HeadlineHukumSamarinda

Penindakan Kasus Korupsi Kaltim Dapat Skor Buruk dari  ICW dan AJI

ICW bersama AJI Samarinda melakukan pemantauan hasil penindakan kasus korupsi periode 2022 di Kaltim. Skornya D alias buruk. Kok bisa?

Samarinda, intuisi.co Indonesia Corruption Watch atau ICW menggandeng Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda mengadakan pemantauan terkait penindakan kasus korupsi di level penyidikan untuk Aparat Penegak Hukum (APH), baik itu kepolisian dan kejaksaan di Kaltim. Metode pemantauan tabulasi data informasi berasal dari media atau situs resmi penegak hukum dari periode 1 Januari– 31 Desember 2022.

Peneliti dari AJI Samarinda, Ibrahim mengatakan selama proses penyidikan kasus korupsi, APH akan mendapatkan anggaran. Informasi tersebut bisa diakses melalui DIPA atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Kementerian Keuangan. Dari data tersebut kemudian dibandingkan dengan penindakan perkara yang ada dan dianalisis secara deskriptif.

Total anggaran yang dialokasikan untuk penindakan kasus korupsi (penyelidikan/ penyidikan) seluruh APH (Kejaksaan dan Kepolisian) di Kaltim tahun 2022 sebanyak Rp10,11 miliar dengan target 52 kasus korupsi di Kaltim, dengan rincian Kejaksaan 20 kasus dan Kepolisian 32 kasus. Tapi, hasil temuan hanya 18 kasus yang mampu direalisasikan atau sekitar 34,6 persen.

“Sehingga kinerja penindakan kasus korupsi di Kaltim hanya mendapatkan nilai D alias buruk,” ujar Ibrahim pada Kamis, 2 Maret 2023 di Bagios Café, Samarinda.

Sebagai informasi, ada dua kasus dari Kaltim yang ditangani KPK selama 2022, sehingga total penindakan kasus korupsi di Kaltim 2022 sebanyak 20 kasus. Lebih lanjut dia menerangkan, hasil temuan tren penindakan kasus korupsi di Kaltim untuk periode 2018 – 2022 cenderung fluktuatif.

“Pada 2022 ditemukan terjadi peningkatan drastis pengungkapan kasus beserta jumlah tersangka yang ditetapkan,” tuturnya.

Empat Modus yang Kerap Digunakan dalam Praktik Korupsi di Kaltim

Meski begitu, kata dia, jumlah penindakan ini masih jauh dari target APH di Kaltim pada 2022. Adapun kasus korupsi penyumbang kerugian terbesar di Kaltim 2022 yakni kasus PLTS di Kutai Timur sebesar Rp53,6 miliar dan kasus korupsi mantan Bupati PPU Abdul Gafur Masud senilai Rp12,5 miliar.

Jika dianalisis lebih lanjut, sambung dia, dari pemetaan kasus korupsi di Kaltim, modus yang paling banyak diterapkan ialah penyalahgunaan anggaran, mark up, kegiatan/proyek fiktif dan laporan fiktif. Keempat modus ini kerap ditemukan dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah.

“Tak hanya itu, dari data yang ada APH di Kaltim paling banyak mengusut korupsi dengan jenis kerugian negara sesuai Pasal 2/3 UU Tipikor,” tegasnya.

Lebih lanjut, kata dia, dari segi lokasi kasus korupsi paling banyak berasal dari Bontang, sebanyak 6 perkara. Selain itu, kasus korupsi juga banyak ditangani APH di Kutim, PPU, dan Berau. Selain itu, ada APH dari tiga kabupaten dan kota di Kaltim pada 2022 sama sekali tidak melakukan penindakan kasus korupsi yakni, Kukar, Mahulu, dan Samarinda.

Setali tiga uang, berdasarkan locus pekerjaan, ditemukan pegawai pemerintah daerah paling banyak menjadi tersangka dalam kasus korupsi di Kaltim. Kemudian, jabatan lain yang juga banyak terlibat adalah swasta, pejabat BUMD, kepala dan perangkat desa. Selain itu, pada 2022 ada kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi di dua kasus berbeda.

“Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyaknya pegawai pemerintah daerah terlibat kasus korupsi,” tegasnya.

Situasi ini, sebut dia, mengindikasikan kurangnya pengawasan terhadap kinerja sehingga dengan mudah melakukan tindakan rasuah, pemerintah kurang transparan dan akuntabel ketika menggunakan uang rakyat. APH mestinya lebih aktif mengawasi dan mengawal seluruh kegiatan atau program yang menggunakan uang rakyat.

“Hal sama juga berlaku pada DPRD. Mereka punya fungsi pengawasan. Mestinya bukan progres program atau kegiatan pemerintah saja yang ‘dipelototi’,” tegasnya lagi.

ICW
Infograsi korupsi kepala daerah (ICW/istimewa)

Rekomendasi bagi APH di Kaltim

Sebagai rekomendasi, Ibrahim meminta agar APH baik itu kepolisian, kejaksaan maupun KPK saat melakukan kerja-kerja penyidikan kasus korupsi harus berprinsip transparansi dan mengedepankan akuntabilitas. Dengan demikian penanganan perkara secara berkala dalam kanal informasi mudah diakses masyarakat.

“Hal tersebut sejalan dengan mandat dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” tegasnya.

Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Fakultas Hukum (FH), Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menuturkan hal senada. APH di Kaltim harus menyiapkan akses informasi bagi publik untuk melaporkan perkembangan penangnan kasus. Dengan begitu, selain lebih transparan, masyarakat bisa ikut mengawasi. Selain itu, alokasi anggaran yang diterima APH harus sejalan dengan komitmen pemberantasan korupsi.

“Jangan sampai anggaran yang diterima besar tapi penindakannya minim,” sebut Orin.

Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW, Tibiko Zabar Pradano mengatakan poin penilaian yang diberikan rendah dengan nilai D dari total 20 kasus yang mengkonfirmasi potret pemberantasan korupsi di Kaltim sepanjang 2022.

“Di saat sama Indeks Persepsi Korupsi 2022 juga merosot ke skor 34, ini jadi terendah pascareformasi,” ungkap Tibiko.

Dia menjelaskan pemberian nilai D atau buruk ke APH di Kaltim bukan tanpa dasar. Semua itu dinilai berdasarkan kinerja dalam penindakan kasus korupsi. Dia juga menyoroti soal tindak pidana pencucian uang berdasarkan hasil pantauan tidak ditemukan. Padahal, pencucian uang merupakan upaya lanjutan yang biasanya dilakukan.

“Selain itu kami juga menyoroti potensi korupsi sumber daya alam di Kaltim. Karena berdasarkan hasil temuan, rasanya tidak banyak terungkap dari kasus korupsi SDA,” sebutnya.

Catatan dari Pemantauan Korupsi oleh ICW

Sementara itu, informasi dihimpun media ini dari catatan teranyar ICW, temuan umum mengenai penindakan tipikor pada 2022 mencapai 597 kasus, dengan 1,396 tersangka. Kasus korupsi mencakup kasus suap dengan besaran Rp693 miliar, pungutan liar Rp11,9 miliar dan pencucian uang Rp955 miliar. ICW juga menyoroti kinerja masing-masing aparat penegak hukum dalam menindak kasus korupsi dengan total kerugian negara sebesar Rp42,747 triliun.

Masih dari data hasil pemantauan ICW, dari tiga aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung menjadi institusi yang menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian terbesar, yaitu mencapai Rp39 triliun lebih dari 405 kasus dengan tersangka 909 orang.

KPK berhasil menangani 36 kasus dengan 150 orang tersangka dan kerugian negara mencapai Rp2,2 triliun. Kepolisian berhasil menangani kasus korupsi sebanyak 138 kasus dengan 307 orang tersangka dan kerugian negara mencapai Rp1,3 triliun. (*)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.