah yang paling memungkinkan dimasuki industri lantaran paling minim konflik yang bisa dimunculkan. “Di Sekerat itu yang menonjol hidrologi dan biodiversity-nya. Lainnya enggak,” terang Eko.

Provincial Governance Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara Niel Makinuddin mengungkapkan pentingnya status geopark bagi Kaltim. Predikat global tersebut membawa dunia ke Bumi Etam. Tanpa perlu keluar ongkos untuk marketing. Kampanye dilakukan secara global. Tak perlu dipanggil, wisatawan dunia yang datang sendiri.

“Karena geopark menjawab tiga hal penting dalam pengelolaan. Pertama perihal ekonomi masyarakat  setempat. Kedua menjawab persoalan peningkatan kualitas lingkungan, menjaga konservasi. Ketiga adalah edukasi ilmiah karena ini warisan berusia 40 ribu tahun,” sebut Niel.

Status geopark tak hanya menjawab tantangan konservasi. Lebih dari itu, juga memberi dampak hebat terhadap perekonomian. Niel mencontohkan masyarakat Gunung Kidul sebelum Gunung Sewu ditetapkan kawasan geopark oleh Unesco global. “Sekarang berkembang luar biasa. Homestay berdiri di banyak tempat,” pungkasnya. (*)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.