Samarinda, intuisi.co–Reputasi kendaraan listrik menanjak naik. Alasan utamanya, tak lain karena ramah lingkungan serta mampu meminimalisasi polusi kendaraan energi fosil.
Terlebih kiwari ini harga bahan bakar kian meroket. Kehadiran mobil atau motor listrik pun makin dinanti, lantaran bisa menjadi tunggangan alternatif.
Saking seriusnya 39 negara pun berencana melarang penjualan kendaraan BBM. Mulai dari Amerika Serikat (AS), Prancis, Norwegia, Inggris hingga India pada 2040 mendatang.
Niat tersebut sudah diikrarkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB atau COP-26 pada November tahun lalu. Tak hanya negara saja, 14 produsen mobil juga berjanji menghentikan penjualan kendaraan bertenaga bensin pada dua dekade mendatang.
Sebagai langkah konkret menyambut antusiasme tersebut, beberapa negara sudah membangun infrastruktur pengisian daya mobil dengan tenaga elektrik. Dan Indonesia juga enggan ketinggalan.
Dari catatan PLN, sudah ada 346 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) yang tersebar di 295 lokasi di Indonesia. Sebanyak 150 unit dimiliki oleh perseroan di 117 lokasi atau 43 persen dari total yang sudah dibangun.
Sebab pada 2030 mendatang korporasi setrum nasional ini harus membangun 24.720 stasiun pengisian daya demi mendukung 254.181 kendaraan listrik di Indonesia.
Regulasi Indonesia Mendukung
Sejauh ini regulasi dari negara memang membuka ruang bagi mobil atau listrik. Aturan pertama yang diundangkan ialah Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Dari situ kemudian lahir turunannya seperti Peraturan Pemerintah 73/2019 yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dan per Oktober 2021 pengenaan pajak kendaraan sudah bergantung dengan emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan.
Saat ini harga mobil listrik hampir dua kali lipat dari yang konvensional, namun keberadaannya tetap diinginkan seiring waktu. Studi Bloomberg New Energy Finance (BNEF) menyebut nilai mobil listrik bakal murah 10-30 persen dibanding harga jualnya pada akhir dekade ini.
Meski membawa misi hijau, apakah kendaraan elektrik ini benar-benar ramah lingkungan untuk Indonesia?
Dilansir dari catatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat sisi lain dari program transportasi hijau untuk kendaraan listrik. Misalnya dalam urusan percepatan implementasi kebijakan.
Sebagai pengingat, lebih dari dari 60 persen pembangkit listrik di Indonesia berbasis batu bara atau PLTU. Beberapa di antaranya ada di Kaltim. Dan aktivitasnya masih menyumbang emisi CO2 sebanyak 27 persen. Laporan Climate Transparency, emisi di sektor ketenagalistrikan Indonesia terus menunjukkan peningkatan.
Dengan kata lain, ketika Indonesia menggenjot penggunaan kendaraan ramah lingkungan ini, maka prosesnya berbanding lurus dengan konsumsi listrik yang terus menanjak naik. Demikian pula emisi karbondioksida.
“Tentunya hal ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah melalui Net Zero Emission Target (NZE) pada 2050,” ujar Nugroho Adi Sasongko, peneliti BRIN.
Dampak Negatif dari Kendaraan Listrik
Nugroho melanjutkan, setidaknya ada empat dampak negatif dari industrialisasi kendaraan listrik. Pertama bahan berbahaya dan beracun (B3) yang digunakan. Kedua konsumsi energi masif sepanjang proses produksi, ketiga jejak air (water footprint) yang luar biasa besar dan terakhir kerusakan ekosistem.
“Bila tak dikelola baik dalam proses pengolahan material-material ini, potensinya merusak lingkungan dan kesehatan manusia,” paparnya.
Setali tiga uang, Kasubdit Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ratna Kartikasari membeberkan hal senada. Ada masalah lingkungan yang bakal dihadapi bila hendak menggunakan kendaraan listrik.
Dimulai dari peningkatan emisi dari konsumsi setrum PLTU, kemudian proses pembuatan baterai kendaraan listrik. Karena perlu diingat, bahan baku baterai adalah nikel. Dan itu harus ditambang.
“Saat baterai nantinya didaur ulang sekalipun, masih berpotensi menghasilkan air limbah dan emisi,” ujar Ratna seperti dilansir dari betahita.
Kata dia, baterai lithium terdiri dari casing, anoda, katoda, separator, elektrolit dan komponen beracun lainnya. Pembuangan limbah baterai yang tidak tepat dapat membawa efek buruk bagi kesehatan hewan dan manusia.
“Jangan sampai kita hanya fokus menurunkan emisi yang ada di perkotaan, tapi di sektor-sektor lain muncul masalah baru,” pungkasnya. (*)