
Samarinda, intuisi.co – Indonesia sebagai negara dengan agama mayoritas Islam, Kaltim juga memilki sejarah panjang dengan agama samawi. Islam pertama kali masuk Kalimantan pada 1575. Dengan penduduk awal berpindah menjadi umat Muslim adalah rakyat di bekas pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara.
“Dulu lokasinya bernama Jaitan Layar dan Tepian Batu. Kini Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, terletak di hilir Sungai Mahakam, arah selatan Kota Samarinda,” sebut sejarawan asal Samarinda, Muhammad Sarip, kepada intuisi.co, Jumat sore, 16 April 2021.
Kala itu, sekitar tiga per empat abad ke-16, seorang ulama dari Minangkabau, tiba di Kutai Lama. Sosok tersebut populer dengan gelar Tuan Tunggang Parangan. Gelar tersebut diberikan kerena ia menumpangi perahu dengan ujung lancip seperti moncong ikan parangan.
Tuan Tunggang Parangan mendakwahkan ajaran Islam kepada Raja Makota yang masih beragama Hindu corak lokal. Kisah tersebut tertuang dalam kitab klasik Salasilah Kutai beraksara Arab Melayu. Yang juga menceritakan ketika Raja Kutai mitologis adu kesaktian dengan Tuang Tunggag Parangan.
“Adu sakti dimenangkan Tunggang Parangan dan Raja Makota pun menerima ajaran Islam,” terang alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemdikbud tersebut.
Menurut Sarip, secara harfiah, pola cerita tersebut ni serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat, atau keajaiban. Meski demikian, cerita tekstual tersebut dapat diinterpretasikan sebagai cara dakwah yang terjadi melalui dialog secara egaliter.
Adu kesaktian tersebut juga bermakna perdebatan nalar atau dialektika yang akhirnya dimenangkan Tunggang Parangan. Sehingga, Raja Makota sukarela memeluk Islam. Setelah momen tersebut, Raja Makota sempat meminta masa penangguhan sekian hari untuk menghabiskan daging babi yang tersisa.
Rumah Ibadah Umat Islam Dibangun
Setelahnya, langgar atau surai dibangun kali pertama di Kutai Lama. Dan setelah daging babi habis dikonsumsi, Tunggang Parangan memandu Raja Makota mengikrarkan kalimat syahadat sebagai tanda resminya masuk Islam.
“Raja pun diajarkan tata cara salat. Tunggang Parangan juga menggelar kajian agama di langgar, mengajarkan Rukun Islam, Rukun Iman, dan bacaan doa-doa serta dzikir. Segenap keluarga dan penggawa istana serta rakyat Kutai Kartanegara turut menjadi muslim,” kisah Sarip.
Perjalanan Tunggang Parangan berlanjut. Islamisasi dilakukan ke perkampungan di Samarinda hingga pesisir utara di Kalimantan bagian timur. Salasilah Kutai menyebut nama Loa Bakung sebagai satu dari negeri atau kampung yang diislamisasi.
Kampung tersebut merupakan ujung bagian barat Samarinda masa kini. Pada masa awal tersebut, toponimi Samarinda belum dikenal. Hal itu Kota Tepian masa dulu belum menjadi kota dalam konteks pusat perdagangan. Samarinda baru menjadi kota ketika pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara dipindahkan ke Jembayan. Samarinda pun menjelma menjadi kota pelabuhan bagi Kerajaan Kutai.
“Agama Islam makin semarak mewarnai kehidupan masyarakat Samarinda mulai pengujung abad ke-19,” paparnya.
Berdirinya Masjid Shiratal Mustaqim
Setelah dimasuki Agama Islam, Kesultanan Kutai mengangkat seorang ulama dari barat Kalimantan keturunan Arab bernama Syarif Abdurachman bin Segaf sebagai kepala polisi di Samarinda. Ia diberi gelar Pangeran Bendahara. Memiliki tugas utama mengembalikan keamanan dan ketertiban di Samarinda.
Tokoh tersebut kemudian menggagas pembangunan Masjid Shiratal Mustaqim di Samarinda Seberang. Fasilitas ibadah tersebut mulai digunakan pada 1891.
Beriringan dengan itu, orang-orang Banjar yang bermukim di Samarinda sisi utara, selain menempati pusat perekonomian di kawasan pasar pagi, juga mengembangkan dakwah Islam. Kaum saudagar tersebut mendirikan organisasi Syarikat Islam Cabang Samarinda pada 1913. Lembaga pendidikan Islam tradisional juga diadakan dalam wujud Madrasah Musyawaratut Thalibin.
Masjid Jami’ yang relatif lebih besar daripada Masjid Shiratal Mustaqim selesai dibangun 1925 di bantaran Sungai Mahakam kawasan pasar pagi. Pada 1974, Masjid Raya Darussalam diresmikan sebagai pengganti Masjid Jami’.
Sejumlah tokoh di Samarinda ditunjuk sebagai kadi alias penghulu Masjid Jami’ atau Masjid Raya. Di antaranya KH Zainal gelar Mas Temenggung, KH Khalid, dan KH Abdullah Marisi.
“Mereka dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam dakwah Islam di ibu kota Kalimantan Timur. Ketiganya dimakamkan di area sebelah utara Masjid Raya dan dijadikan nama jalan di Kota Samarinda,” pungkasnya. (*)
View this post on Instagram