Jakarta, intuisi.co – Indonesia berpeluang meraup manfaat ekonomi hingga USD 1,8 miliar atau sekitar Rp 29,35 triliun jika mampu mempercepat transisi energi terbarukan melalui reformasi kebijakan yang lebih ambisius dan responsif terhadap permintaan pasar global.
Temuan ini diungkap dalam laporan Asia Clean Energy Coalition (ACEC) berjudul Asia’s Clean Energy Breakthrough: Unlocking Corporate Procurement for Sustainable Growth. Laporan itu menyatakan bahwa permintaan korporasi global terhadap energi bersih di kawasan Asia-Pasifik terus meningkat, namun belum diimbangi oleh ketersediaan pasokan yang memadai—termasuk di Indonesia.
“Pergeseran mendasar sedang terjadi dalam geografi permintaan energi terbarukan oleh perusahaan swasta, dan Asia berada di tengah-tengah transisi ini,” kata Suji Kang, Direktur Program ACEC, dalam pernyataan tertulis, Rabu (4/6/2025) seperti dikutip dari detik.com.
Ia menambahkan, peningkatan bauran energi terbarukan di Indonesia hingga 29 persen pada 2030 dapat membuka peluang besar: menciptakan hampir 140 ribu lapangan kerja, meningkatkan total upah hingga USD 1,4 miliar, serta menurunkan emisi karbon hingga 25 juta ton CO₂.
Indonesia memiliki potensi transisi energi terbarukan yang besar, terutama dari surya dan angin. Namun, realisasi pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Saat ini, sekitar 81 persen pasokan listrik nasional masih ditopang oleh energi fosil, sementara proyek penambahan pembangkit energi terbarukan masih terbatas.
Padahal, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 menargetkan penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 21 GW. Menurut Kang, hambatan terbesar terletak pada arah kebijakan yang belum sejalan dengan kebutuhan pasar dan minimnya mekanisme pembelian langsung listrik energi bersih oleh sektor swasta.
“Indonesia perlu mencantumkan target energi terbarukan secara eksplisit dalam kebijakan nasional dan komitmen iklim,” ujarnya.
ACEC merekomendasikan sejumlah langkah konkret kepada pemerintah, antara lain: mempercepat skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan transmisi), membuka opsi Corporate Power Purchase Agreement (CPPA), memperjelas status kepemilikan Renewable Energy Certificate (REC) antara PLN dan Independent Power Producer (IPP).
Regulasi yang memberikan kepastian hukum dan iklim investasi yang ramah juga dinilai krusial agar transisi energi tidak berjalan stagnan. Potensi ekonomi akan sulit terealisasi jika pasar dibatasi oleh prosedur birokrasi dan monopoli penyediaan listrik.
Ollie Wilson, Kepala RE100 dan The Climate Group, menyatakan korporasi global siap berinvestasi untuk mendukung transisi energi di Asia, termasuk Indonesia. Namun menurutnya, kesiapan investor harus dijawab dengan dukungan kebijakan yang progresif.
“Untuk meningkatkan daya saing, keamanan energi, dan manfaat iklim dari energi terbarukan, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perusahaan untuk bisa membeli energi bersih,” kata Wilson.
Saat dunia bergerak menuju ekonomi hijau, Indonesia menghadapi pilihan strategis: menunda dan kehilangan momentum, atau bergerak cepat dan memanen keuntungan besar dari revolusi transisi energi bersih yang sedang berlangsung. (*)