Jakarta, intuisi.co— Sejumlah kisah pilu dari balik pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) mengemuka dalam peluncuran buku Kumpulan Karya Jurnalistik: Tangis dari Tepi Proyek Strategis Nasional yang digelar di Swiss-Belinn Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Rabu (28/5/2025). Buku ini merupakan hasil liputan investigatif kolaboratif oleh 14 jurnalis dari Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.
Disusun dalam kerja bersama sejumlah media, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, WALHI, LBH, dan Tempo Witness, buku ini menyajikan berbagai temuan penting dari balik gegap gempita proyek-proyek raksasa negara.
Salah satu PSN yang masuk sorotan datang dari Maluku Utara. Di provinsi penghasil tambang ini, tanah warga direbut secara paksa demi ekspansi proyek PSN. Padahal, lahan tersebut merupakan sumber utama penghidupan masyarakat setempat.
Pemerintah kabupaten justru menerbitkan Surat Keputusan Bupati yang menyokong pembelian lahan warga dengan harga murah. Warga yang menolak menjual tanahnya diintimidasi dan terancam kriminalisasi. Perusahaan juga tak pernah menunjukkan bukti legal atas kepemilikan lahan.
Di Kalimantan Timur, skema serupa terjadi. Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang masuk PSN ternyata turut menyeret konflik agraria. Warga yang telah tinggal turun-temurun di wilayah konsesi dituduh menyerobot tanah.
Ironisnya, salah satu perusahaan pemegang konsesi di Desa Telemow, Kabupaten Penajam Paser Utara, disebut-sebut memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Prabowo Subianto. “Rakyat dikriminalisasi dengan tuduhan menyerobot tanah,” ujar salah satu narasumber dalam peluncuran buku.
Sementara di Jawa Barat, industri energi terbarukan tak luput dari sorotan. Salah satu kasus yang diangkat menyingkap selisih ratusan miliar rupiah dalam alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) panas bumi antara catatan perusahaan dan pemerintah daerah. Selisih itu ditanggapi ringan oleh pemerintah daerah sebagai “kesalahan pencatatan”, meski berpotensi mengarah pada korupsi.
PSN Memicu Ragam Konflik
Diky Anandya dari Auriga Nusantara menyoroti meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan. Sejak 2017, tekanan terhadap mereka yang mempertahankan tanah dan hutan terus meningkat. Mereka kerap dicap sebagai “penghambat pembangunan”. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2020–2023 terdapat 115 konflik agraria yang bersumber dari proyek PSN.
“Pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi cenderung mengabaikan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, yang justru menjadi masalah utama iklim investasi di Indonesia,” ujarnya. Ia menambahkan, World Economic Forum Competitiveness Report secara konsisten menempatkan korupsi sebagai penghambat utama investasi. Kesulitan IKN dalam menjaring investor adalah salah satu buktinya.
Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai PSN telah menghapus sumber pangan dan mata pencaharian masyarakat adat seperti hutan sagu, aren, penyadapan karet, dan kemenyan. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan Konvensi ILO No. 111 serta berbagai instrumen HAM nasional dan internasional.
“Penegakan hukum bersifat diskriminatif. Bila perusahaan melanggar aturan, tidak ada tindakan. Tapi jika masyarakat dituduh melanggar, aparat langsung turun tangan,” ujar Erasmus.
Yosep Suprayogi dari Tempo Witness menyambut baik buku ini, namun mengingatkan pentingnya memperdalam riset data. Menurutnya, karya jurnalistik investigatif harus mampu menelusuri lebih jauh penggunaan DBH oleh pemerintah daerah dan bentuk-bentuk fasilitas yang dihasilkan dari dana tersebut.
Buku ini, lebih dari sekadar kumpulan liputan. Ia adalah pengingat bahwa pembangunan tak seharusnya hanya bicara tentang infrastruktur dan angka, melainkan tentang keadilan, keberlanjutan, dan manusia. Moderator diskusi, Musdalifah dari AJI Indonesia, menyimpulkan bahwa kolaborasi antar elemen sipil menjadi mutlak.
“Komunitas terdampak, organisasi masyarakat sipil, lembaga bantuan hukum, hingga media harus saling mendukung,” pungkasnya. (*)