Samarinda, intuisi.co-Perasaan Sayyid Abdurrahman Assegaf masygul. Raut itu tak bisa disembunyikan tatkala mengunjungi kawasan Samarinda Seberang. Distrik ini merupakakan wadah Abdurrahman menunaikan siar Islam. Namun warganya begitu bebal. Maksiat judi, sabung ayam hingga pesta minum terus berulang.
Dari fajar merekah hingga petang menjemput. Di tengah kekacauan tersebut, terbersit ide membangun masjid. Besar harapan rumah ibadah tersebut bisa menuntaskan penyakit masyarakat ini. Demikian dikatakan Sekretaris Pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem, Ishak Ismail saat memulai kisahnya kepada intuisi.co pada Sabtu, 2 Maret 2024.
“Habib Abdurrahman ini berasal Hadramaut, Yaman kemudian siar ke Pontianak, Kalimantan Barat lalu hijrah ke Samarinda pada 1880 silam,” ujar Ishak.
Dia melanjutkan kisahnya, informasi yang dia terima secara turun-temurun dari marbut masjid terdahulu, saat tiba Kalimantan Timur, Abdurrahman memang memilih Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Setahun berlalu, warga di sana masih karib dengan maksiat. Karenanya, usulan untuk membangun masjid mendapat lampu hijau dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman, penguasa Kesultanan Kutai Kertanegara ketika itu.
“Pembangunan masjid dimulai pada 1881 dan makan waktu 10 tahun untuk selesai,” terangnya.
Kata Ishak, alasan sumber daya manusia dan material menjadi kendala utama pengerjaan masjid hingga pengerjannya mencapai satu dasawarsa. Dalam proses pembangunan, Abdurrahman yang bergelar Pangeran Bendahara terlebih dahulu berdiskusi denga warga setempat. Utamanya mengenai bentuk masjid. Walhasil disepakati wajah bangunan diawali dengan empat tiang utama (sokoguru) yang berada di bagian tengah.
Jenisnya ulin setinggi 7 meter. Semangat gotong royong membangun rumah ibadah rupanya memantik tokoh masyarakat. Tiga dari mereka kemudian menyumbang kayu ulin. Kapitan Jaya memberikan ulin dari Loa Haur (Gunung Lipan), Petta Loloncong menyumbang ulin dari Gunung Salo Tireng (Sungai Tiram, anak Sungai Dondang) dan Usulonna memberikan ulin dari Karang Mumus.
“Sedangkan Pangeran Bendahara memberikan ulin dari Gunung Dondang Samboja. Sengaja dipilih dari daerah berbeda agar siar islam dan berdirinya masjid menyebar ke empat penjuru angin,” sebutnya.
Dari pantauan di lapangan, keempat tiang utama masjid tersebut berdiameter 30-60 sentimeter dan hingga sekarang masih kukuh berdiri meski sudah berusia 133 tahun. Ishak menuturkan, ada kisah menarik lain yang erat nuansa supranatural mewarnai pembangunan masjid ini. Hikayat tersebut dituturkan secara lisan. Awalnya, pemancangan tiang sokoguru tidak berhasil meskipun dilakukan bermai-ramai. Mulai dari pagi, siang hingga sore.
Menjelang petang, tiba-tiba seorang perempuan berusia lanjut mendekat dan meminta izin memberikan bantuan mendirikan tiang pancang. Semua warga pun tertawa, tapi Abdurrahman menunjukkan respons sebaliknya. Dia justru memberikan lampu hijau kepada nenek tersebut. Oleh sang nenek, semua warga, termasuk juga Said Abdurachman, diminta kembali ke rumah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka, karena keempat tiang utama masjid telah tertanam kukuh pada pagi hari.
“Cerita ini kami terima dari orang-orang lama (tetua) di sini. Pembangunan masjid pun terus dilakukan hingga 1891,” imbuhnya.
Masjid pun selesai dibangun pada 1891 atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriah, Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman meresmikan sekaligus menjadi imam masjid untuk pertama kalinya. Meski tak langsung menghilang, namun penyakit masyarakat perlahan-lahan berkurang dengan kehadiram masjid itu. Satu dekade kemudian, seorang saudagar asal Belanda bernama Henry Dasen menyumbangkan hartanya untuk membangun menara masjid berbentuk segi delapan setinggi 21 meter pada 1901.
“Henry Dasen ini merupakan mualaf,” imbuhnya lagi.
