HeadlineKutai KartanegaraPolitik

Terhitung Satu Periode, Edi Damansyah Bisa Maju di Pilkada Kukar 2024

Edi Damansyah memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon Bupati Kukar 2024-2029, terlepas dari putusan MK nomor 02/PUU-XXI/2023.

Tenggarong, intuisi.co—Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini merilis putusan bernomor 02/PUU-XXI/2023 yang menentukan aturan masa jabatan dalam Undang-Undang Pilkada konstitusional. Putusan ini menimbulkan berbagai reaksi dan persepsi dari berbagai pihak, termasuk kaitannya dengan masa jabatan Bupati Kukar Edi Damansyah.

Bupati Kukar Edi Damansyah di-framing seolah sudah menjabat dua periode. Sehingga, tidak lagi bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Kukar pada Pilkada serentak 2024 mendatang. Padahal, uraian penjelasan putusan tersebut tidak masuk dalam pembahasan periodesasi Bupati Kukar Edi Damansyah.

Lalu pertanyaan mendasar atas putusan a quo adalah apakah Edi Damansyah memenuhi syarat mendaftar calon Bupati Kukar 2024—2029? Terutama, jika dikaitkan pertimbangan putusan a quo sebagaimana terdapat di halaman 49 dan 50.

Menilik kembali kasus serupa pada pemilihan kepada daerah di daerah lain, Hamin Pou sebagai Calon Bupati Bone Bolango 2010—2015, pernah menjalani masa jabatan pelaksana tugas bupati selama 2 tahun, 8 bulan, 9 hari. Kemudian menjalani masa jabatan bupati definitif selama 2 tahun, 3 bulan, 21 hari. Putusan a quo tidak menyatakan Hamim Pou tidak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026.

Sebelumnya ada juga Putusan MK 22/PUU-VII/2009 untuk permohonan uji materil yang diajukan salah satu pemohon bernama Nurdin Basirun. Nurdin Basirun adalah Bupati Karimun defenitif pada 25 April 2005—14 Maret 2006 setelah diangkat dari kedudukan wakil Bupati. Ia kemudian terpilih sebagai Bupati Karimun melalui hasil pemilihan langsung dan dilantik 15 Maret 2006.

Pasal 38 PP 6/2005 mengatakan bahwa hitungan masa jabatan dimulai sejak pelantikan tanpa membedakan apakah pejabat tersebut menjabat selama masa jabatan penuh atau tidak. Namun, Mahkamah memutuskan tidak adil jika seseorang hanya menjabat setengah masa jabatan, dihitung sama dengan yang menjabat lebih lama. Berdasarkan prinsip proporsionalitas dan rasa keadilan yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah menyatakan setengah masa jabatan atau lebih harus dihitung sebagai satu masa jabatan.

Dalam putusan MK bernomor 02/PUU-XXI/2023, terdapat pertimbangan hukum yang sangat penting untuk memperjelas makna kata “menjabat” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengacu pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yakni Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa “setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan”.

Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat bahwa kata “menjabat” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 tidak perlu dimaknai secara lain selain makna yang telah jelas dalam Putusan Mahkamah sebelumnya. Artinya, baik yang menjabat secara definitif maupun sebagai penjabat sementara, masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih harus dihitung sebagai satu periode masa jabatan.

Dalam konteks pembatasan masa jabatan, ada perbedaan yang jelas antara pejabat definitif dan PENJABAT SEMENTARA. Sementara istilah “pejabat sementara” merujuk pada kategori umum yang mencakup Plt, Plh, Penjabat, dan Penjabat Sementara, PENJABAT sementara sendiri merujuk pada orang yang mengisi jabatan kepala daerah sementara pemimpin definitif sedang cuti kampanye. Bukan hanya istilahnya saja, tapi definisi PENJABAT sementara juga jelas diatur oleh hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota. Menurut Permendagri, PENJABAT Sementara adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang diangkat oleh Menteri untuk mengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota sementara pemimpin definitif cuti kampanye untuk mengikuti pemilihan. Maka, jelaslah bahwa pembatasan masa jabatan yang diatur dalam undang-undang hanya berlaku bagi pejabat definitif dan PENJABAT SEMENTARA, sedangkan kategori pejabat sementara yang lain tidak termasuk dalam pembatasan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan yang di atas, Edi Damansyah masih bisa mendaftar sebagai calon Bupati Kukar 2024-2029. Batasan periode yang diberlakukan hanya berlaku bagi pejabat definitif dan penjabat sementara. Edi Damansyah sebelumnya hanya menjabat sebagai Pelaksana Tugas, bukan Penjabat Sementara, sehingga ia tidak terkena batasan tersebut.

Meski Edi Damansyah pernah menjabat sebagai Plt Bupati dan Bupati Definitif pada periode 2016 hingga 2021, putusan sebelumnya tidak mempertegas apakah masa jabatan Plt dan definitif dihitung sekaligus atau terpisah. Oleh karena itu, masa jabatannya sebagai Plt selama 10 bulan 3 hari dan sebagai Bupati Definitif selama 2 tahun 9 hari harus dihitung terpisah, dan keduanya belum mencapai batas dua tahun enam bulan.

Batasan waktu untuk menghitung masa jabatan dimulai pada hari pelantikan, bukan pada pengukuhan. Selain itu, tidak ada ketentuan yang mengatur pelantikan untuk pejabat Plt, sehingga tidak mungkin ada batasan waktu yang harus dihitung.

Dalam hal ini, Edi Damansyah sebenarnya tidak pernah dilantik sebagai Pelaksana Tugas Bupati Kukar pada periode 2016 hingga 2021, melainkan hanya melalui pengukuhan. Oleh karena itu, ia masih bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Kukar pada periode 2024 hingga 2029. (*)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.