Samarinda, intuisi.co-Perhelatan demokrasi untuk memilih wakil rakyat melalui Pemilihan Umum Anggota Legislatif di periode tahun 2019–2024 telah usai. Saat ini pemenuhan legislatif kaum perempuan di DPRD Provinsi Kaltim belum capai angka perwakilan 30 persen perwakilan perempuan. Meskipun, upaya parpol untuk memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan telah maksimal, namun kembali kepada keputusan rakyat yang belum mampu mengangkat tingkat pemenuhan 30 persen kursi parlemen untuk perempuan.
“Sangat kita sayangkan sebenarnya. Karena sebagai perempuan, yang menurut saya hingga saat ini masih membutuhkan perlindungan dalam aturan baik hukum maupun lainnya, sudah semestinya yang ikut duduk merancang dan mengkaji itu harus melibatkan perempuan. Mereka lebih tau apa yang dibutuhkan negara untuk mensejahterahkan kaum perempuan,” kata Nina Iskandar yang aktif dalam dunia jurnalis di Kaltim.
Aturan 30 Persen Perempuan Dalam Demokrasi
Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan parpol menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
“UU sudah mendukung kaum perempuan, parpol dipaksa untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan. Sekarang tinggal rakyat, apakah mereka mau berkontribusi untuk ikut berjuang. Minimal Rakyat kaum perempuan ikut berjuang untuk suara perempuan,” tutur perempuan beranak 3 itu.
Kultur Patriarki jadikan hambatan kesetaraan dan kesejahteraan hak perempuan. Menyoal masih lemahnya perlindungan hukum pada kaum perempuan, Nina menyebut, budaya patriarki di Indonesia menjadi bagian dari ketertindasan perempuan dalam hal menuntut hak.
“Coba kita lihat, yang duduk di DPRD Kaltim, apa perempuan sudah memenuhi 30 persen? Belum kan! Perempuan itu menjadi syarat mutlak untuk menciptakan kebijakan public yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Kalau wakil perempuan berjumlah minim, maka keputusan pengambil kebijakan cenderung akan lebih sulit untuk memahami apa yang menjadi kecenderungan kebutuhan perempuan,” jelasnya
“Tracking saja, apakah wakil rakyat di legislatif itu para kaum laki-laki ada yang fokus kepada hak perempuan? Sudah kah? Apa saja?” lanjutnya
Paradigma Patriarki yang Mengakar
Dikatakan oleh Nina, rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat dijelaskan ke dalam dua pengertian. Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik.
“Hari-hari mainan saya di DPRD, mau provinsi atau kota kabupaten, saya suka diskusi sama para dewan, perempuan atau laki-laki. Masih monoton. Ikut-ikut dari pusat. Perda apa yang mereka lahirkan untuk kesetaraan perempuan? Belum ada!” tegasnya.
Kesetaraan perempuan yang masih tersandra di regulasi kebijakan.
Kaltim sendiri, sebut Nina, merendahnya partisipan politik perempuan dari mayoritas perempuan membuat kecenderungan penurunan perjuangan perempuan. Hal itu lantaran, budaya yang mengakar di Indonesia khususnya Kaltim, apa lagi di wilayah akar rumput atau pedesaan, di mana menjadi basis besar suara perempuan itu masih memiliki nilai tabu terhadap politik itu sendiri.
“Sekarang Kaltim ada 55 anggota Dewan, jika ikut dengan 30 persen, maka jumlah kursi yang berhasil diduduki oleh legislator perempuan itu sudah jelas masih jauh dari nilai tersebut. DPRD Kaltim saja cuma ada 11 kursi legislatif perempuannya,” tuang Nina
Presentasi jumlah legislatif perempuan di DPRD Kaltim saat ini, disebut Nina, belum mampu menggiring kebijakan untuk membantu hak penuh perempuan.
“Kita masih tersandra oleh kebijakan yang mereka buat. Karena, wakil suara kita tidak cenderung pada hal sensitif keperempuanan,” bebernya
“Coba saja rakyat itu paham, bahwa gerakan perempuan itu, mampu untuk mengatasi hampir 50 persen akar menuju kesejahteraan,” tutupnya
Perlawanan Kesetaraan di Wakil Rakyat
Dilansir dari Detik, salah satu penulis, Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics menyebutkan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi laki-laki dalam perpolitikan nasional adalah membentuk sebuah jejaring gerakan perempuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung terpecah-pecah oleh perbedaan isu dan wacana yang diangkat.
Dalam lingkup yang lebih luas, diperlukan pula sebuah gerakan yang membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis keadilan gender. Persepsi publik bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tidak cocok dengan dunia politik mutlak harus diakhiri. Begitu pula tafsir keagamaan yang cenderung mengidentikkan kepemimpinan dengan maskulinitas idealnya harus digeser ke perspektif yang lebih sensitif gender. (*)
*) Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Siti Nurul Hidayah, peneliti, alumnus UIN Sunan Kalijaga