Samarinda, intuisi.co- Abdul Kadir lekat menatap mendung yang menggelayut di Teluk Balikpapan sejak pagi hari. Hatinya masygul. Ia bingung memutuskan akan pergi melaut mencari ikan atau tidak. Jika pergi dengan kondisi cuaca buruk, maka nyawa dalam taruhan. Sementara dapur harus terus mengepul. Maklum, kapal berkekuatan satu gross tonage (GT/tonase kotor) miliknya, hanya bisa melaut di kawasan Teluk Balikpapan bukan Selat Makassar.
“Situasi ini sering kami hadapi. Jadi kami bertahan apa adanya. Jadi serba salah. Kami mau teriak susah, tidak didengar juga,” ujar Kadir sapaan karibnya kepada media ini pada akhir Juni lalu.
Kadir merupakan nelayan dari Jenebora, salah satu kelurahan yang masuk Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) serta masih berada di kawasan Teluk Balikpapan. Sejak berdiri 1935 hingga sekarang, jumlah penduduknya 3.477 jiwa. Masyarakatnya beragam, mulai dari Bugis, Bajau hingga Jawa. Meski begitu, penduduk aslinya adalah Dayak Pesisir. Sebagian besar merupakan nelayan dan bergantung dengan tangkapan laut.
“Kalau dulu tahun 90-an, masih gampang cari ikan dan udang. Sekarang harus ke luar. Jauh dari teluk,” sebutnya.
Dia menerangkan, dulu dirinya dan nelayan lainnya di Jenebora bisa mendapatkan 30-40 kilogram (kg) ikan serta udang dalam sehari. Puluhan kilo ikan tersebut bila dikonversikan bernilai Rp4-6 juta atau dengan kata lain per kilogramnya bisa mencapai ratusan ribu. Namun saat ini hanya berharga puluhan ribu saja.
“Jadi memang mengalami penyusutan dari jumlah tangkapan dan harga. Sekarang, dapat satu atau dua kilo sudah bersyukur,” ucap Kadir yang sejak SD sudah memilih menjadi nelayan.
Penurunan jumlah tangkapan ikan nelayan dikatakan Kadir mulai dirasakan sejak pertengahan tahun 90-an atau tiga dekade lalu. Tatkala sejumlah perusahaan mulai beraktivitas di kawasan Teluk Balikpapan. Mulai dari perusahaan pengolahan kayu, hingga batu bara. Kondisinya terus berlanjut dan semakin memburuk sejak hadirnya Kawasan Industri Kariangau (KIK) di Balikpapan Barat, di seberang Desa Jenebora pada 2012. Ditanbah lagi aktivitas pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Iya sekarang makin banyak kapal yang lalu-lalang, melintasi kawasan Teluk Balikpapan,” katanya.
“Bak Daud sedang berhadapan Goliat,” sambung Kadir menganalogikan nasih para nelayan ketika bersisian dengan kapal-kapal raksasa di Teluk Balikpapan.
Sejatinya, kata Kadir, dirinya tak mempermasalahkan kapal yang lalu-lalang. Meski terkadang udang atau ikan cenderung menyebar dan sulit dijala ketika terganggu getaran dari kapal-kapal besar. Hal tersebut masih bisa dimaklumi.
Hanya saja, yang buat dirinya pusing tujuh keliling ialah kapal-kapal yang parkir di sembarang tempat. Bahkan di titik-titik dia mencari ikan. Belum lagi larangan mendekati area perusahaan, hanya boleh 500 meter. Padahal hanya di situlah para nelayan bisa mendapat ikan atau udang. Daerah itu biasanya disebut Karang Solet.
“Harusnya kan bisa berdampingan dengan baik,” katanya.
