Kisah Perempuan Tunanetra Penjual Ikan Asin di Samarinda yang Pantang Mengemis
Perempuan ini hanya hidup bersama seorang putri. Menyambung hidup berdagang ikan asin. Pantang memanfaatkan kekurangan untuk berharap simpati.
Samarinda, intuisi.co – Perempuan ini merupakan seorang tunanetra sejak lahir. Tapi kekurangan tak membuatnya kehilangan akal. Misdah pantang minta-minta. Menyambung hidup dengan berjualan ikan asin.
Rabu siang, 20 Mei 2020, redaksi intuisi.co menjumpainya menjajakan dagangan di persimpangan Taman Samarendah sisi Jalan Bhayangkara. Menghamparkan lapak di atas trotoar. Bersebelahan seorang anak kecil. Perempuan 5 tahun itu ternyata Maulida, putri dari Misdah.
Keduanya tinggal di Jalan Reel Sei Keledang, Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang. Dua anak tertuanya menempuh ilmu di pondok pesantren Tanah Paser, Kabupaten Paser. Sedangkan sang suami telah lama pergi. Tak tahu ke mana rimbanya.
Untuk menyambung hidup, Misdah berjualan dengan putrinya. Berdagang ikan asin yang didapat dari tetangga. Bersama sang putri, Misdah biasa berjalan kaki menuju tempat berdagang. Termasuk ketika menuju Taman Samarendah pada Rabu pagi tadi. Kadang ada saja tetangga atau kenalan memberi tumpangan. “Syukur kalau lewat Jembatan Mahakam ada jalur khusus bagi pejalan kaki,” sebut Misdah kepada intuisi.co.
Misdah dan sang anak juga biasa berjualan di Jalan KS Tubun, Jalan Siradj Salman, Jalan Kusuma Bangsa, hingga Jalan Slamet Riyadi. Tak ada lokasi tentu. Yang pasti, begitu tiba di tempat yang tepat, segera digelarnya dagangan di atas kardus bekas.
Sambil menyeka peluh di wajah, harapan Misdah terbang tinggi kepada Sang Khalik. Berdoa dagangannya habis terjual. Ketika ada pelanggan datang, Maulida segera memanggil ibunya. Dengan semangat Misdah memberi informasi harga ikan asin berdasar ukuran dan jenis. Ada yang Rp20 ribu ada pula Rp35 ribu.
“Sudah dua tahun ini jualan. Bujur kayak (seperti) ini daripada minta-minta, kada (tidak) pernah ulun (saya) kaya itu. Tapi amunnya (kalau) ada yang membari (memberi) diambil saja, namanya rezeki,” sebutnya dalam logat Banjar.
Ditegur, Dituduh Pengemis
Sepekan lalu, Misdah sempat ditegur Satpol PP. Dituding pengemis. Namun dengan tegas dibantah. Ibu tiga anak ini begitu semangat berjualan. Menjemput rezeki yang layak. Malu jika mengemis. “Amunnya (kalau) masih kawa bejalan, ditekuni haja (saja). Rezeki sudah diatur sama Allah,” katanya.
Tatkala hari makin renta, lamat-lamat azan magrib bergema. Misdah sadar langit makin gelap. Sudah waktunya kembali pulang. Selalu demikian setiap hari. Menyudahi kegiatan dengan harapan esok lebih baik.
Seperti ketika ia dan anaknya pergi saat pagi, Misdah pulang berjalan kaki. Tak pernah meminta tumpangan. Kecuali ada pengendara mengajak. Jika ada uang lebih, bisa pula kembali dengan angkot.
Saat ini ia hidup dengan putrinya di rumah sewa. Bangunan kayu dengan satu kamar. Luasnya 6×3 meter persegi. Tak ada dapur. Hanya kamar mandi dan ruang tidur. Ditempati sejak 2016. Disewa Rp500 ribu sebulan. Terkadang hasil jualan tak cukup. Syukur sang pemilik mengerti.
Sebagaimana para pedagang lain di tengah pandemi begini, Misdah merasakan beban berat akhir-akhir ini. Tapi ia meyakini rezeki selalu ada. “Saya minta doanya haja biar semua lancar,” tutupnya kemudian tersenyum. (*)