Balikpapan, intuisi.co-Penggemar animasi How to Train Your Dragon bakal dibikin bahagia dengan versi live action. Ya, sudah menjadi kebiasaan Hollywood dalam satu dekade terakhir: menggali ulang tambang emas animasi dan menjadikannya tontonan live-action, dengan harapan menggandakan keuntungan dan memperluas penonton.
Maka ketika Universal Pictures mengumumkan bahwa How to Train Your Dragon akan hadir dalam versi manusia sungguhan, keraguan pun muncul: apakah kisah klasik ini masih menyisakan bara, atau hanya bara nostalgia?
Disutradarai kembali oleh Dean DeBlois—yang juga menjadi arsitek trilogi animasinya—versi live-action ini memilih untuk tidak jauh menyimpang dari jalur aslinya. Ceritanya tetap tentang Hiccup, remaja Viking canggung yang bersahabat dengan naga paling ditakuti di tanah Berk, Night Fury. Di antara reruntuhan tradisi dan ketakutan kolektif, keduanya menemukan cara baru hidup berdampingan.
Dalam versi ini, Hiccup diperankan oleh Mason Thames, aktor muda yang mulai mencuri perhatian lewat The Black Phone (2022). Penampilannya bersih, tidak berlebihan, dan justru itu menjadi kekuatan. Tidak ada histeria yang tak perlu; Hiccup-nya adalah seorang pengamat dunia yang keliru, bukan pemberontak yang keras kepala.
Di sisi lain, Nico Parker sebagai Astrid tampil solid meski tidak diberi banyak ruang narasi. Gerard Butler kembali sebagai Stoick the Vast, membawa kontinuitas yang menyenangkan dan suara berat yang masih mengintimidasi.
Sorotan utama film How to Train Your Dragon ini, tentu saja, ada pada Toothless. Dengan bantuan teknologi efek visual dari Framestore, naga itu hadir lebih nyata dari sebelumnya: gesit, penuh ekspresi, dan tetap memikat. Dalam diamnya, ia masih menjadi simbol paling kuat dari film ini—makhluk yang menjadi jembatan antara ketakutan dan kasih sayang.
Namun ada problem mendasar yang mengintai setiap adaptasi How to Train Your Dragon live-action dari film animasi: kehilangan imajinasi. Dalam versi animasinya, dunia Berk adalah tempat yang melayang antara mitos dan metafora; ia lentur, lucu, dan puitis. Dalam versi live-action, dunia itu cenderung berat.
Alam Norwegia yang memukau memang membingkai How to Train Your Dragon dengan latar visual yang megah, tapi kehilangan kelenturan dunia fantasi. Adegan terbang—yang dulu menyihir mata dan hati—kini terasa lebih dikalkulasi, lebih “realistis”, tapi justru kurang magis.
John Powell kembali menggubah musik latar dan menjadi penyelamat atmosfer. Ia masih tahu kapan musik harus membelai dan kapan harus menggelegar. Motif tema lama dihadirkan kembali dengan sedikit perubahan—lebih matang, lebih sendu. Dalam satu adegan ketika Hiccup menyentuh kepala Toothless untuk pertama kali, alunan musik itu hadir seperti kenangan yang tak hilang.
Cerita yang ditulis ulang ini juga tidak mencoba terlalu banyak menambah atau mengubah substansi. Ini bisa jadi keuntungan, tapi juga kekurangan. Bagi penonton baru, film ini akan terasa kuat dan emosional. Tapi bagi penonton lama, tidak ada kejutan besar yang ditawarkan. Bahkan, bisa dibilang film ini bermain aman—terlalu aman.

Live Action How to Train Your Dragon Jadi Refleksi
Di sisi lain, How to Train Your Dragon versi live-action tetap mengingatkan kita bahwa film anak-anak terbaik adalah film yang tidak merendahkan emosi anak-anak. Tema tentang keberanian, perbedaan, dan kepercayaan masih berdiri kokoh. Di dunia yang makin bising dengan polarisasi dan prasangka, kisah seperti ini tetap punya tempat.
Versi animasi How to Train Your Dragon dikenal karena satu adegan yang menjadi lambang ikonik filmnya: penerbangan pertama Hiccup dan Toothless, diiringi musik “Test Drive” yang meroket ke langit bersama mereka. Adegan itu, dalam versi live-action, hadir kembali dengan koreografi yang hampir sama.
Bedanya, kini gravitasi terasa lebih nyata. Visualnya lebih mendetail—dari sayap yang bergetar di antara kabut laut utara hingga cahaya senja yang membias di mata Toothless. Namun justru karena realisme itu, momen magisnya sedikit menurun. Penonton lebih sibuk kagum pada teknis daripada larut secara emosional.
Satu lagi adegan yang berhasil memancing decak kagum adalah ketika Berk diserang naga raksasa, Red Death. Skala kehancurannya kini lebih besar, lebih gelap, dan lebih membumi. Tidak lagi terasa seperti fantasi, tapi seperti dokumenter perang dengan naga sebagai pesawat tempur.
Hiccup dan Toothless bertempur di tengah badai api dan reruntuhan—adegan yang dieksekusi dengan ketegangan tinggi, meski tak sepenuhnya bisa menandingi rasa haru dari versi animasi saat Hiccup kehilangan kakinya demi menyelamatkan sahabatnya.
Dalam momen itu, kekuatan naratif film ini tetap terasa. Hubungan antara manusia dan makhluk, keberanian untuk mempercayai yang asing, dan pengorbanan personal tampil dengan presisi emosional. Ia tidak menjual efek, tapi rasa.
Akan sesukses versi animasinya? Secara artistik, mungkin tidak. Versi animasi punya kebebasan visual yang tak bisa ditandingi. Namun dalam hal popularitas, film ini hampir pasti akan diterima luas, terutama oleh keluarga dan generasi baru yang belum mengenal Toothless dalam bentuk dua dimensi.
Di akhir film How to Train Your Dragon, saat Hiccup dan Toothless kembali terbang bersama, ada satu detik keheningan sebelum musik mengalun dan kamera melayang tinggi. Detik itu mungkin tidak seajaib versi animasi, tapi tetap terasa hangat.
Mungkin karena kita tahu, di balik semua kalkulasi industri dan strategi studio, ada juga secuil ketulusan yang bertahan. Kesimpulan dari kami, film ini masih layak tonton kendati hanya mendapat 3,5 dari 5 bintang. Bila tak lepas dari rencana, live-action How to Train Your Dragon dijadwalkan tayang di Indonesia pada 13 Juni 2025.(*)