Samarinda, intuisi.co – Dinobatkan sebagai kota layak anak sejak April 2018, fakta di Samarinda justru berkebalikan. Kekerasan terhadap anak di Ibu Kota Kaltim ini masih terjadi. Bahkan dengan pola-pola sadis yang tak terpikirkan.
“Memang sangat miris melihat kondisi ini, bahkan memprihatinkan,” ujar Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Odah Etam Kaltim, Eka Komariah Kuncoro saat dikonfirmasi pada Kamis siang, 23 Juli 2020.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) milik Kementerian PPPA, mencatat hingga Juli 2020 terdapat 246 kasus kekerasan anak terjadi di Kaltim. Hampir semuanya merupakan anak perempuan. Sisanya 41 kasus anak laki-laki.
Dari ratusan perkara tersebut, Samarinda berada di urutan pertama sebanyak 103 kasus. Angka ini begitu masif dan terpaut jauh dengan kasus terbanyak kedua yakni di Bontang dengan 39 kejadian. Lalu Balikpapan 29 kasus.
Menurut Komariah, hal ini perlu mendapat perhatian serius. Dari level provinsi hingga kabupaten/kota. Terutama Samarinda dengan kasus terbesar.
Bila tak segera tertangani, dikhawatirkan kondisi yang ada malah kian memburuk. Terutama di tengah situasi pandemi covid-19 seperti sekarang ini. Kekerasan dalam rumah tangga dan anak berpotensi melonjak.
“Dari amatan saya, pemicu tak hanya satu. Memang semua dimulai dari corona. Berlanjut kepada perusahaan yang tak kuat dengan terpaan wabah, berujung pemecatan. Suami/istri yang stres bakal mencari pelampiasan. Dan paling rentan itu memang anak,” jelasnya.
Waspada Orang Terdekat
Kekerasan dengan anak tak hanya verbal dan fisik, tapi juga seksual. Pelaku biasanya orang terdekat dari. Bisa paman, kakak, kakek hingga orangtua sendiri. Laporan di kepolisian sudah membuktikan itu. Terbaru, seorang ayah di kawasan Sungai Kunjang mencabuli putri tirinya sejak umur 8 tahun. Perilaku biadab itu berlangsung selama sejak 2015. Itul sebabnya, kekerasan terhadap anak mesti mendapat ketegasan hukum. “Jangan sampai pelakunya bebas berkeliaran.”
Menurut Eka, mengatasi persoalan ini bisa dimulai dengan menyadarkan orang yang berpotensi menjadi pelaku dan korban. Dimulai dari rumah.
Jika ada anggota keluarga punya tabiat keras, harus bisa disadarkan. Bukan membalas dengan kekerasan juga. Perlu cara persuasif. Misalnya dengan pendekatan agama. Sehingga orang lebih sabar dan berempati kepada yang lemah. “Begitu juga dengan orang yang berpotensi menjadi korban, berikan pemahaman agar mereka bisa menguatkan diri dan tidak lemah,” pungkasnya. (*)