Kisah Petani Peru Gugat Raksasa Energi Jerman karena Perubahan Iklim

Seorang petani di Peru menggugat perusahaan energi Jerman RWE karena perubahan iklim

intuisi

6 Jun 2025 00:01 WITA

iklim
Seiring perubahan iklim danau di dekat rumah Lliuya terisi air dari gletser yang mencair, sehingga meningkatkan risiko banjir. (Alexander Luna/Germanwatch/istimewa)

Balikpapan, intuisi.co—Iklim tak mengenal batas negara. Ketika suhu global naik, petaka menjadi ancaman serius yang sukar dihindari. Cerita inilah yang dialami oleh Saul Luciano Lliuya, seorang petani Peru yang menggugat raksasa energi Jerman, RWE.

Saul Luciano Lliuya adalah seorang pemandu wisata. Rumahnya berada di kaki Gunung Andes yang bersisian dengan kota kecil Huaraz, Peru yang sunyi. Di kejauhan, Danau Palcacocha bakal selalu setia menanti pengunjung. Meski begitu, Lliuya hidup dalam kekhawatiran yang tak lekang oleh waktu. 

Dia menuntut keadilan. Bukan ke pengadilan lokal. Ia menempuh jalur hukum lintas benua. Yakni di Jerman. Lawannnya RWE. Alasannya: emisi karbon yang dihasilkan perusahaan itu disebut-sebut sebagai salah satu penyebab mencairnya gletser di pegunungan tempat ia tinggal. Mencairnya es itu memicu lonjakan air di danau, yang jika pecah bisa menenggelamkan rumah dan keluarganya.

“Saya hanya ingin mereka bertanggung jawab atas bagian mereka dalam kerusakan ini,” kata Lliuya, seperti dikutip DW.

Gugatan Lliuya terhadap RWE diajukan pada 2015, menggunakan dasar hukum lingkungan Jerman yang mengatur soal tanggung jawab tetangga atas kerusakan. Meski RWE tidak beroperasi di Peru, ia berargumen bahwa perusahaan itu harus bertanggung jawab secara global karena kontribusinya terhadap perubahan iklim.

Kota Huaraz kini berada dalam bayang-bayang Danau Palcacocha, yang volumenya meningkat empat kali lipat sejak 2003 lalu. Para ilmuwan memperingatkan bahwa banjir gletser bisa saja terjadi jika bongkahan es besar jatuh ke danau. Lliuya menuntut RWE membayar €17.000 sebagai bagian dari biaya pembangunan pertahanan banjir.

Gugatan ini awalnya ditolak pengadilan di Essen. Namun pada 2017, Pengadilan Tinggi Hamm menerima banding Lliuya dan memutuskan kasus bisa diteruskan ke tahap pembuktian. Perkara ini pun menjadi kasus iklim transnasional pertama yang lolos tahap awal di pengadilan Eropa.

Kalah di Pengadilan, Menang di Arena Moral

Pada Mei 2025, sepuluh tahun setelah gugatan diajukan, hakim di Kota Hamm menolak klaim Lliuya. Mereka menyatakan bahwa risiko banjir yang dihadapi tidak cukup tinggi untuk menetapkan tanggung jawab RWE. Namun pengacara Lliuya, Roda Verheyen, melihat ini bukan sebagai akhir. “Putusan ini menandai bahwa emitor besar bisa dituntut secara hukum. Ini bukan kekalahan—ini adalah sejarah,” ujarnya.

Germanwatch, LSM yang mendukung gugatan ini sejak awal, menyebut putusan itu sebagai “kesuksesan besar” yang bisa menjadi preseden di negara lain. “Kita telah menggeser bingkai hukum,” kata mereka.

Menurut Grantham Research Institute, sejak gugatan Lliuya dimulai, setidaknya 40 gugatan serupa telah diajukan terhadap perusahaan besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Para peneliti dan aktivis iklim menyebut gugatan ini sebagai bentuk frustrasi terhadap lambannya aksi politik terhadap perkara lingkungan.

RWE sendiri tetap berpegang pada argumen hukum. Mereka menolak tanggung jawab dan menyebut tuntutan ini bisa berdampak negatif terhadap posisi industri Jerman di dunia. Namun Sebastien Duyck dari Center for International Environmental Law menyebut gugatan ini sebagai awal dari pergeseran hukum.

“Preseden ini membuka celah hukum yang akan dimanfaatkan oleh komunitas lain untuk memperjuangkan keadilan iklim,” ujarnya.

Kasus Lliuya bukan sekadar urusan ganti rugi. Ia adalah simbol perlawanan individu terhadap raksasa industri. Ia memperlihatkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar statistik global, tapi tentang rumah yang terancam hanyut, sawah yang mengering, dan kehidupan yang tak lagi pasti.

Jejak emisi tak bisa dihapus dengan argumen hukum semata. Karena dampaknya nyata, dan tak mengenal batas negara. Dan meski pengadilan di Jerman memutuskan RWE tak bersalah, sejarah mencatat bahwa seorang petani dari Andes pernah menantang Goliath di pengadilan, dan meski kalah, ia menang di hati dunia.

Fenomena Gletser dan Perubahan Iklim

Fenomena mencairnya gletser secara masif bukan sekadar gambaran visual dari perubahan lanskap alam, melainkan sinyal genting bahwa Bumi sedang tidak baik-baik saja. Menurut laporan UNESCO, laju pencairan gletser global kini berada pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak 1975, dunia telah kehilangan sekitar 9.000 gigaton es—setara dengan bongkahan es sebesar Jerman dengan ketebalan 25 meter.

Penyebab utamanya: pemanasan global. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industrialisasi telah mempercepat akumulasi gas rumah kaca di atmosfer. Akibatnya, suhu rata-rata global meningkat, mempercepat pencairan es di kawasan kutub dan pegunungan tinggi. “Kenaikan suhu yang terus berlanjut berarti masa depan gletser akan sangat terbatas,” tulis Reuters dalam laporannya.

Gelombang panas ekstrem turut memperparah situasi. Gletser di Pegunungan Alpen, misalnya, mencatat rekor pencairan terparah dalam sejarah saat Eropa dilanda gelombang panas berulang kali dalam beberapa tahun terakhir.

Dampaknya meluas. Air dari es yang mencair mengalir ke lautan, mendorong naiknya permukaan laut. Antara mencatat, hal ini berisiko besar terhadap kota-kota pesisir seperti New York, Shanghai, London, dan New Orleans. Ancaman berupa banjir, abrasi pantai, hingga intrusi air laut ke sumber air tawar membayangi wilayah-wilayah itu.

Tak hanya soal daratan yang tenggelam. Gletser juga memainkan peran vital dalam keseimbangan ekosistem. Pencairannya dapat mengganggu habitat spesies tertentu yang bergantung pada suhu dingin, seperti ikan trout atau spesies alpine lainnya. Aliran air yang berubah drastis juga memengaruhi sungai dan danau yang menopang keanekaragaman hayati.

Krisis ini bahkan menyentuh persoalan pangan dan air bersih. Gletser yang mencair terlalu cepat bisa menimbulkan kelangkaan air saat musim kering tiba. Di sisi lain, terbentuknya danau glasial yang tak stabil menyimpan ancaman banjir bandang sewaktu-waktu.

Dalam konteks perubahan iklim, gletser bukan lagi simbol kekekalan. Ia berubah menjadi indikator rapuhnya sistem iklim global. Dan jika tren ini terus berlanjut, generasi mendatang hanya akan mengenal gletser dari foto dan buku sejarah. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!