Samarinda, intuisi.co-Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) mengadakan pelatihan jurnalistik bagi sejumlah warga di Samarinda pada Jumat (28/2/2025) lalu di T-co Coffee, Jalan Banggeris. Pelatihan ini dipandu oleh Yustinus Sapto Hardjanto, seorang jurnalis warga senior di Kaltim. Dia juga merupakan representasi PPMN di Benua Etam.
PPMN tak hanya mendukung pengembangan media, tapi juga pertumbuhan komunitas jurnalis warga di tiga provinsi, yakni Sumatra Selatan, Banten, dan Kalimantan Timur, untuk mengangkat cerita dari akar rumput yang sering luput dari perhatian media besar.
Dengan tema Untuk Transisi Energi Berkeadilan, kegiatan tersebut menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya, seperti Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Kaltim), Mareta Sari serta Abdurrahman Amin, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim.
Peserta pelatihan berasal dari berbagai latar belakang, seperti komunitas muda, petani, masyarakat adat, perempuan, hingga buruh. Sebanyak 20 peserta dilatih untuk menjadi medium edukasi masyarakat terkait isu transisi energi, keadilan iklim, dan pelestarian lingkungan.
Mareta Sari menjelaskan bahwa energi dan transportasi adalah sektor dengan kontribusi terbesar terhadap emisi karbon, terutama karena dominasi energi fosil seperti batu bara dan migas. “Hal tersebut juga berdampak pada ekonomi yang dibangun, karena perekonomian saat ini sangat rentan,” katanya.
Ia menyoroti bahwa pemerintah perlu memprioritaskan jenis ekonomi yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, bukan hanya yang dianggap penting oleh pemerintah. Selain itu, konversi hutan untuk kepentingan non-kehutanan turut memperparah perubahan iklim karena menurunkan kapasitas alam menyerap karbon.
“Dunia mencatat rekor kenaikan suhu pada 2024. Untuk pertama kalinya, suhu melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius, memicu dampak serius seperti kebakaran hutan, kekeringan, dan naiknya permukaan air laut,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa mengurangi ketergantungan pada energi fosil adalah cara paling logis untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Program ini menurutnya, menjadi kunci untuk menciptakan energi bersih dan berkelanjutan. Namun, ia mengingatkan bahwa agenda global tersebut harus mengutamakan keadilan sosial.
“Transisi energi bisa dimanfaatkan untuk membangun era baru kemanusiaan, bukan sekadar mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial,” tambahnya.
Dia menerangkan, Indonesia bersama Afrika Selatan dan Vietnam, menjadi model dalam proses transisi energi global. Oleh karena itu, keadilan sosial harus menjadi elemen penting dalam kebijakan transisi energi, agar tidak mengorbankan masyarakat lokal. Namun, diskursus transisi energi hingga kini masih elitis dan industrial.
“Banyak masyarakat yang justru FOMO pada teknologi baru, seperti mobil listrik, tanpa menyadari sumber listriknya masih berbahan bakar fosil,” jelasnya.
Yustinus Sapto Hardjanto menegaskan pentingnya peran media komunitas dan jurnalisme warga dalam menyuarakan isu transisi energi, terutama untuk masyarakat rentan yang sering terabaikan oleh media arus utama.
“Jurnalisme berbasis komunitas lokal punya posisi strategis dalam membangun pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap perubahan iklim serta transisi energi yang inklusif,” pungkas Yustinus. (*)