Samarinda, intuisi.co-Sekion, satu dari lima penutur bahasa Suku Balik di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, yang masih fasih bertutur hingga kini. Dia merupakan saksi hidup atas perjuangan bahasa dan budaya komunitasnya.
Baginya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jejak identitas dan warisan leluhur yang mengakar. Menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas serta menjadi sarana menjaga koneksi spiritual dengan alam yang memberi kehidupan tenis tersebut.
Ia ingat betul ketika masih kecil, sekitar enam dekade lalu, seluruh warga Suku Balik masih karib menggunakan bahasa etnis leluhurnya untuk berkomunikasi sehari-hari. Termasuk menyampaikan niat untuk mencari makanan di hutan ke leluhur hingga ritual adat.
“Tradisi pakai bahasa balik untuk izin ke leluhur sebelum cari makan di hutan. Ini masih saya terapkan dan itu saya anjurkan ke anak cucu saya,” kata Sekion ketika ditemui di kediamannya di RT 03 Kelurahan Sepaku pada akhir Februari lalu.
Sayang, tatkala tahun bersalin warsa, bahasa yang sehari-hari digunakan dulu perlahan memudar. Generasi kini, sudah mulai kaku berkomunikasi menggunakan bahasa Suku Balik. Sedangkan angkatan tua Suku Balik, seperti Sekion semakin berumur.
“Selain saya masih ada kakak saya dan adik saya yang lancar (bahasa Balik). Tapi Kalau yang seusia saya yang bisa pakai bahasa balik (ada juga), tapi kemungkinan sudah banyak meninggal,” ucapnya.
Meski bahasa Suku Balik perlahan mulai ditinggalkan, pria kelahiran 1957 ini tak hilang akal. Dia ingin warisan budayanya itu tetap terjaga. Ia kemudian mencoba menurunkan bahasa nenek moyangnya tersebut ke anak serta cucunya.
Di rumah, seluruh anggota keluarga harus menggunakan bahasa Suku Balik. Dengan begitu anak dan cucunya bisa mengenal bahasa ini sejak usia dini. Sehingga, penerusnya tidak lupa identitas diri yang selama ini ia pegang teguh.
“Kalau di dalam rumah ya memang sehari-hari pakai bahasa Balik. Ketemu keluarga ya bahasa Balik, jadi biar anak-cucu paham juga,” ucapnya.
Cara lain yang digunakan Sekion agar bahasa Suku Balik tetap terpelihara baik, ialah menikah dengan sesama suku. Pada 1984 silam, ia kemudian mempersunting perempuan dari Suku Balik. Pernikahan serumpun ini juga merupakan pesan mendiang ibunya semasa hidup.
Pernikahan dalam suku Balik ini dipandang penting oleh Sekion untuk menjaga kesinambungan budaya dan bahasa. Menurut dia, pernikahan sesuku menjadi langkah paling sederhana untuk merawat bahasa dan budaya leluhurnya. Lantaran hal tersebut paling mendasar.
“Istri ini dipilihkan ibu saya, diminta dari suku sendiri. Sebab, takut hilang bahasa dan budaya Balik kalau (nikah) sama suku lain,” kata Sekion mengenang pesan mendiang ibunya.
Namun, langkah Sekion tak sesederhana pikirannya. Walau sudah mempersunting istri serumpun hingga menggunakan bahasa Balik saat di rumah, peninggalan budaya leluhurnya itu belum tersebar maksimal. Anak dan cucunya, kurang fasih menggunakan bahasa sukunya sendiri.
Lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, bahkan beberapa peranakan dan kerabatnya justru lebih fasih berbahasa suku lain, misalnya saja Suku Jawa, Bugis, Batak hingga Toraja.
“Mereka (peranakan Sekion) sebenarnya mengerti (bahasa Suku Balik), tapi kalau ngomong enggak lancar. ‘kan dulu di sekolah terbiasa pakai bahasa nasional (bahasa Indonesia),” keluh Sekion.
“Tapi, saya sudah pesan ke mereka harus belajar, kalau saya ini kan sudah tua, besok atau lusa saya meninggal siapa lagi yang ngasih tahu (bahasa balik),” sambungnya.