Sorotan

Dari Solong ke Sangasanga, Pertempuran Bersejarah di Samarinda Melawan Belanda

Ada empat pertempuran bersejarah terjadi di Samarinda setelah Belanda kembali datang selepas kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Samarinda, intuisi.co – Selepas kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, situasi tak begitu saja tentram di Tanah Air. Bahkan upaya penjajahan kembali digencarkan Belanda. Hingga setidaknya terjadi empat pertempuran monumental di Samarinda.

Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, Samarinda termasuk yang harus berjuang melawan pendudukan Belanda. Empat pertempuran bersejarah selama masa mempertahankan kemerdekaan di Samarinda, tertuang dalam Buku Samarinda Tempo Doloe (2017) oleh Muhammad Sarip, sejarawan Samarinda.

Salah satunya adalah serangan Belanda di markas persembunyian pejuang di Kampung Pinang Air Putih. Tiga lainnya, sebulan sebelum perang di Kampung Pinang tersebut. Seperti adu senjata di Kampung Sambutan pada 6 Januari 1947.

Ketika itu pasukan Herman Runturambi berusaha bersembunyi dari kejaran pasukan Belanda dan membangun markas di kawasan tersebut. Tapi persembunyian tersebut berhasil tercium mata-mata NICA. Maka terpiculah pertempuran pertama di Samarinda. Antara pejuang melawan penjajah.

“Konflik senjata itu makan korban. Seorang patriot bernama Tarmidzi gugur dalam pertempuran,” cerita Muhammad Sarip kepada intuisi.co, Kamis pagi, 6 Agustus 2020.

Melanjutkan perlawanan, pasukan pejuang menyingkir ke Kampung Solong. Pada 7 Januari 1947, M Djunaid Sanusie, Ali Badrun Noor, dan Imberan, menemui Herman Runturambi di Solong mendiskusikan langkah lanjutan mengusir penjajah. Di tengah musyawarah, H Djamharie, seorang pedagang ikan di Pasar Pagi, membawa kabar jika pasukan Belanda bergerak menuju Solong.

Pertempuran kedua pun tak bisa dihindari. Kalah strategi dan senjata. Pimpinan pejuang menarik diri. Melintasi sawah lalu menyeberangi Sungai Lempake (anak Sungai Karang Mumus) dengan perahu.

Sepekan kemudian, malam hari, 15 Januari 1947, gerilyawan Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), menyerang kompleks perumahan penjabat Kesyahbandaran (Havenmeester) di Teluk Lerong. Saat itu orang-orang Belanda sedang pesta.

“Terjadi tembak-menembak antara pejuang dengan polisi dan tentara Belanda yang berjaga di sekitar tempat berpesta,” ujar Sarip.

Para pejuang kemudian mundur. Berpencar. Kekuatan tak berimbang. Pertempuran ketiga di Samarinda kembali dimenangkan musuh.

Sembilan hari kemudian, 24 Januari 1947, Herman Runturambi dan sebagian kekuatan berpindah ke  Sangasanga. Setelah tiga hari, meletuslah peristiwa Merah Putih. Meledak di kecamatan yang berjarak 30 kilometer dari Samarinda.

Kisah pertempuran kolosal itu tercatat dalam risalah eksponen Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bersama Jarahdam IX/Mulawarman. Berjudul Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-Sanga (1982).

Mengenang pejuang yang gagah berani mempertahankan kemerdekaan, Pemkot Samarinda pada 10 November 1991, meresmikan empat tugu palagan. Tersebar di Jalan Sultan Sulaiman, dekat Kantor Kecamatan Sambutan; Jalan Damanhuri II; Jalan RE Martadinata, dekat Taman Lampion Garden; dan Jalan Pangeran Suryanata, seberang Masjid Asy Syuhada. Tugu itu pula penanda pertempuran di wilayah tersebut.

“Sebagian besar keberadaannya tak terawat. Bahkan posisinya berada di tanah yang dikuasai perusahaan swasta,” pungkas Sarip. (*)

 

Pasukan Infanteri XIV KNIL di Samarinda pada 12 Juli 1949 (geheugen.delpher.nl/Dienst voor Legercontacten)

Tags

Berita Terkait

Back to top button
Close

Mohon Non-aktifkan Adblocker Anda

Iklan merupakan salah satu kunci untuk website ini terus beroperasi. Dengan menonaktifkan adblock di perangkat yang Anda pakai, Anda turut membantu media ini terus hidup dan berkarya.