HeadlineSorotan

Rumah Tiga Abad di Samarinda, Cagar Budaya yang Tak Terjaga

Rumah tua ini diklaim lebih tua dari Masjid Shiratal Mustaqiem yang dibangun pada 1881 silam. Kini berstatus cagar budaya namun justru ditelantarkan.

Samarinda, intuisi.co-Jika Samarinda masih dianggap minim objek wisata, kategori bangunan berikut mungkin bisa menambah daya tarik. Keberadaan rumah tua di Ibu Kota Kaltim tersisa hitungan jari. Di antaranya telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Salah satu rumah tua yang masih bertahan terdapat di Jalan Pangeran Bendahara, Samarinda Seberang. Dari pusat kota, lokasinya bisa ditempuh dalam 25 menit. Tapi itu bila tak macet.

“Usia rumah ini sudah ratusan tahun,” sebut Mansyur Mappe, pengelola rumah adat atau rumah tua tersebut, kepada intuisi.co, Jumat sore, 18 Juni 2021.

Mansyur adalah suami dari turunan ketujuh dan menantu dari keturunan keenam pemilik rumah tersebut. Sehari-hari, ia merawat rumah tersebut bersama dua kawannnya. Kini, rumah tua itu berada dalam naungan Dinas Kebudaayaan (Disbud) Samarinda.

Rumah tersebut terbuat dari kayu ulin yang juga berdiri sebagai tiang pasak. Jumlahnya ada 43 tiang sebagai tonggak utama. Empat lainnya adalah tiang pembantu. Sebagian besar berukuran 30×30 sentimeter.

“Pernah ada peneliti dari UGM (Universitas Gadjah Mada) menelisik usia tiang pertama. Letaknya di tengah. Paling besar di antara yang lain. Hasilnya diketahui, umur bangunan ini lebih 300 tahun,” sebutnya.

Dengan estimasi tersebut, rumah tua itu bisa dikatakan segenerasi dengan Masjid Shiratal Mustaqiem yang dibangun pada 1881 silam. Namun Mansyur meyakini rumah besannya itu lebih dulu dibangun dari masjid tertua di Samarinda tersebut.

Menurut penuturan para ahli waris terdahulu, griya tua tersebut dibangun saudagar kaya bernama Pua Toa dan istrinya Pua Choa. Didirikan di atas tanah seluas 1.089 meter persegi dengan luas bangunan 558,75 meter persegi.

Pua Toa berasal dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Diperkirakan tiba di Samarinda pada abad ke-19. Konon, Pua Toa telah berniaga sampai Malaysia dan Singapura dengan perahu layar. Saat membangun rumah tersebut, usia Pua Toa dan istrinya diperkirakan kisaran 40 tahun.

“Dulu rumah ini dijadikan kediaman. Sekarang cagar budaya,” sebutnya.

Cagar Budaya yang Terlantar

Seiring waktu, rumah tersebut sudah mengalami pemugaran. Namun dipastikan tiang pasaknya masih asli.

Selama ini, keberadaannya kerap jadi daya tarik wisatawan lokal maupun luar daerah. Tak sedikit pengunjung dari luar negeri seperti Jerman, Jepang, dan Amerika yang berkunjung. Namun yang paling sering adalah wisatawan dari Negeri Jiran Malaysia.

Setahun terakhir, terutama sejak pandemi covid-19 merebak, tingkat kunjungan turun drastis. Keberadaannya rumah itu pun jadi tak terawat. Meski berstatus cagar budaya, tak terdapat penjagaan di bangunan tua itu. Lampu taman pun sudah rusak. Bola lampu hilang dicuri.

Mansyur dan dua kawan lainnya inisiatif sukarela menjaga. Besar harapan pemerintah memberi perhatian keadaan griya tua itu.

“Yang kami pikirkan itu listriknya. Kan harus ada, malu juga kalau ada yang berkunjung dan melihat isi rumah, tidak ada lampunya,” pungkasnya. (*)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by intuisi.co (@intuisimedia)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.