Sebelumnya, Kadir pernah mengajukan persoalan tersebut saat diseminasi Peraturan Daerah (Perda) Kaltim No 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) pada 2021 lalu. Namun hingga kini suara minor dari warga belum berbuah manis. Tak hanya di Jenebora nelayan sukar menangkap ikan atau udang, hal ini juga dirasakan nelayan dari Desa Pantai Lango yang berjarak hanya tiga km di sebelah utara Desa Jenebora.
“Saya pernah dari pagi hingga siang, hanya dapat satu ekor. Belum lagi kendala cuaca. Kami harap segera ada solusi terbaik,” harapnya.
Setali tiga uang, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Pantura Jenebora, Muhammad Abduh juga memberikan pendapat serupa. Bila tangkapan ikan dan udang di Teluk Balikpapan memang berkurang dari tahun ke tahun. Padahal lokasi ini sejak dahulu kala sudah menjadi sumber penghidupan warga.
Ketika area tangkapan makin berkurang, terpaksa masyarakat memindahkan wilayah mencari ikan ke luar dari Teluk Balikpapan. Nyaris mendekati Selat Makassar atau 12 ribu kilometer dari Jenebora.
“Kalau kami bertahan di sini (Teluk Balikpapan) sudah pasti susah dapat ikan dan berhadapan dengan tanker-tanker ini,” katanya.
Bila dibandingkan dengan satu dekade lalu arus lalu lintas kapal di Teluk Balikpapan makin ramai. Terlebih lima tahun terakhir kian padat dengan adanya IKN. Padahal, Abduh menilai antara nelayan dan perusahaan bisa saling berdampingan dengan damai bila mengerti posisi masing-masing. Tapi saat ini tidak begitu, perusahaan seolah tak mengerti nelayan.
“Sampai saat ini kami tak mendapat solusi,” katanya lagi.
Akar Masalah Nelayan Sukar Tangkap Ikan
Terpisah, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mappaselle menyebutkan secara umum, lanskap Teluk Balikpapan memiliki tutupan ekosistem mangrove seluas 16.800 hektare (ha). Jumlah tersebut saat ini sudah berkurang menjadi 15-an ribu ha lantaran terjadi pembukaan lahan.
Selain itu, objek persoalan tak hanya mangrove saja, tapi beragam. Mulai dari nelayan, duyung, pesut, hingga bekantan. Flora dan fauna tersebut menjadi komunitas organik yang tak dapat dipisahkan dari Teluk Balikpapan, lantaran menjadi habitat penting bagi satwa terestrial dan akuatik dilindungi di Indonesia.
“Sayangnya, ekosistem ini perlahan-lahan terkisis oleh penataan ruang dan alokasi fungsi yang keliru,” sebutnya.
Mapaselle menerangkan, persoalan di Teluk Balikpapan sejatinya berkelindan. Semua dimulai dari perusahaan yang berada di kawasan Teluk Balikpapan. Ketika proses pembangunan perusahaan dimulai, maka pembukaan lahan menjadi tak bisa dihindari. Tentunya hal ini berdampak terhadap ekosistem, flora dan fauna yang ada, mangrove salah satunya.
Tak hanya itu saja, ketika habitatnya dibabat tahap selanjutnya akan mempengaruhi kelangsungan hidup organik lain. Misalnya bekantan yang menyantap buah, bunga, dan daunnya. Atau ikan serta udang yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai rumah. Perlu diingat, kata Mapaselle, organisasi Konservasi Internasional (CI) menyatakan mangrove menyerap dan menyimpan karbon hingga 10 kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis.
“Semuanya terhubung. Pada akhirnya akan memengaruhi ikan atau udang yang ada di sekitar Teluk Balikpapan,” ujarnya lagi.
