Samarinda, intuisi.co – Gelombang penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law turut terjadi di Samarinda. Puluhan mahasiswa dan buruh berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada.
“Kami bersama para buruh ingin pemerintah mencabut udang-undang yang sudah disahkan,” ujar anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Samarinda Alfons, kepada awak media, Selasa siang, 6 Oktober 2020.
Sebagaimana arus penolakan di Indonesia, puncak dari unjuk rasa penolakan bakal digelar pada 8 Oktober 2020 mendatang. Setidaknya ada empat poin dalam sorotan.
Pertama, kontrak seumur hidup melalui Pasal 61. Dalam beleid itu diatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Padahal sebelumnya tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal 61A juga ditambahkan, ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir karena sudah jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
“Aturan ini merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan. Jangka waktu kontrak berada di tangan pengusaha. Ujungnya para pekerja hanya dikontrak seumur hidup,” tegasnya.
Kedua, UU Cipta Kerja Omnibus Law menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. Pada Pasal 79 ayat 2, poin b disebutkan istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Pasal 79 ayat 5 juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama.
Sorotan ketiga adalah sistem upah. Pasal 88 B UU Cipta Kerja mengatur mengenai standar pengupahan berdasarkan waktu. Skema ini bakal jadi dasar perusahaan memberlakukan perhitungan upah per jam. Dan terakhir, ada risiko pekerja rentan dengan pemutusan hubungan kerja sama. Pasal 56 ayat 3 mengatur mengenai jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan berdasarkan kesepakatan para pihak.
UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengenai aturan pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dalam kontrak kerja. Dengan kata lain, ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu alias PKWT dapat berakhir saat pekerjaan selesai. Ini juga bikin pekerja rentan PHK. Perusahaan dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir.
“Dari poin-poin ini sudah terlihat, buruh/pekerja bakal mengalami kerugian yang teramat sangat,” tuturnya.
Selain unjuk rasa di depan kantor gubernur, kelompok mahasiswa ini juga segera menggelar aksi di depan DPRD Kaltim. Saat ini masih menyusun eskalasi gerakan.
Contoh Nyata dari Kubar
Dalam kesempatan tersebut, Alfons juga mengungkapkan contoh nyata dari buruknya perlakuan perusahaan terhadap para pekerja. Puluhan pekerja perusahaan kelapa sawit di Kutai Barat (Kubar) diusir dari barak. Dituding membawa virus corona sementara hasil rapid test menyatakan para buruh tersebut tak reaktif.
Usut punya usut, tindakan tersebut diambil perusahaan karena sebagian pekerjanya ikut demo penolakan RUU Cipta Kerja Omnibus Law pada 25 Agustus 2020 lalu. “Ini ironi sekali, bahkan dalam rombongan pekerja ini ada yang sudah berkeluarga dan memiliki anak usia enam bulan,” sesalnya. (*)