Jejak Abadi Habib Tunggang Parangan di Tanah Kutai

intuisi

27 Apr 2025 21:46 WITA

Kompleks makam Habib Tunggang Parangan, seorang ulama penyebar Islam di Kutai. (kontributor intuisi.co)

Samarinda, intuisi.coDi tengah riuh gelombang Sungai Mahakam yang mengalir tenang, seorang ulama bermukim, menyemai benih keimanan di tanah Kutai. Namanya Habib Tunggang Parangan, seorang pendakwah asal Minangkabau yang dalam catatan sejarah menjadi pelopor Islamisasi di kerajaan tertua di Nusantara ini, Kutai Kartanegara, pada abad ke-16.

Ia tiba di Kutai bersama sahabat seperjalanannya, Habib Ri Bandang, dalam masa pemerintahan Raja Aji Mahkota Mulia Alam, raja yang bertahta antara 1525 hingga 1589. Habib Tunggang Parangan, yang kerap dijuluki Si Janggut Merah lantaran warna rambut di dagunya yang kemerahan, membawa risalah Islam dari barat Sumatera menuju belantara Kalimantan.

Sebagaimana dikisahkan Ahmad M. Sewang dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII(2005:95), Habib Tunggang Parangan berangkat mengarungi lautan dengan satu tujuan: memperkenalkan ajaran tauhid di tanah yang kala itu belum mengenal syahadat.

Tidak banyak yang terhimpun mengenai masa kecil Habib Tunggang Parangan. Ia diduga lahir di Sumatera pada abad ke-16, tumbuh dalam lingkungan keilmuan yang melatihnya menjadi da’i tangguh. Bersama Habib Ri Bandang, ia menjelajahi negeri-negeri timur Nusantara, mulai dari Gowa, Takalar, hingga Bantaeng, sebelum akhirnya menjejakkan kaki di Kutai.

Di tanah Kutai, keduanya menjadi utusan pertama yang menghadap Raja Mahkota. Di hadapan penguasa dan para bangsawan, mereka memaparkan ajaran Islam yang asing bagi telinga para penduduk kerajaan. Raja, penasaran, meminta mereka mendirikan sebuah langgar kecil sebagai tempat sembahyang dan pusat penyebaran ajaran baru itu.

Namun, di tengah perjalanan dakwah itu, Habib Ri Bandang memutuskan kembali ke Gowa. Habib Tunggang Parangan memilih bertahan. Ia menanam akar dakwah lebih dalam di tanah Mahakam. Dengan kesabaran tanpa batas, ia mengajarkan syariat dan akhlak Islam kepada Raja Mahkota, para menteri, hingga rakyat jelata.

Tahun 1575 menjadi tonggak bersejarah. Raja Mahkota mengucapkan dua kalimat syahadat, menjadi raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk Islam. Keputusan ini segera diikuti oleh rakyatnya. Dari istana hingga pelosok dusun, suara azan mulai berkumandang, membelah rimba Kalimantan.

Habib Tunggang Parangan Dakwah di Kalangan Akar Rumput

Habib Tunggang Parangan tak sekadar berdakwah di sekitar istana. Ia meluaskan langkah ke desa-desa seperti Jaitan Layar, Hulu Dusun, Sembaran, hingga Pandan Sari. Setiap tanah yang diinjaknya perlahan berubah menjadi komunitas Muslim yang baru, membentuk identitas Islam yang kuat di Kutai Kartanegara.

Sebelum kedatangan Habib Tunggang Parangan, sejumlah pedagang Arab dan ulama Minangkabau lain pernah berusaha menanamkan ajaran Islam di Kutai. Namun upaya mereka tak sanggup menembus keyakinan Raja Mahkota. Baru melalui pendekatan lembut Habib Tunggang Parangan, gerbang Islamisasi benar-benar terbuka.

Habib Tunggang Parangan menutup usianya di tanah yang ia Islamkan. Ia dimakamkan di Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara. Makamnya kini dikenal sebagai Kompleks Makam Habib Hasim bin Musaiyah—nama lain yang disematkan padanya.

Kompleks ini menjadi semacam monumen hidup, mengingatkan generasi demi generasi tentang perjuangan sunyi seorang ulama dalam mengubah sejarah Kutai. Setiap tahun, peziarah dari berbagai penjuru datang untuk berdoa, memanjatkan rasa terima kasih kepada seorang lelaki berjanggut merah yang membekaskan jejak keabadian di tanah Borneo.

Kontribusi Habib Tunggang Parangan terhadap perkembangan Islam di Kutai tak dapat dipisahkan dari beberapa peran penting yang ia jalankan. Ia bukan hanya guru spiritual bagi raja dan bangsawan, tetapi juga penggerak transformasi sosial di tengah rakyat biasa.

Dengan membangun langgar sebagai pusat dakwah pertamanya, ia menciptakan fondasi awal komunitas Muslim di Kutai. Melalui ketekunan yang nyaris tanpa henti, Habib Tunggang Parangan perlahan membangun peradaban baru. Dari pendakwah, ia menjadi guru bangsa. Dari musafir, ia menjelma pewaris sejarah. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!