Samarinda, intuisi.co-Puluhan negara di dunia masuk jurang krisis pangan akibat cuaca ekstrem. Mulai dari kekeringan panjang dan banjir bandang yang dipicu oleh fenomena El Nino. Anomali ini kembali menebar ancaman. Lebih dari 96 juta orang kini terdampak, terpuruk di Afrika Selatan, Asia Selatan, dan wilayah tanduk Afrika—termasuk Somalia dan Etiopia.
Laporan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengungkapkan kenyataan pahit: jumlah orang yang menghadapi kondisi krisis pangan. Jumlahnya melonjak lebih dari dua kali lipat yakni 1,9 juta jiwa. Angka ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak pemantauan laporan global dimulai pada 2016. Bahkan, malnutrisi pada anak-anak kecil telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Di antara mereka yang paling rentan, hampir 38 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami kekurangan gizi akut. Mereka tersebar di 26 negara yang dilanda krisis pangan, termasuk Sudan, Yaman, Mali, dan Gaza. Tak hanya krisis pangan, pemindahan paksa juga memperburuk kondisi.
Sekitar 95 juta orang yang terusir dari tanahnya—baik pengungsi maupun pengungsi internal—menggantungkan hidup di negara-negara yang menghadapi ancaman kelaparan, seperti Republik Demokratik Kongo dan Kolombia.
Namun, meskipun bayang-bayang krisis pangan begitu tebal, pada 2024 menyimpan secercah harapan. Di 15 negara—termasuk Ukraina, Kenya, dan Guatemala—kerawanan pangan justru menurun. Bantuan kemanusiaan yang lebih efektif, hasil panen yang membaik, meredanya inflasi, dan berkurangnya konflik menjadi angin segar yang mampu mengurangi derita.
“Saat meluncurkan Laporan Global 2025 tentang Krisis Pangan, kami menyadari bahwa kerawanan pangan akut bukan sekadar krisis – ini adalah kenyataan yang terus-menerus dialami jutaan orang, yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan,” usar QU Dongyu, Direktur Jenderal FAO dalam keterangan resminya.
Menghadapi kondisi ini, FAO menyerukan investasi dalam sistem pangan lokal sebagai jalan keluar dari lingkaran kelaparan. “Jalan ke depan sudah jelas: investasi dalam pertanian darurat sangat penting, bukan hanya sebagai respons, tetapi sebagai solusi yang paling hemat biaya untuk memberikan dampak signifikan yang bertahan lama,” imbuhnya.
Ironisnya, tren kerawanan pangan akut dan malnutrisi pada anak justru meningkat dalam enam tahun terakhir hingga 2024. FAO melaporkan bahwa lebih dari 295 juta orang di 53 negara hidup dalam bayang-bayang kekurangan pangan. Angka itu naik 5 persen dari tahun sebelumnya.
Biang Keladi Krisis Pangan
Di daerah yang paling terdampak, sekitar 22,6 persen penduduknya mengalami krisis pangan atau kondisi yang lebih buruk. Laporan Global 2025 tentang Krisis Pangan yang dirilis FAO mencatat data yang mengejutkan. Konflik, cuaca ekstrem, dan guncangan ekonomi masih menjadi biang keladi yang tak kunjung reda.
Paulsen mengingatkan bahwa situasi akan memburuk tahun ini, terutama dengan menurunnya pendanaan bantuan pangan kemanusiaan—merosot antara 10 hingga 45 persen, menjadikan krisis ini semakin pelik. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengambil langkah kontroversial.
Ia menutup sebagian besar Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dan memangkas lebih dari 80 persen program kemanusiaannya. Kebijakan itu langsung berdampak pada jutaan orang yang kehilangan bantuan pokok.
“Jutaan orang yang kelaparan telah kehilangan, atau akan segera kehilangan, bantuan penting yang kami sediakan,” ujar Cindy McCain, Kepala Program Pangan Dunia USAID yang berbasis di Roma, Italia.
Di tengah gejolak ini, konflik tetap menjadi penyebab utama kelaparan, menghantam 140 juta orang di 20 negara pada tahun 2024. Daerah yang merasakan dampak paling parah adalah Gaza, Sudan Selatan, Haiti, dan Mali. Sudan sendiri telah menyatakan kondisi kelaparan di negaranya.
Tidak hanya itu, guncangan ekonomi—seperti inflasi dan depresiasi mata uang—turut memperburuk keadaan. Sebanyak 59,4 juta orang dari 15 negara, termasuk Suriah dan Yaman, kini terjebak dalam krisis pangan. Angka itu hampir dua kali lipat dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19.
Krisis pangan dunia ini seolah menjadi pengingat pahit: ketika alam murka dan konflik terus meradang, kemanusiaan terpaksa membayar harga yang mahal. (*)