Samarinda, intuisi.co – Sekelompok pemuda di Samarinda mengekspresikan keresahan akan turunnya minat baca dengan mendirikan Perpustakaan Jalanan Samarinda. Ide yang tercetus dari pembicaraan mendalam di warung kopi. Asupan kafein menjelma jadi ide brilian yang diharapkan memberi manfaat pada masa mendatang.
“Perpustakaan Jalanan Samarinda. Berdiri pertengahan September 2016 lalu,” ujar Hendry Beneva salah satu pencetus, kepada intuisi.co, Jumat pagi, 23 Oktober 2020.
Disebutkan Hendry, inisiator Perpustakaan Jalanan Samarinda ialah Dedy PZ. Misinya mendongkrak minat baca lewat buku mengingat literasi Indonesia dinilai rendah dunia. Seperti penelitian pada 2011 oleh UNESCO yang merilis hasil survei budaya membaca terhadap penduduk di negara-negara ASEAN. Budaya membaca di Indonesia berada di peringkat paling rendah dengan nilai 0,001. Artinya, dari sekitar seribu penduduk Indonesia, hanya satu yang memiliki budaya membaca tinggi.
Pada 2016, minat baca rendah juga menarik perhatian salah satu kampus dari Paman Sam, Central Connecticut State University untuk melakukan survei di 61 negara. Hasilnya Indonesia di peringkat 60. Penyebab rendahnya minat baca karena minimnya akses terhadap sumber bacaan alias buku. “Keresahan inilah yang juga membuat kami membentuk komunitas ini. Ingin membawa perpustakaan di tengah masyarakat,” sebutnya.
Komunitas ini didirikan dengan tulus. Tak ada penyokong dana ketika mula-mula didirikan. Semua kawan yang punya minat sama diundang menyumbangkan buku. Inilah yang menjadi fondasi komunitas tersebut, yakni kebersamaan.
Sesuai namanya, Perpustakaan Jalanan hadir di pinggir jalan. Awalnya di Jalan Muhammad Yamin. Persis di depan salah satu pusat perbelanjaan di Samarinda. Namun karena takut digerebek Satpol PP, komunitas ini pindah ke Taman Cerdas di Jalan Mayor Jenderal Siswondo Parman dan berhasil menyedot banyak warga. Lebih-lebih akhir pekan.
“Makanya kami memilih buka Sabtu dan Minggu. Harapan kami tentu menyebarkan kebiasaan membaca buku di kalangan generasi muda. Tujuan akhirnya tentu minat baca di Samarinda semakin meningkat,” terangnya.
Hendry bersyukur kehadiran komunitasnya mulai menyedot animo masyarakar. Terutama anak-anak yang notabene belum bisa membaca. Meski baru sebatas tertarik karena gambar-gambarnya, setidaknya cara ini berguna mengenalkan anak dengan buku sejak dini. Anak-anak tersebut juga mendapat edukasi lewat kegiatan storytelling di lapak Perpustakaan Jalanan Samarinda.
Dari gerakan dan misinya, mudah untuk menilai niat mulia dari kelompok ini. Namun sayang, pemerintah tak sepenuhnya mendukung kampanye Hendry dan kawan-kawan. Bahkan dalam prosesnya kerap terkandala administrasi. Berpengaruh terhadap oleksi buku yang terbatas, terutama untuk anak-anak. Keadaan ini memberatkan niat meningkatkan baca buku yang saat ini ditekan perkembangan zaman. Tergerus kemajuan teknologi yang semua serba digital. Buku fisik tak lagi dilirik, berganti bacaan elektronik.
Meski demikian, Perpustakaan Jalanan Samarinda bakal terus ada. Dengan visi dan misi yang tak berubah. Ingin minat baca meningkat, terlebih anak-anak. “Semoga kami selalu ada menemani anak-anak Samarinda untuk meningkatkan minat baca mereka,” pungkasnya. (*)