Krisis Iklim Memburuk: Suhu Bumi Naik Tiap Tahun

intuisi

28 Apr 2025 09:21 WITA

Krisis iklim kian memperparah suhu dunia. (Istimewa)

Samarinda, intuisi.co Dunia semakin dekat dengan ambang batas krisis iklim. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi antara 2024 hingga 2028 akan berada di antara 1,1°C hingga 1,9°C di atas tingkat pra-industri (1850-1900). 

Ada peluang besar—sebesar 86 persen—bahwa setidaknya satu dari tahun-tahun itu akan mencatat rekor suhu baru, melewati 2023 yang kini tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah. Dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, krisis iklim bukan hal yang patut dipandang sebelah mata.

Lebih dari itu, ada peluang 47 persen bahwa suhu rata-rata dalam lima tahun ke depan akan benar-benar menembus ambang 1,5°C, naik signifikan dibandingkan 32 persen dalam laporan serupa tahun lalu. Artinya, ancaman melampaui batas yang ditetapkan Perjanjian Paris semakin nyata. Sejak 2015, ketika peluang itu hampir nol, tren kenaikan ini terus bergerak tajam. 

Untuk periode 2017-2021, peluangnya masih 20 persen, melonjak menjadi 66 persen pada periode 2023-2027. Kini, prediksi terbaru WMO—yang disusun bersama Kantor Meteorologi Inggris dan pusat-pusat prediksi iklim lainnya—memperlihatkan situasi krisis iklim yang lebih mendesak.

Laporan ini dirilis bertepatan dengan pidato keras Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menjelang pertemuan G7 di Italia pada 13–15 Juni. “Kita bermain rolet Rusia dengan planet kita,” kata Guterres seperti dilansir dari rilis resmi WMO. “Kita perlu mengubah haluan dari jalan raya menuju neraka iklim.”

Guterres menegaskan bahwa pertarungan untuk mempertahankan ambang 1,5°C akan ditentukan pada dekade ini, di bawah kepemimpinan saat ini. Ia juga mengutip data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus yang menunjukkan bahwa 12 bulan terakhir berturut-turut memecahkan rekor suhu global baru, dengan suhu rata-rata 1,63°C di atas masa pra-industri.

Peta prakiraan suhu global untuk periode 2024-2028 memperlihatkan anomali penghangatan yang kian dominan, terutama di belahan bumi utara. “Di balik angka-angka ini, tersembunyi kenyataan pahit: kita masih jauh dari jalur untuk memenuhi target Paris,” kata Wakil Sekretaris Jenderal WMO, Ko Barrett. 

Ia memperingatkan, jika tidak ada langkah besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dunia akan membayar harga mahal dampak buruk krisis iklim—dalam bentuk triliunan dolar kerugian ekonomi, jutaan korban bencana cuaca ekstrem, hingga rusaknya keanekaragaman hayati.

Barrett juga menegaskan, sekalipun pelanggaran ambang 1,5°C terjadi secara temporer, peluang untuk menghindari pemanasan jangka panjang masih terbuka—namun jendelanya semakin menyempit. Perjanjian Paris mengikat negara-negara dunia untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2°C, dengan berupaya maksimal menahannya di angka 1,5°C. 

Namun, komunitas ilmiah terus mengingatkan: setiap sepersepuluh derajat tambahan berarti memperparah dampak bencana—dari gelombang panas, badai, kekeringan, hingga pencairan es dan kenaikan permukaan laut. Petaka-petaka ini merupakan bentuk dari krisis iklim.

Carlo Buontempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, menambahkan, “Kita hidup di masa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi kita juga memiliki kemampuan pemantauan iklim yang tak pernah kita miliki sebelumnya.”

Buontempo memperingatkan bahwa bulan-bulan panas yang kita alami sekarang, suatu hari bisa dikenang sebagai ‘masa yang lebih dingin’—kecuali dunia segera menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca.

Tahun 2023 sendiri tercatat sebagai tahun terpanas, dengan rata-rata suhu permukaan global mencapai 1,45°C di atas era pra-industri, menurut laporan “State of the Global Climate 2023” WMO. Lonjakan suhu ini dipicu oleh kombinasi pemanasan jangka panjang dan kehadiran fenomena El Niño yang kini mulai mereda. 

Meskipun La Niña, yang membawa pendinginan alami, diprediksi kembali dalam waktu dekat, tren pemanasan jangka panjang akibat emisi gas rumah kaca tetap mengunci masa depan dunia pada risiko iklim yang semakin tinggi. (*)

Ikuti berita-berita terbaru Intuisi di Google News!