Masjid Shiratal Mustaqiem berdiri megah di depan Sungai Mahakam. Luas bangunan 625 meter persegi dan luas tanah 4000 meter persegi. Masjid ini berada di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Bentuknya klasik arsitektur khas Indonesia. Ada teras di keempat sisinya dan berpagar kayu ulin pada bagian teras tersebut atau biasa disebut atap tumpang. Berwarna dominan kuning dan hijau. Begitu menonjol bila disandingkan dengan bangunan sekelilingnya.
Selain itu di bagian dalam terdapat 12 buah tiang penyangga masjid. Bentuk dari menara masjid yang terbuat dari kayu ini juga unik dan berbeda dengan masjid-masjid lainnya.
Struktur bangunan masjid dengan atap tumpang tersebut memang karib pada masa itu. Dalam jurnal Masjid-masjid di Dunia Melayu Nusantara (2010, hal 291) Tawalinuddin Haris menerangkan, bila pendirian masjid di Indonesia memang meniru atau mengambil bentuk bangunan lain. Dan masjid-masjid tua di Indonesia hampir sama yakni atapnya tumpang (1 sampai 7).
“Ternyata atap tumpang ditemukan juga pada masjid-masjid tua di Malaysia, Patani, Brunei dan Filipina,” tulis Haris dalam jurnalnya.
Masih dalam jurnal tersebut, masjid-masjid tua di Indonesia lazimnya dibangun di atas tiang-tiang kolong, terutama sejumlah masjid tua di Kalimantan Barat, seperti Masjid Sultan Abdurrahrnan di Pontianak, Masjid Keraton Sanggau, Masjid Keraton Sambas, dan lain-lain. Hal ini ada kaitannya dengan faktor lingkungan, alam, maupun budaya. Dalam perkembangan selanjutnya bangunan masjid lndonesia meniru masjid tipe India atau Timur Tengah dengan munculnya bangunan masjid beratap kubah. Bangunan masjid beratap kubah baru muncul sekitar abad 19.
Kekhasan lain yang tampak dari Masjid Shiratal Mustaqiem ialah bangunannya bersisian dengan sumber air. Kondisi ini merupakan bagian dari masyarakat melayu Kalimantan yang memang lekat dengan budaya sungai. Sejarawan lokal Muhammad Sarip pun sepakat dengan hal tersebut. Bersama Nabila Nandini, dia pernah menelusuri sejarah Islam di Kutai termasuk masjid yang kemudian dijurnalkan. Judulnya, Islamisasi Kerajaan Kutai Kertanegara Abad Ke-16: Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai. Sarip menegaskan, penempatan masjid di umumnya di bantaran Sungai Mahakam karena faktor kedekatan dengan sumber air.
“Hal ini mengingat tata cara ibadah muslim dimulai dengan wudu yakni proses penyucian diri menggunakan air,” terangnya dalam jurnal itu.
Kepada media ini, Muhammad Sarip juga menyatakan Masjid Shiratal Mustaqiem di Kecamatan Samarinda Seberang, sudah masuk cagar budaya. Masjid ini selesai dibangun pada 1891. Namun, masjid ini bukanlah rumah ibadah pertama di Samarinda. Adapun masjid, surau atau langgar lain yang lebih dulu dibangun sebelum Masjid Shiratal Mustaqiem tidak bertahan lama. Ada situasi pelapukan. Sehingga menutut untuk perbaikan.
Dari informasi yang dihimpun media ini di lokasi, Shiratal Mustaqiem pernah beberapa kali mengalami renovasi yaitu pada tahun 1970, 1989, dan 2001. Kendati demikian, renovasi diklaim tidak mengubah bentuk asli masjid. Pada awal berdiri masjid ini bernama Masjid Jami’, kemudian pada tahun 1960 namanya diubah menjadi Masjid Shiratal Mustaqiem.
“Masjid Shiratal Mustaqiem termasuk awet karena penggunaannya tidak seramai dan semasif masjid lain di kawasan Kota Samarinda,” terangnya.
Lokasinya juga di atas daratan, sebut dia, berbeda dengan misalnya Masjid Jami’ di pusat Kota Samarinda. Dibangun pada 1925, Masjid Jami’ yang lebih besar daripada Masjid Shiratal Mustaqiem lapuk dan dinyatakan tidak layak pakai pada dekade 1970-an. Masjid Jami’ berkonstruksi kayu yang didirikan di atas Sungai Mahakam ini pun dibongkar pada 1974 dan dipindahkan lebih ke daratan.
“Masjid Jami’ versi baru yang berkonstruksi beton dinamai Masjid Raya Darussalam Samarinda,” pungkasnya. (*)