Belum lagi kehadiran perusahaan-perusahaan di Teluk Balikpapan, sambung dia, seperti Kawasan Industri Kariangau. Dengan luasan lebih dari 3.500 ha, kawasan tersebut memang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Kaltim. Selain batu bara, terdapat juga industri minyak dan gas serta kelapa sawit. Setidaknya terdapat 20 pabrik yang beroperasi di KIK. Kondisi itu ikut menyumbang sedimentasi hingga limbah di Teluk Balikpapan. Ketika sedimentasi sudah akut maka yang terdampak selanjutnya adalah padang lamun. Kekeruhan tinggi itu bakal membuat padang lamun tak bisa berfotosintesis.
“Saat itu terjadi, ekosistem sekitar perlahan akan mati. Padang lamun ini juga menjadi rumah dugong,” paparnya.
Mapaselle menegaskan, sedimentasi di Teluk Balikpapan wajib diperhatikan lantaran perairan di kawasan ini memang relatif tertutup. Sebab tak ada sungai besar mengalir dari hulu, sehingga pola arus air Teluk Balikapapan tidak akan keluar ke perairan Selat Makassar dan hanya bergerak dari hulu ke hilir dan kembali dengan pasang kemudian surut. Dengan kata lain, sebagian besar sedimentasi menetap di teluk tersebut. Sama halnya dengan limbah.
“Pada akhirnya, bila dibiarkan berlanjut akan memupuk bencana krisis ekologi yang tak bisa dihindari di kemudian hari,” tegasnya.
Kata Mapaselle, Teluk Balikpapan memang sangat kompleks. Tak hanya menjadi sumber penghidupan bagi nelayan Jenebora tapi juga empat desa nelayan lainnya dari PPU yakni Pantai Lango, Maridan, Pamaluan dan Mentawir.
Merujuk data Badan Pusat Statistik Kaltim, ada 4.126 keluarga nelayan di PPU dan 6.118 keluarga nelayan di Balikpapan. Mereka ini menggantungkan hidup pada sumber ikan di Teluk Balikpapan. Sayangnya, Perda Kaltim No 2/2021 tentang RZWP3K tak mengakomodasi para nelayan. Dokumen tersebut justru mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan.
“Sampai hari ini kami masih terus berusaha agar para nelayan ini bisa mendapatkan ruang untuk menangkap hasil laut,” terangnya.
Namun begitu, ruang hidup nelayan di Teluk Balikpapan tetap bakal terkikis mengingat mega proyek IKN masih berlanjut. Dalam lampiran II UU No 3/2022 tentang IKN menyebut ada dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan. Pertama, Pelabuhan Semayang yang diproyeksikan untuk umum dengan jalur internasional. Kedua, Terminal Kariangau yang juga bakal berfungsi sebagai pelabuhan kargo internasional. Intinya, dua pelabuhan ini akan memicu aktivitas tinggi di kawasan Teluk Balikpapan. Walhasil, hasil laut kian sukar didapat.
Peneliti Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, Imam Syafi’i menuturkan konsep kota hutan yang menjadi dasar IKN menjadi bias daratan karena Teluk Balikpapan tidak masuk dalam wilayah perairan IKN jika dilihat dari peta pembagian wilayahnya. Padahal ini merupakan pintu gerbang utama IKN melalui Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau. Jaraknya sekitar 40 kilometer dari zona inti IKN.
Menurut pengamatannya, dengan berbagai aktivitas pembangunan tersebut Teluk Balikpapan tidak lagi berfungsi sebagai area penangkapan ikan nelayan pesisir karena mereka saat ini harus melaut ke Selat Makassar untuk mencari ikan.
“Konsep Kota Hutan IKN ini mengasingkan Teluk Balikpapan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan wilayah hijau,” jabarnya dalam Webinar Series #5 IKN berjudul Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara.
Pemerintah Klaim Sudah Memberikan Bantuan Kapal
Sementara itu, Asisten l Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten PPU, Sodikin tak menampik bila tangkapan nelayan di kawasan Teluk Balikpapan memang berkurang.
“Tapi susah ‘kan tidak,” sebutnya saat diwawancarai di Kelurahan Jenebora beberapa waktu lalu.
