Samarinda, intuisi.co–Krisis iklim bukan sekadar persoalan cuaca ekstrem, mencairnya gletser, atau naiknya permukaan laut. Di balik bencana-bencana itu, terdapat akar yang lebih dalam dan lebih rumit: cara manusia memandang alam dan tempatnya di dalamnya. Demikian temuan penting dalam laporan terbaru United Nations University – Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) bertajuk Turning Over a New Leaf, yang dirilis di Bonn, Jerman, awal Mei lalu.
Laporan tersebut menyelidiki keterkaitan antara krisis iklim dengan berbagai bencana lingkungan dan menyimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan bukan semata akibat proses alam, tetapi akibat sistem sosial dan budaya yang dibangun manusia sendiri.
Pandangan tersebut tercermin dalam banyak praktik, mulai dari pertanian monokultur, penggunaan pestisida, domestikasi besar-besaran, hingga rekayasa aliran sungai. Alih-alih menghentikan laju krisis iklim, dunia justru terus bergerak menuju kehancuran ekologis.
Padahal para ilmuwan telah lama memberi peringatan, bahkan menawarkan solusi. Namun, solusi yang diambil sering kali hanya menyasar gejala dan luput dari akar persoalan. “Dalam banyak kasus, kita melihat jurang, kita tahu sekarang untuk berbalik, namun kita dengan percaya diri terus berjalan ke arahnya.
Mengapa?” kata Shen Xiaomeng, Direktur UNU-EHS, menggambarkan betapa umat manusia kerap menyadari ancaman yang ada, namun tetap gagal mengambil langkah untuk menghindarinya. Laporan ini juga memetakan enam titik kritis yang tengah mengancam kelangsungan hidup manusia, mulai dari penipisan air tanah, pencairan gletser, hingga suhu ekstrem yang makin tak tertahankan.
Para peneliti UNU mengarahkan perhatian pada struktur sosial dan budaya yang dibangun manusia selama berabad-abad. Pola pikir dominan yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam menjadi sorotan utama dalam laporan tersebut.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa sebagian besar hal-hal tersebut terjadi dan terus terjadi karena pola pikir bahwa manusia dapat dan harus mendominasi alam atau mengendalikan alam,” kata Caitlyn Eberle, peneliti utama dalam laporan itu.
Pemikiran tersebut termanifestasi dalam berbagai praktik, seperti pertanian monokultur, eksploitasi sumber daya secara besar-besaran, hingga sistem produksi dan konsumsi yang linier.
Krisis Iklim dan Rokok Saling Berkaitan?
Dampaknya, bukan hanya kerusakan ekologis yang tak terkendali, tetapi juga menjauhkan manusia dari realitas bahwa mereka merupakan bagian dari ekosistem, bukan entitas di luar atau di atasnya. Sebagai contoh, upaya daur ulang sering kali dianggap sebagai solusi, padahal itu hanya menyentuh permukaan.
Sampah tetap menumpuk di sungai dan pantai karena budaya konsumsi sekali pakai tak tersentuh. Masalahnya bukan sekadar teknis, melainkan filosofis: manusia menganggap membuang adalah hal wajar, tanpa mempertanyakan dari mana sumber daya berasal dan ke mana limbah akan berakhir.
Laporan ini juga mengangkat asumsi-asumsi keliru yang selama ini tertanam dalam masyarakat. Seperti anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa batas otomatis akan membawa kemakmuran, atau bahwa bumi punya kapasitas tak terbatas untuk menyerap limbah dan menyediakan sumber daya.
“Dari perspektif ilmiah, asumsi-asumsi ini cacat,” kata Eberle. Mengakui keterbatasan planet, menurutnya, adalah langkah pertama menuju perubahan struktur masyarakat yang lebih berkelanjutan.
Untuk itu, para peneliti UNU mengembangkan pendekatan yang mereka sebut sebagai deep leverage points atau “pengungkit perubahan mendalam”. Intinya, perubahan besar hanya bisa dicapai jika masyarakat bersedia menggugat asumsi dasar, nilai, dan keyakinan yang menjadi fondasi sistem sosial saat ini.
Contoh transformasi nilai sosial yang berhasil pernah terjadi pada kebiasaan merokok. Dahulu dianggap simbol status, kini rokok justru dipandang sebagai ancaman kesehatan yang harus dijauhi. Perubahan itu terjadi melalui proses panjang yang melibatkan sains, kampanye publik, dan pengaruh budaya populer.
“Perubahan pola pikir serupa dibutuhkan untuk menghadapi krisis iklim dan lingkungan,” kata Eberle.
Dalam pandangan UNU, masa depan yang sejahtera hanya bisa dicapai jika manusia bersedia memandang limbah sebagai sumber daya, melihat dirinya sebagai bagian dari alam, memahami bahwa tanggung jawab lingkungan bersifat kolektif, berpikir lintas generasi, dan mendefinisikan ulang apa itu kekayaan.
Artinya, kesejahteraan tak lagi hanya diukur dari indikator ekonomi seperti PDB, tetapi juga dari seberapa sehat dan lestari ekosistem yang menopang kehidupan. “Pergeseran pola pikir yang lebih mendalamlah yang diperlukan untuk mengubah budaya, mengubah filosofi untuk meyakini bahwa hal-hal semacam ini dapat tercapai,” pungkas Eberle. (*)