Peneliti Ungkap Krisis Iklim Sebabkan “Es Abadi” Puncak Jaya Bakal Lenyap
Krisis iklim menyebabkan “es abadi” di beberapa gunung dunia bakal lenyap. Termasuk Puncak Jaya Indonesia atau biasa disebut Gunung Cartenz
Samarinda, intuisi.co-Krisis iklim menjadi biang kerok sejumlah titik beku menanjak naik. Ini pula yang menjadi alasan es-es abadi di sejumlah puncak gunung mulai menyusut dari waktu ke waktu. Demikian dikatakan juru bicara Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Clare Nullis.
Peristiwa ini terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya saja Gunung Kilimanjaro, di Tanzania lalu ada Yosemite di Amerika Serikat dan Dolomites di Italia. Puncak es di gunung ini diperkirakan lenyap pada 2050 mendatang. Sementara di Indonesia, gletser di puncak pegunungan Jaya Wijaya atau Carstenz bakal mengalami hal senada pada 2030.
Padahal Carstenz, merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia dan masuk World Seven Summit alias tujuh puncak tertinggi dunia yang menjadi tujuan para pendaki gunung. Gletser Papua juga merupakan satu-satunya gletser tropis yang ada di Pasifik Barat, antara Pegunungan Andes, Amerika Selatan, dan Pegunungan Himalaya di Asia.
“Dampak dari panasnya suhu udara terhadap gletser terlihat jelas di depan mata kita,” ujar Nullis seperti dilansir dari laman UN News pada Senin, 28 Agustus 2023.
Dia menjelaskan rekor ketinggian untuk titik beku telah ditetapkan sehari sebelumnya, naik ke 5.298 meter, jauh di atas puncak-puncak tertinggi di Eropa, termasuk Mont Blanc, di ketinggian 4.811 meter.
Angka WMO itu menunjukkan kenaikan 115 meter di atas rekor sebelumnya pada 25 Juli 2022 dan tertinggi sejak pengukuran dimulai pada 1954. Nullis menjelaskan tingkat pembekuan telah diukur oleh balon cuaca Meteo-Suisse di atas Payerne di kanton barat Vaud, Swiss.
“Tingkat pembekuan di gletser, [dan] hilangnya salju sangat dramatis tahun lalu. Sayangnya, dengan gelombang panas terbaru ini, tren tersebut terus berlanjut,” sambungnya.
Kawasan Eropa Naik Siaga Merah
Sementara itu, kata dia, sebagian besar wilayah Swiss berada dalam level tiga siaga kuning atau siaga merah tingkat atas hingga Kamis. Suhu di sebagian besar bagian selatan Prancis diperkirakan akan berada di atas 37 celsius (C) pada hari Selasa, mencapai puncaknya pada suhu 40 C hingga 42 C di wilayah Drome.
“Ada juga peringatan merah di beberapa bagian Italia, Kroasia serta Portugal dan peringatan panas kuning yang meluas di negara-negara tetangga,” terangnya.
Di sisi lain, krisis iklim menyebabkan beberapa bagian Eropa dan khususnya Skandinavia telah mengalami curah hujan yang sangat tinggi. Norwegia pada Selasa mengeluarkan peringatan merah untuk curah hujan lebat. Risiko yang mengancam jiwa di bagian selatan negara itu.
Menanggapi pertanyaan tentang berapa banyak orang yang berisiko terkena panas yang tak kunjung reda, juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tarik Jašarević, mengatakan statistik dari musim panas lalu menunjukkan lebih dari 61.000 orang telah meninggal akibat panas di 35 negara Eropa di tahun lalu.
“Dampak dari suhu ekstrem pada gletser masih dalam penyelidikan, tapi efek dari gelombang panas sudah jelas, dengan lapisan salju yang kini hanya ada di ketinggian tertinggi Swiss,” sebut Nullis.
Dia menuturkan, ambang batas yang digunakan untuk mengukur seberapa ekstrem kondisi iklim terjadi adalah periode 30 tahun, dari 1991 hingga 2020. Meskipun musim panas secara meteorologis akan segera berakhir di belahan bumi utara, masih belum bisa dipastikan apakah gelombang panas saat ini akan menjadi yang terakhir di musim ini.
Di luar Eropa, kondisi panas terus berlanjut di sebagian besar wilayah tengah dan selatan AS, dengan beberapa peringatan panas yang berlebihan yang dikeluarkan di negara bagian tengah dan Texas.
“Dari Indonesia, ‘es abadi’ di puncak Jaya disebut mengalami pelelehan dan semakin menghilang,” bebernya.
Mengurang Drastis karena Krisis Iklim
Raden Dwi Susanto, peneliti dari University of Maryland, mengatakan hasil ekspedisi pada 2010 lalu mengungkap ketebalan lapisan es sekitar 26-30 meter di Puncak Soekarno dan Soemantri, yang merupakan bagian dari pegunungan Jaya Wijaya. Kecepatan pengurangan luas gletser Papua merupakan dampak pemanasan suhu global dan kondisi iklim ekstrim El Nino dan La Nina. Apalagi ketika terjadi El Nino di 2015 dan 2016 lalu, pengurangan luasan es terjadi lebih cepat.
“Suhu udara dan curah hujan sangat besar pengaruhnya. Gletser atau gunung es Papua akan menipis dan hilang, mungkin juga tidak akan sampai 10 tahun,” kata Dwi Susanto saat menjadi pembicara diskusi virtual pada Rabu, 10 Juni 2020 yang digelar Mapala Universitas Indonesia, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
Saat ekspedisi gletser Papua tahun 2010 itu, Dwi masih menjadi peneliti dari Columbia University. Riset itu merupakan kerja sama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan Byrd Polar and Climate Research Center (BPCRC) di The Ohio State University (OSU), dan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) di Columbia University, USA, serta PT. Freeport Indonesia.
Sebelum menjelaskan kondisi gletser Papua, Dwi memberikan gambaran suhu permukaan laut di dunia. Sementara, permukaan air laut Indonesia berada di kolam panas pasifik barat atau West Pacific Warm Pool (WPWP). Dwi juga menjelaskan kondisi iklim ekstrim di Indonesia seperti El Nino dan La Nina yang bisa menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan serta banjir, berdampak pada pencairan gletser Papua.
“Pengurangan luas es di gletser Papua cepat sekali, terutama disebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Antara 2010 dan 2015, lapisan es yang menyambungkan dua sisi gunung, pada bagian tengahnya mulai hilang,” sebutnya.
Donaldi Permana, peneliti dari BMKG yang ikut ekspedisi tahun 2010, memberikan tanggapan. Menurutnya, pemanasan global sudah terjadi. Berdasarkan perhitungan, paling lama dalam 10 tahun ke depan atau bahkan bisa lebih cepat, gletser Papua akan hilang. Apalagi jika sering terjadi El Nino, lapisan esnya akan lebih cepat habis.
“Sulit untuk menyelamatkan atau mempertahankannya, minimal kita terus memantau. Gletser ini satu-satunya di Indonesia,” tutup Donaldi. (*)