Dia menyatakan terkait dengan kurang ikan atau tidak itu persoalan habitat namun akses menuju lokasi tangkap tak ada masalah. Bila jauh dari Teluk Balikpapan, maka jawabannya ada dibantuan mesin kapal. Pihaknya pun sudah memberikan bantuan tersebut belum lama ini di nelayan Jenebora. Ke depannya, bantuan serupa diberikan bertahap.
“Aktivitas di Teluk Balikpapan ini memang kian ramai dengan adanya IKN. Nelayan harus keluar,” terangnya.
Mengenai mangrove dari sisi PPU, Sodikin menjawab pemerintah tentunya akan maksimal menjaga habitatnya. Pembukaan lahan mangrove tentu tak bisa dilakukan sembarang, harus melalui kajian-kajian. Demikan pula dengan pengawasan. Tak hanya pemerintah, masyarakat juga harus mengawasi lingkungannya. Sementara mobilisasi penduduk juga tak bisa dihindari, terlebih dengan adanya IKN. Tentu ada pro dan kontra, positif juga negatif.
“Nah, itu tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mau membangun kota kemudian tidak boleh di apa-apakan?” kata dia bertanya kemudian menyambung, “Tapi, tetap pembangunan mengarah ke ramah lingkungan yang menekan risiko sekecil mungkin. Bila ada pembabatan (mangrove di PPU) pihaknya akan meminta mengganti ke pihak terkait.”
Sementara itu, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Pungky Widiaaryanto memastikan jika ekosistem organik yang ada di Teluk Balikpapan akan dijaga baik. Termasuk mangrove yang memang punya peran krusial bagi kawasan teluk. Baik itu untuk warga sekitar hingga flora dan fauna yang memang mengandalkan kawasan mangrove sebagai rumah. Ihwal tersebut juga tak lepas dari saran para aktivis.
“Kami memang hendak memang menjadikan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan sebagai kawasan lindung,” tegasnya.
Dirinya pun sepakat jika perlindungan mangrove di Teluk juga turut mengambil peran menjaga nelayan. Pasalnya, jika mangrove tak dibabat maka ekosistem organik yang ada tentu bisa hidup baik. Pada akhirnya nelayan juga demikian. Hanya saja, jauh sebelum IKN digarap sudah lebih dulu pelaku usaha sudah mendapatkan izin pemanfaatan garis pantai dari Kementerian Perhubungan di kawasan Teluk Balikpapan. Itu sebab, langkah dari Otorita IKN kini ialah menyisir kembali izin-izin tersebut.
“Punya korelasi dengan IKN atau tidak. Bahkan sejumlah aktivitas tanpa izin juga sudah kami laporkan ke aparat penegak hukum,” kata Pungky.
Dia menegaskan, perusahaan yang berizin hingga ilegal pun tak lepas dari penyaringan. Misalnya saja perusahaan dengan dokumen lengkap, namun aktivitasnya ke luar jalur dengan membabat mangrove kuning. Aksi itu sudah dicatat, sementara perusahaan mendapat teguran. Sanksinya tentu rehabilitasi mangrove yang dibabat di Teluk Balikpapan seluas dua ha. Kemudian adapula pembalakan liar, laporannya sudah masuk ke Polda Kaltim.
“Satu sudah masuk laporan di polisi, lainnya lagi masih pengumpulan bukti serta identifikasi pelaku,” imbuhnya.
Pungky pun sadar keberadaan organik dalam ekosistem di Teluk Balikpapan sangat krusial dan sudah sepantasnya mendapat perlindungan. Karenanya, Otorita IKN kerap patroli rutin di kawasan Teluk Balikpapan, bahkan pihaknya menggunakan teknologi satelit untuk memantau aktvitas di teluk. Dengan bantuan citra satelit, semuanya akan terlihat.
“Ya, kalau ada bukaan baru, akan kami tindak tegas,” pungkasnya. (*)