Jakarta, intuisi.co– Hingga kini harga tiket pesawat mahal. Mereduksi fenomena tersebut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengevaluasi struktur tarif angkutan udara untuk 2025 dengan membandingkan komposisi biaya pada 2019, sebelum pandemi COVID-19 melanda. Evaluasi ini bertujuan menyusun formulasi tarif yang lebih adil dan berkelanjutan bagi industri penerbangan nasional.
“Ditjen Perhubungan Udara sedang melakukan evaluasi terhadap penerapan tarif angkutan udara dengan mempertimbangkan beberapa hal,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Lukman F. Laisa, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI di Jakarta, Kamis (22/5/2025) seperti dilansir dari CNNIndonesia.
Berdasarkan data Kemenhub, komponen biaya terbesar dalam urusan harga tiket pesawat atau penerbangan adalah bahan bakar avtur, yang menyumbang 28,30 persen dari total struktur biaya. Angka ini naik dibandingkan pada 2019 yang tercatat 27,70 persen.
Komponen biaya lain yang cukup signifikan adalah biaya perawatan (maintenance) sebesar 20,14 persen, diikuti oleh biaya sewa pesawat (12,19 persen), biaya organisasi dan operasional umum (8,76 persen), pemasaran dan penjualan (7,25 persen), serta penyusutan aset sebesar 5,44 persen.
“Kenaikan pada komponen maintenance, termasuk biaya maintenance reserve, menyebabkan maskapai membutuhkan biaya lebih besar untuk reaktivasi pesawat udara, guna memenuhi pertumbuhan permintaan pasca-COVID-19,” jelas Lukman.
Lebih lanjut, Lukman menyebut adanya gangguan dalam ekosistem pasokan suku cadang global. Maskapai juga menghadapi tantangan berupa kelangkaan mesin pesawat (engine), kenaikan harga kontrak layanan, serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Untuk menekan bea tiket pesawat dan menjaga keberlanjutan industri, Ditjen Perhubungan Udara mengusulkan empat strategi. Pertama, merevisi Peraturan Menteri (PM) Nomor 20 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri (KM) Nomor 106/2019 untuk menyesuaikan formula penyesuaian haga tiket pesawat berdasarkan jarak dan waktu tempuh penerbangan.
Tiket Pesawat Jarak Pendek Jadi Perhatian
Kedua, penyesuaian harga tiket pesawat atau angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri untuk kelas ekonomi, terutama untuk rute-rute jarak pendek. “Ketiga, diferensiasi tarif berdasarkan kelompok layanan hanya diberlakukan bagi pesawat jet,” terang Lukman.
Untuk pesawat propeller, kata dia, yang umumnya melayani konektivitas antardaerah, pihaknya sudah mengusulkan tidak lagi diberlakukan tarif diferensiasi. Terakhir, penyesuaian tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) perlu dilakukan untuk menghindari praktik predatory pricing serta mendorong persaingan usaha yang lebih sehat.
“Selain itu, guna mencegah efek negatif dari perbedaan mencolok antara tarif low season dan high season,” tambahnya.
Terpisah, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Wamildan Tsani Panjaitan, mendukung langkah evaluasi Kemenhub tersebut. Ia menyoroti formulasi tarif batas atas yang terakhir kali ditetapkan pada 2019, yang dinilainya tidak lagi relevan dengan kondisi industri saat ini.
“Penetapan TBA terakhir pada 2019 membebani maskapai, terutama karena kenaikan harga avtur dan biaya maintenance,” ujar Wamildan.
Ia juga mengeluhkan pelemahan nilai tukar rupiah yang terus menekan margin keuntungan maskapai. “Penurunan jumlah penumpang sebesar 3 hingga 5 persen saja sudah sangat mempengaruhi margin profit dari maskapai,” lanjutnya.
Menurut Wamildan, Garuda Indonesia telah berkoordinasi intensif dengan Ditjen Perhubungan Udara terkait rencana penyesuaian TBA. “Kami mengusulkan penyesuaian TBA. Besarannya masih menunggu hasil pembahasan lebih lanjut dengan tim Dirjen Hubud,” pungkasnya. (*)