Mengenang Peringatan Hari Pahlawan Pertama di Kaltim, Empat Tahun setelah Pertempuran di Surabaya
Hari Pahlawan yang ditetapkan menjadi hari besar di Tanah Air, tak begitu saja berlaku di Kaltim. Ada perjuangan dan diplomasi untuk menjadikannya bisa diperingati di Bumi Etam.
Samarinda, intuisi.co – Perlu waktu empat tahun bagi Samarinda memperingati Hari Pahlawan sejak pertempuran heroik di Surabaya itu pecah pada 10 November 1945. Penantian cukup lama itu karena menunggu situasi di Kaltim pas dari sisi keamanan.
Menurut Muhammad Sarip, sejarawan lokal asal Samarinda, Abdoel Moeis Hassan bersama koalisi organisasi pro-RI yang dipimpinnya, yakni Front Nasional, adalah yang pertama menyelenggarakan upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman Gedung Nasional, Stamboel Straat (sekarang Jalan Panglima Batur) Samarinda untuk kali pertama.
Sebagai informasi, Abdoel Moeis Hassan merupakan gubernur Kaltim periode 1962–1966. Pada era revolusi kemerdekaan, dia tokoh pejuang diplomasi di jajaran terdepan yang pro-Republik Indonesia, dengan status sebagai ketua Ikatan Nasional Indonesia (INI) Samarinda dan ketua Front Nasional Kaltim.
“Moeis Hassan pula yang memelopori integrasi Keresidenan Kalimantan Timur ke dalam NKRI pada 1950. Dan saat ini dalam tahap pengusulan sebagai pahlawan nasional,” terangnya.
Kala itu pihak Moeis Hassan dkk bukanlah dari kalangan pemerintah. Rezim masih dijalankan federasi bentukan Belanda. Pada 1949 itu, RI memang masih berjuang secara fisik dan diplomasi untuk memperoleh kemerdekaan secara de facto dan terutama de jure melalui Perundingan Roem-Roijen dan Konferensi Meja Bundar.
Moeis Hassan dkk menuntut kepada Residen Kaltim agar walaupun pemerintah tidak mengakui 10 November sebagai hari besar, tetapi hendaknya meliburkan para pegawai negeri. Mengingat hasil KMB yang menyatakan kedaulatan RI segera diserahkan pada akhir Desember 1949, maka pemerintah pun mengabulkan tuntutan Front Nasional.
“Jadilah upacara peringatan Hari Pahlawan digelar di sekeliling Tugu Nasional di halaman Gedung Nasional. Bendera Merah-Putih dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya,” imbuhnya.
Ketika itu juga dilakukan simbolisasi penghormatan pahlawan bangsa dengan peniupan terompet oleh para remaja/pemuda yang tergabung dalam Kepanduan Indonesia Merdeka (KIM). Adapun prosesi mengheningkan cipta bukanlah seperti yang baku sekarang, melainkan dengan pembacaan sajak “10 November” oleh Oemar Dachlan, tokoh pers Kaltim. Lantas, karangan bunga diletakkan di Tugu Nasional. Setelah itu, hadirin memasuki Gedung Nasional untuk mendengarkan pidato Moeis Hassan tentang sejarah Hari Pahlawan.
“Uniknya, Moeis Hassan sebagai pemimpin kaum Republikein kala itu baru berusia 25 tahun. Ia memang sejak kecil sudah aktif dalam organisasi pergerakan nasional dan pernah berguru pada A.M. Sangadji, tokoh pergerakan nasional Syarikat Islam dan Barisan Penyadar,” pungkasnya. (*)