HeadlineSorotan

Gantikan UN sebagai Syarat Kelulusan Siswa, AKM Didasari Tiga Penilaian

Ujian nasional sudah sejak lama menjadi syarat kelulusan pelajar di Indonesia. Mulai tahun depan tak lagi berlaku, diganti asesmen kompetensi minimum.

Samarinda, intuisi.co – Ujian nasional (UN) tak lagi menjadi ketentuan kelulusan pelajar di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim resmi menggantinya dengan penilaian asesmen kompetensi minimum (AKM). Bagaimana penerapannya di daerah kelak?

Kepala Bidang (Kabid) Pembangunan SMP Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda Barlin Hadi Kesuma, menyebut bahwa dalam AKM dikemukakan tiga penilaian. Pertama adalah numerasi, kemampuan siswa menganalisis menggunakan angka. Lalu literasi, penilaian kompetensi yang tak hanya kapabilitas pelajar membaca, namun juga menganilis suatu bacaan dan memahami konsep di balik bacaan tersebut. “Jadi yang masuk penilaian akhir bukan mata pelajaran lagi,” ujar Barlin dikonfirmasi Kamis pagi, 22 Oktober 2020.

Dengan demikian, penentuan kelulusan tak lagi berdasarkan mata pelajaran dan penguasaan materi. Tetapi kompetensi minimum atau kompetensi dasar yang dibutuhkan siswa untuk bisa belajar. Termasuk survei karakter untuk mengetahui data secara nasional bahwa sistem telah bekerja baik atau tidak. Survei karakter jadi acuan sekolah menciptakan lingkungan belajar yang membuat siswa lebih bahagia.

“Jadi ketika murid mendapatkan nilai yang buruk di sekolah, tak langsung menghakimi. Bisa jadi sekolah ikut bertanggung jawab karena tak bisa menghadirkan suasana nyaman. Baik dari sisi pengajar atau fasilitas penunjang tak layak,” jelas Barlin.

Perubahan sistem dari UN menjadi AKM telah didahului sejumlah survei dan musyawarah. Melibatkan guru, siswa, dan orangtua yang selama ini bertalian erat dengan UN. Ketentuan UN yang menuntut siswa melewati ambang batas nilai yang ditentukan untuk dinyatakan lulus, dianggap terlalu berat. Rentan membuat stres siswa, guru maupun orangtua. “Bahkan gara-gara ini pula tak jarang ada kasus bunuh diri. Inilah yang kami tak inginkan terjadi,” sebut Barlin.

Dengan demikian, sudah saatnya sistem lama ditinggalkan. Penilaian murid harusnya tak lagi berdasar angka dan peringkat. Mengambil contoh dari negara tetangga, Singapura yang terkenal dengan pendidikannya tak lagi menerapkan ranking. Setiap anak memiliki perbedaan. Masing-masing punya kompetensinya sendiri. “Kebijakan penilaian inilah yang hendak diterapkan pada tahun depan,” pungkasnya. (*)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.