Pendidikan dan Pertanian Berebut Anggaran, DPRD PPU Siapkan Strategi Pengalihan
Dalam rapat anggaran DPRD PPU, dilema muncul: alokasi 20% untuk pendidikan wajib dipenuhi, tapi sektor lain juga butuh perhatian.
Penajam, intuisi.co – Di sebuah ruang rapat DPRD Penajam Paser Utara (PPU), perhatian tertuju pada angka-angka anggaran yang terpampang di layar proyektor. Ada tekanan yang tak kasat mata—tuntutan undang-undang, kebutuhan pembangunan, dan realitas terbatasnya sumber daya. Jamaluddin, salah seorang anggota DPRD, menyuarakan keresahan kolektif: “Jika alokasi anggaran pendidikan harus 20 persen dari APBD, lalu bagaimana dengan sektor lain yang juga membutuhkan dukungan?”
Tantangan ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tetapi tentang memastikan visi pembangunan tidak terabaikan. Sektor pendidikan, yang secara hukum harus menerima porsi signifikan, sering kali berhadapan dengan kendala saat kebutuhan di sektor lain juga meningkat. “Pendidikan punya tuntutan besar, tapi bagaimana jika dinas pertanian, kesehatan, atau infrastruktur juga kekurangan anggaran?” tanya Jamaluddin, menggambarkan dilema yang harus dihadapi para pengambil kebijakan.
Dalam wawancaranya, Jamaluddin menegaskan komitmen DPRD untuk mengelola anggaran dengan adil. Ia menjelaskan bahwa aturan alokasi seperti 20 persen untuk pendidikan bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi fondasi untuk membangun kualitas sumber daya manusia di masa depan. Namun, ia juga tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa beberapa dinas lain kerap kali merasa terpinggirkan.
“Setiap dinas itu memiliki alokasi tertentu. Misalnya, sektor pertanian. Kalau ternyata kebutuhan lebih besar dari yang dianggarkan, maka kita harus melihat apakah ada dinas lain yang anggarannya bisa dialihkan,” jelasnya.
Proses ini, lanjut Jamaluddin, membutuhkan komunikasi dan koordinasi yang intensif. Tidak jarang, diskusi panjang terjadi untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan pihak manapun.
Di balik angka-angka itu, ada cerita perjuangan. Dinas pendidikan, misalnya, harus terus memenuhi standar minimal meskipun menghadapi tantangan lain, seperti infrastruktur sekolah yang kurang memadai atau kurangnya tenaga pendidik. Di sisi lain, sektor seperti pertanian, yang menjadi andalan mata pencaharian sebagian besar warga PPU, juga tidak bisa diabaikan.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan aturan tanpa melihat realitas di lapangan,” kata Jamaluddin menutup pernyataannya. Dengan nada optimis, ia menambahkan bahwa solusi selalu bisa ditemukan jika semua pihak mau duduk bersama.
Ketika angka-angka di layar kembali dirangkum, komitmen DPRD PPU terasa seperti pengingat bahwa pembangunan adalah proses yang penuh kompromi, tetapi tidak boleh mengorbankan masa depan. Dalam ruang rapat itu, di antara suara debat dan ketukan palu, ada harapan yang terus diperjuangkan—untuk pendidikan yang lebih baik, pertanian yang maju, dan masyarakat yang sejahtera. (adv)